logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

File 7 : Atla adalah EARTHSEED

Lama kami berdua tak berbicara hanya saling menatap saja. Irana juga sesekali matanya curi-curi pandang pada layar Qourtex, sebuah gadget yang fungsinya sama dengan komputer mini milikku dulu.
Qourtex benar-benar dioperasikan dengan sentuhan seutuhnya. Secara fisik hanya semacam kaca biasa. Namun saat disentuh pojok kanan bawah, gadget ini bisa menyala dan menampilkan operasi sistemnya serta menu didalamnya.
"Hei, kau ini masih sempat menonton film sedih kesukaanmu itu. Hidup kita jauh lebih menyedihkan daripada yang ada disana!"
"Ini namanya drama, Dova! Huh, isi kepalamu itu apa hanya game saja?"
"Aaah! Tahu apa perempuan soal game, hah!"
Tatapan kami berdua kini berubah menjadi tajam. Pada akhirnya aku yang menyerah saat mulai melihat kilatan listrik seolah melompat dari mata Irana. Selamatkan dirimu, Dova! Sebelum setruman itu menyakitimu lagi.
"Aah, sudahlah! Lalu bagaimana kita menyampaikan pada Atla soal kekuatannya itu? Dia pasti belum bisa menerimanya!"
Belum saja Irana berbicara, Eleanor sudah datang dengan wajah panik. Kata dia, kakaknya mengalami hal yang sama saat menemukan Ibunya dalam kondisi tak sadarkan diri waktu itu. Aku dan Irana bergegas masuk ke dalam kamar Atla.
Baru pintu dibuka, barang didalamnya sudah berterbangan keluar. Nyaris saja menghantam aku dan Irana. Eleanor memang tidak aku minta untuk kemari demi keselamatannya. Astaga! Aku jadi tak mampu lagi menapak ke lantai.
"Irana! Dekati Atla dan bawa batu ini aaaaa...!"
"Dovaaa! Iya, ayo tenanglah Atla! Dulu aku tidak sehebat ini saat kekuatan EARTHSEED-ku aktif."
Kepalaku rasanya ikut berputar bersama badan ini. Bagaimana bisa ini terjadi? Ayo Irana, cepat tempelkan batu Katilayu-nya! Seketika, semuanya berhenti dan kembali normal termasuk aku. Eh, kembali normal? Aaaaarkh!
"Bruuuk!"
"Jangan ulangi ini lagi, aku benci jatuh! Mata siberkinetikku tak mampu mendeksinya terlebih dahulu."
"Fiuh...! Untung saja, lagipula dia mana tahu Dova!"
Atla sempat pingsan, tapi cepat sekali dia tersadar. Tangan kanannya memegang kepalanya. Ia nampak bingung dengan kondisi sekitarnya.
"Ng... apa yang terjadi denganku? Kenapa kamarku berantakan ya? Eh, ada Paman Dova dan Bibi Irana disini."
"Sudah aman ya? Kakaaaaak!"
"Eh, Eleanor! Kenapa kau nampak ketakutan begitu?"
Tak ada tanggapan apapun selain pelukan dari Eleanor ke Atla. Ia benar-benar menangis, takut kalau terjadi sesuatu ke kakaknya. Kurasa ini tidak bisa dibiarkan lagi. Aku harus memberitahu mereka berdua.
"Kalian berdua ikut paman ke depan. Kita semua harus bicara!"
***
Aku bisa langsung menyampaikan pada mereka semua tanpa perlu ada yang ditutupi lagi. Kondisi ibu mereka, tentang batu Katilayu yang kubawa dan ayahnya yang seorang EARTHSEED sama seperti Atla. Irana masuk dalam pembicaraan untuk mengajak mereka besok ke Wanara.
"Lalu sekolah kami bagaimana, paman?"
"Paman dan Bibi yang urus semuanya, Atla. Kalian tak akan sekolah dulu sampai situasinya baik."
"Jadi, kakak adalah EARTHSEED? Itu keren! Terus besok kakak akan belajar bersamaku dengan Guru Wanara."
"Ya, ayah kalian dan bibi sendiri sebenarnya juga EARTHSEED, hanya beda elemen saja."
"Huh! Tapi aku akan rindu dengan teman-temanku di sekolah, paman."
"Iya, lalu kau mau buat sekolahan kacau dengan kondisimu yang tadi? Kekuatanmu belum stabil, Atla!"
"Eeh, jangan dong paman! Apa tidak bisa dihilangkan ya? Guru Wanara tidak bisa menghilangkannya?"
Eleanor dan Irana menatap Atla yang terlalu polos mengatakan itu dihadapan kami semua. Tanganku langsung memegang rambut ikalnya lalu mengacaknya tak karuan. Sampai sang pemilik rambut protes padaku. Gemas melihat Atla seperti itu, dia bukan lagi mirip tapi sudah hasil fotokopian dari Artemis.
"Ih, kok kakak tidak mau!"
"Daripada buat susah, Eleanor. Kenapa ayah dan ibu juga tidak pernah mengatakannya dari dulu ya?"
"Karena ayah dan ibumu mau kau hidup normal dulu, Atla. Sampai kekuatan itu bangkit sendiri. Aaah! Tapi rupanya malah aku yang memberitahumu sekarang."
Sementara waktu Atla tidur di rumahku dulu. Besok saja membereskan kamarnya yang berantakan. Eleanor malah merengek meminta Irana untuk membacakan dongeng sebelum tidur. Anak perempuan satu ini malah dekat dengan bibinya bukan sama ibunya.
***
"Uu...aaa...uu...aa!"
Atla malah takut mendengar suara monyet di Hutan AlasRo ini. Berbeda dengan Eleanor yang sudah terbiasa, dia bahkan mengelus salah satunya. Sementara kakiku masih dipegang erat oleh Atla. Astaga! Apa anak ini begitu takutnya dengan hewan kecil itu?
"Mereka tidak akan menggigit kakak, ayo sini!"
"Jangan, Eleanor! Mereka banyak kumannya!"
"Duh, kakak! Nanti kan bisa cuci tangan."
"Ihihihi... kemarilah Atla! Mereka tidak akan mengganggumu."
"Hah? Kakek siapa kok tahu namaku? Pasti Eleanor atau paman atau lagi bibi yang kasih tahu."
"Enak saja! Wanara memang bisa tahu siapa namamu, Atla! Kenapa jadi menuduh paman dan bibi?"
"Oh, bukan rupanya. Ya, maaf paman!"
Haah...! Aku hanya menepuk jidat saja. Atla belum mau melepas kakiku, kurasa anak ini perlu dipaksakan agar mau mendekat ke Wanara. Daripada lama lebih baik kaki ini kuseret saja eh anak ini malah menempel disini. Rasanya berat sekali berjalan ditempeli anak usia sepuluh tahun ini.
"Kenapa paman malah jalan kesini sih!"
"Jadi, mau sampai kapan kau seperti ini terus? Aah!"
Maaf, Atla kau terpaksa kutendang biar lepas dari kaki ini. Wanara hanya tertawa seperti biasanya yang membuat anak itu ingin lari. Aku segera mencegahnya agar dia tidak kabur.
"Tidak, Paman Dova! Jangan paksa aku untuk...."
"Hei, kau ini laki-laki! Ayolah, Eleanor saja tidak takut."
"Aku kan sudah lama berlatih dengan Guru Wanara, paman. Jadi, ya biasa saja!"
Kuberitahu sekali lagi pada Atla untuk tidak kabur. Wanara hanya ingin melatihnya agar kemampuan EARTHSEED milik anak itu tidak menjadi liar.
Pada akhirnya Atla menyerah, dia mau juga. Eleanor mengakui kalau kakaknya itu sedikit payah untuk diajak berlatih beladiri. Kata Eleanor saat di sekolah, Atla selalu menghindar kalau ada teman laki-lakinya yang mau mengajaknya berkelahi.
"Ihihi... aku tidak akan menyakitimu."
"Baiklah, aku mau! Tapi, paman nanti jemput kami berdua ya."
"Jarak dari sini kan dekat, kakak. Kenapa harus Paman Dova yang jemput kita? Jalan kaki saja berdua nanti saat pulang."
"Pulang saja nanti sama Eleanor, dasar anak manja!"
Lebih baik aku pergi dari sini. Sepertinya kedua anak Artemis itu tidak ada yang benar sama sekali. Anak perempuannya nakal luar biasa, berbanding terbalik dengan anak laki-lakinya yang terlalu lembut seperti ayahnya.
Saat aku teringat akan Artemis, pada akhirnya dia dipaksa oleh kondisi yang ada untuk bisa bertarung. Meski sebenarnya dia adalah tipe laki-laki yang tak mau cari ribut. Langkahku terhenti sejenak, membalikkan badan dan mencoba memfokuskan mata siberkinetik ini. Melihat Wanara sedang berbicara apa entah pada Atla dan Eleanor.

Book Comment (226)

  • avatar
    O Ye Soes

    simpan.. baca nanti yg lin blim kelar bacanya

    4d

      0
  • avatar
    RamadaniIzza

    kisah moderen dan bagus👍

    9d

      0
  • avatar
    AyundaNovita

    Cerita ny sangat menarik sekali

    10d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters