logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Memar

Setelah dirasa cukup untuk menenangkan diri, Jean kembali menyalakan mesin mobilnya dan mengendarai kendaraannya itu menuju ke apartemen barunya. Ia membersihkan dirinya dan berganti pakaian.
Ia meraih ponselnya kemudian menekan sebuah nomor. Dering nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara seseorang menjawab panggilannya.
"Halo," jawabnya di seberang sana.
"H ... halo, Darren," ucap Jean sedikit gugup.
"Hai, Jean. Ada apa?" Ada sedikit nada keterkejutan pada suara Dareen. "Apa kau begitu ingin tahunya berapa besar biaya penatu bajuku hingga meneleponku sepagi ini?" ucapnya dengan nada bercanda.
"Mungkin," jawab Jean.
"Oh, ayolah ... petugas pembersihan bahkan belum mengambil baju kotorku sepagi ini," jawabnya geli.
"Petugas pembersih? Apa kau sedang berada di hotel atau semacamnya?" tanya Jean.
"Well ... mm ... ya, kau benar." Ada jeda lagi saat Darren menjawab pertanyaan Jean. Ia kemudian menunggu dengan was-was karena tampaknya jawabannya mungkin dapat menyiratkan suatu asumsi yang negatif.
"Oke, mm ... bisakah kita bertemu?" tanya Jean. Ada sedikit nada tak yakin dalam suaranya.
Darren yang sedikit terkejut, mulai menegakkan badannya dan berdiri. Ia tak menyangka Jean akan mengajaknya bertemu. "T ... tentu! Kapan?" tanyanya. Entah mengapa ia sedikit gugup.
"Sekarang juga," balas Jean.
"Apa?"
"Kau di hotel apa? Aku akan bersiap dan datang ke sana. Berikan nama hotelmu dalam pesan singkat, aku akan segera bersiap."
"Tentu!" jawab Darren spontan.
Setelah Jean memutus panggilan teleponnya, ia sedikit menganga takjub seolah tak percaya. Ia bahkan membeku di tempatnya dengan ponsel yang masih ia genggam.
"Bos, apa kau tak akan melanjutkan meeting kita?!" Suara Kenneth, Ken sekretarisnya membuyarkan lamunannya. Darren menatap Ken dan beberapa karyawan yang tengah duduk di hadapannya dengan sedikit linglung.
Ya! Ia bahkan tak sadar jika sedang berada di tengah-tengah meeting khusus bersama para karyawannya karena terlalu senang Jean meneleponnya. Bagaimana tidak? Wanita cantik yang kemarin ditemuinya itu mengajaknya bertemu. Ia hanya sedikit heran, karena sepertinya Jean kemarin tak menampakkan gelagat ketertarikan pada dirinya, tapi mengapa sekarang ia ingin bertemu?
"Kau lanjutkan saja, Ken! Ada sesuatu hal yang penting yang harus aku kerjakan."
"Ta ... tapi, Darren!" panggil Ken dengan tak formal karena ia begitu terkejut dengan ucapan sahabat sekaligus atasannya itu.
Darren melesat menuju kamar mandinya. Dalam kamar hotel berjenis penthouse itu, Ken hanya dapat menggeleng pasrah. Ia tahu, untuk sementara ini dirinya pasti akan mendapat banyak pekerjaan karena sikap Darren yang masih semaunya sendiri itu.
"Baiklah, kita akhiri saja meeting kita hari ini. Aku sudah menangkap semua poin penting dari presentasi kalian. Karena ini seharusnya menjadi akhir pekan kalian, aku ingin kalian segera pulang. Semua hal yang mendesak dan penting, bisa kalian serahkan padaku Senin besok. Terima kasih," Ken mengakhiri meeting yang awalnya ingin Darren lakukan karena ia merasa bosan pada hari liburnya. Dan ternyata sekarang, malah dirinya yang mengingkari meeting tersebut.
Setelah beberapa karyawan tim mereka pergi, Ken segera menghampiri Darren yang sedang mematut dirinya di depan cermin untuk memilih baju yang cocok.
"Yang biru muda atau putih? Menurutmu kaus mana yang cocok?" tanyanya ketika Ken masuk ke ruang gantinya.
"Serius, bisakah kau tak melakukan hal itu lagi? Mengacaukan hari libur karyawanmu hanya karena kau merasa bosan? Dan sekarang kau pergi meninggalkan kami di tengah-tengah meeting."
"Oke, aku minta maaf. Bisakah kau katakan, aku harus pakai kaus yang mana?" ucapnya lagi.
Ken memutar kedua bola matanya. "Biru," jawabnya kemudian.
"Oke, aku akan pakai putih!" jawab Darren mantap.
"Seharusnya kau tak bertanya padaku," gumam Ken sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Haha, karena aku selalu beruntung jika memilih sesuatu yang kebalikannya dari pilihanmu," jawab Darren.
"Apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan pergi? Kau ada janji dengan seseorang?" tanya Ken.
"Yap! Seorang wanita cantik yang sedang patah hati. Tampaknya ia sedang butuh penghiburanku," ucap Darren sambil tersenyum.
Setelah bersiap dengan penampilannya, Darren segera turun untuk menuju di area restoran hotel yang terletak dua lantai di bawah kamarnya.
Tak perlu menunggu terlalu lama, Jean yang mengirimi pesan untuknya akhirnya muncul juga di ambang pintu masuk restoran. Dari jauh Darren sudah dapat melihat kedatangannya. Wanita itu kali ini mengenakan rok terusan ringan selutut yang berwarna putih dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya serta sandal bertali yang cocok dengan kaki rampingnya.
Darren melambaikan tangannya saat Jean sedikit kebingungan mencari sosoknya. Ia akhirnya membalas lambaian tangan Darren dan menghampiri mejanya.
"Hai, selamat pagi. Apa kau sudah lama menungguku?" tanya Jean.
"Tidak, duduklah," jawab Darren. Jean mengangguk kecil lalu duduk di hadapan Darren.
"Kau ingin memesan sesuatu?" tanyanya.
"Mungkin minum saja," ucap Jean. Ia sebenarnya sedikit kikuk bertemu dengan Darren. Ia tiba-tiba merasa sudah bertindak impulsif dengan datang menemuinya.
Darren sedikit mengernyitkan alisnya karena menangkap kegelisahan Jean. "Ada apa?" tanyanya karena instingnya mendadak mulai waspada.
Jean membasahi bibirnya beberapa kali. "Apakah tawaranmu untuk pekerjaan sekretaris itu masih berlaku?" tanyanya kemudian.
"Setidaknya lepas kacamatamu, Nona jika ingin berbicara denganku," ucapnya lagi.
"Ma ... maaf, jika sudah membuatmu tak nyaman. Tapi lebih baik begini, percayalah," balasnya. "Aku hanya ingin menanyakan itu. Jika tawaran itu masih berlaku, aku akan mengirim berkas pengalaman kerjaku. Aku orang yang cukup mampu beradaptasi dengan lingkungan kerja, dan aku cepat dalam mempelajari sesuatu. Maaf jika tak sopan, jika kau ingin memberi jawabannya, kau dapat mengirimnya lewat pesan singkat. Aku ... tak keberatan jika kau berubah pikiran, karena ... mungkin aku kurang sopan,"
Dengan kikuk, Jean kemudian memundurkan kursinya. "Hanya itu yang perlu aku katakan. Ak ... aku permisi dulu,"
Darren yang sigap, refleks berdiri dan menangkap pergelangan tangan Jean ketika wanita itu berdiri dan terlihat hendak meninggalkannya.
"Tunggu dulu, Nona," ucapnya sambil mendekat. Ia semakin curiga saat Jean memalingkan wajahnya dan membiarkan rambut tergerainya menutupi sebagian wajahnya.
Darren menyipitkan matanya dan meraih dengan lembut dagu Jean. Sedetik setelah ia menyadari sesuatu, wajahnya tampak menegang.
"Apa ini?" ucapnya tertahan. Ia sedikit menahan geram saat sebelumnya telah menyadari sudut bibir Jean yg terluka dan tampak bengkak. Walau semua terlihat samar karena lipstik dan makeupnya, tapi sekarang dari jarak sedekat ini, ia dapat dengan jelas melihatnya.
"Bu ... bukan apa-apa. Please, aku tak ingin membuatmu menjadi tontonan," bisiknya kecil. "Izinkan aku pergi," lanjutnya kemudian.
"Ikut aku," ucap Darren tegas. Ia masih menggenggam pergelangan tangan Jean dan menariknya agar dapat mengikutinya hingga mereka sampai di depan lift.
Saat pintu terbuka, beberapa orang dan petugas hotel tampak sudah berada di dalamnya. Refleks, Jean sedikit merapatkan wajahnya pada dada Darren, walau tak sampai menyentuhnya.
"Ayo, Sayang, kita masuk," ucap Darren tiba-tiba. Ia merengkuh pinggang Jean dan memeluknya begitu saja saat memasuki lift.
Darren mengambil tempat di sudut lift dengan masih memeluknya hingga wajah terlukanya menempel pada dada bidangnya.
"Lantai berapa, Tuan?" tanya petugas penjaga lift.
"Paling atas," jawab Darren singkat.
Petugas lift sejenak mengerjap kemudian mengangguk formal. "Baik, Tuan," ucapnya. Ia dan beberapa orang sesekali mencuri pandang pada Darren dan Jean. Pasalnya, seperti yang sudah diketahui banyak orang, lantai paling atas adalah lantai yang paling mewah dan mahal. Dan di sana hanya ada satu kamar, yaitu kamar penthouse.
Darren hanya tersenyum tipis dan sekilas. Keputusannya memakai kaus putih sudah tepat, karena ia tampak seperti sepasang kekasih dengan Jean yang memakai warna baju yang senada juga.
Jean yang awalnya sedikit terkejut karena Darren tiba-tiba memeluknya, ia jadi paham setelah menyadari maksud pria itu. Ia hanya ingin menyembunyikan wajahnya dari tatapan aneh orang-orang di sekitarnya.
Setelah mereka sampai di lantai paling atas, Darren segera keluar dan dengan tenang berjalan menuju ke kamarnya.
Jean menganga saat masuk ke dalam kamar Darren. Ia bahkan bergegas menuju kaca jendela luas yang menjadi ciri khas sebuah penthouse yang menyajikan seluruh pemandangan dari atas gedung yang paling tertinggi di lantai itu.
"Wow ... menakjubkan," gumamnya. Ia sedikit mundur dan menjaga beberapa jarak aman dari sisi jendela. "Kau dapat melihat seluruh kota dari sini," ucapnya.
"Menyenangkan, bukan?" ucap Darren yang sedikit tersenyum geli karena reaksi Jean. "Kemarilah! Kau bisa melihat garis pantai dengan jelas di titik ini," ajaknya sambil mendekat ke jendela besar itu.
"No ... terima kasih, aku cukup melihat dari sini. Jarak itu membuatku sedikit ... aaaakh!"
Tiba-tiba saja Darren menarik Jean yang langsung terpekik menahan ngeri ketika pria itu membawanya menempel di jendela raksasa itu. Ia seketika merasa seperti sedang berdiri di ujung gedung. Kaca tembus pandang itu membuatnya ngeri, seolah ia akan jatuh karena terkesan tak ada penghalang di sana.
"Oh, aku sedikit pusing dengan ... ketinggian yang ... oh, ya Tuhan ... aku bisa melihat jalanan di bawahku!" ucap Jean terkesiap. Ia tanpa sadar mencengkeram bahu Darren.
Darren tersenyum kecil, justru karena ekspresinya itu, ia jadi semakin ingin menggoda Jean. Ia dengan sengaja kemudian memutar Jean dengan menempelkan tubuh gadis itu di jendela dan menghadap dirinya yang sedang mengungkung tubuh mungilnya dalam tubuh kokohnya.
"Hen ... hentikan, Darren!" Sedikit pekikan kecil lagi saat Darren semakin merapatkan tubuhnya ke jendela kaca. Jean memejamkan matanya karena begitu ngeri. Ia sama sekali tak berani melihat ke bawahnya. Adrenalinnya seolah terpacu karena ketakutan yang nyata.
Melihat ada kesempatan, Darren perlahan menarik lepas kacamata Jean. Benar, dengan segera Jean memalingkan wajahnya walau ia masih sedikit panik. "Bi ... biarkan aku duduk, kau seperti ingin mendorongku atau semacamnya," ucapnya kemudian.
"Tentu ... asal kau menjawab dulu, dari mana luka ini berasal?" ucap Darren sembari menyibakkan rambut Jean ke belakang telinganya, hingga luka memarnya sekarang terekspos jelas.
Jean menelan ludahnya dengan gugup. Ia beberapa kali mengerjap menatap mata Darren yang serius menelitinya. Ia tak mengerti, harusnya dengan kedekatan seperti ini ia sudah mendorong pria itu menjauh. Tapi dengan Darren ... ia seperti merasakan sesuatu ketika melihat mata hijaunya yang dalam itu.
"Suamiku," ucap Jean.
Darren mengernyit dan seketika tubuhnya menegang.
____****___

Book Comment (143)

  • avatar
    HidayatiAnis

    Emang sih ga tau kek apa rasanya diselingkuhi. tp, membayangkan saja sudah kesal. hanucurin aja tuh dia pria dan wanita gatelnya sekalian!!

    07/08/2022

      1
  • avatar
    LubisDiena

    dari awal bab udah bikin gemes nie ceritanya

    05/05/2022

      4
  • avatar
    Vina_Rosse

    semangat kak 😍 ceritanya menarik. 🥳🥳🥳

    26/04/2022

      11
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters