logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 3

"Mata kamu sembab, abis nangis, ya?" tanya Nia.
Saat mereka bertemu di tempat janjian. Sebuah warung nasi goreng di pinggir jalan.
"Nggak apa-apa, kok."
Kasih tersenyum tipis lalu memalingkan wajahnya, agar Nia tak lagi bertanya. Mereka memang teman satu kelas, tapi Kasih dulu tidak terlalu dekat dengan Nia. Kasih belum tahu banyak tentang karakter gadis berambut ikal itu. Lagi pula tidak enak juga bila membicarakan masalah keluarganya pada orang lain.
Nia menatap Kasih sesaat, lalu berlalu masuk ke dalam tenda diikuti Kasih di belakangnya. Kondisi warung cukup ramai, karena hari ini weekend. Selain mereka berdua ada juga beberapa orang yang sedang makan ataupun menunggu pesanan. Di luar tenda juga ada beberapa orang yang mengantri pesananya untuk dibawa pulang.
Nia menarik tangan Kasih, menuju bangku di pojokan yang masih kosong. Mereka bergegas menghampiri tempat itu sebelum dihuni pelanggan lain.
"Kamu mau pesen apa?" tanya Nia saat mereka sudah duduk di bangku.
Kasih mengamati daftar menu yang dipegang Nia. Setelah berpikir beberapa saat, ia akhirnya memilih menu yang paling murah. Menu yang sesuai dengan budget makanya hari ini. Nasi goreng telur seharga sepuluh ribu dan air mineral botol seharga dua ribu.
"Yakin kamu pesen itu? Di sini yang paling laris nasi goreng special lho. Ada ayam, ati ampela, sosis, bakso sama petai juga. Dijamin rasanya enak," ucap Nia sambil mengacungkan dua jempol tanganya.
Kasih kembali melihat menu, nasi goreng special harganya dua puluh ribu satu porsi. Ditelanya ludah dengan susah payah, bisa saja dia beli menu itu sekarang. Namun, bagaimana ia harus mengatur uangnya yang limit itu?
"Emm, nggak, deh. Nasi goreng telur aja cukup," jawab Kasih dengan pelan.
"Udah, pesen yang special aja. Malam ini aku yang traktir," ujar Nia seraya tersenyum.
"Eh, nggak usah. Aku beli sendiri aja," tolak Kasih dengan canggung.
Nia tidak mempedulikan penolakan Kasih. Gadis itu malah beranjak menuju penjual nasi goreng untuk memberi tahu pesananya.
"Aku jadi nggak enak sama kamu, Nia," ucap Kasih sambil menunduk, saat Nia kembali duduk di hadapanya.
"Udahlah, kayak sama siapa aja. Kita 'kan teman. Sekarang aku traktir kamu, lain kali gantian kamu yang traktir."
"Makasih, ya." Kasih tersenyum dengan tulus, senang rasanya punya teman.
Sedari dulu Kasih tidak terlalu dekat dengan teman-temanya. Ia gadis pemalu yang tidak pandai bergaul. Kata-kata ibunya yang selalu merendahkan Kasih sebagai perempuan membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang pendiam dan gampang merasa minder. Sehingga ia merasa sulit berinteraksi dengan orang lain.
Karena itulah Kasih merasa sangat senang saat Nia menganggapnya sebagai teman. Selama menunggu pesanan datang, mereka pun mulai mengobrol dengan riang.
"Dulu aku kira kamu anak yang sombong, lho," seloroh Nia.
Kasih yang mendengarnya langsung terlihat shock. "Masak, sih?"
Nia mengangguk, matanya menerawang seperti tengah mengingat masa lalu saat mereka sekolah.
"Kenapa kamu mikir gitu?" tanya Kasih penasaran.
Hatinya mulai terasa tidak enak. Dulu memang dia sangat pendiam dan penyendiri, sehingga tidak pernah punya teman dekat.
"Dulu kamu pendiam banget, kalo diajak ngobrol juga cuma jawab singkat-singkat aja. Kamu seperti mempunyai benteng yang kuat, jadi sulit banget didekati. Teman-teman sekelas jadi sungkan buat mendekat, padahal kamu populer, lho," ujar Nia panjang lebar danengakhirinya dengan kekehan.
Kasih semakin shock, ia tidak mengira jika imagenya begitu buruk. Padahal ia hanya merasa minder untuk berteman dengan merekan.
"Ma-masa kalian mikir gitu?" Kasih sampai gagap karena terlalu shock.
"Iya, makanya aku surprise banget saat kamu hubungin aku buat tanya lowongan kerja. Teman-teman yang lain bahkan mikirnya kamu belagu, karena kamu paling pinter di kelas jadi nggak mau berbaur sama yang lain," ujar Nia lagi dengan santai.
Berbeda dengan Nia yang terlihat santai, Kasih malah terlihat tegang dan sangat terpukul. Dia benar-benar tidak mengira jika sikap mindernya malah menimbulkan persepsi lain pada teman-temanya dulu.
"Ma-maaf," ucap Kasih pelan sambil menunduk.
"Kenapa minta maaf?" Nia menatap Kasih sambil mengerutkan keningnya.
"Maaf kalo sikapku dulu membuat kamu dan yang lainya merasa tidak suka," jawab Kasih semakin pelan.
Kasih merasa sangat malu, jika saja ada lubang di dekatnya ia pasti tidak akan ragu untuk langsung masuk dan menghilang.
Nia yang mendengar permintaan maaf Kasih malah terbahak dengan keras. Sudut matanya bahkan sampai mengeluarkan air mata karena terlalu lama tertawa.
"Kenapa kamu malah ketawa?" tanya Kasih bingung.
"Abisnya kamu lucu," ucap Nia setelah berhasil meredam tawanya.
Kasih semakin kebingungan, ia tidak mengerti kenapa meminta maaf itu dianggap sebagai hal yang lucu.
"Ya ampun, Kasih ... itu 'kan cuma masa lalu. Nggak usah dimasukin hati. Lagian setelah bareng kamu, aku jadi tau kalo sebenarnya kamu nggak seperti itu."
Nia menepuk-nepuk pundak Kasih yang masih diam dengan raut wajah sedih.
"Benarkah?"
"Iya, emang kenapa dulu kamu nggak mau berteman sama yang lain?" tanya Nia penasaran.
"Aku bukanya nggak mau berteman sama kalian. Aku cuma minder aja," jawab Kasih dengan wajah tersipu.
"Kenapa harus minder? Seperti yang aku bilang tadi, kamu populer, lho. Terutama dikalangan cowok."
"Hah? Kok, bisa?"
"Bisa lah, kamu cantik, manis, pinter juga. Sudah pasti banyak cowok naksir kamu dulu. Cuma kamu sulit banget dideketin, jadi pada nyerah duluan, deh."
Kasih terkejut sampai mulutnya ternganga. Ia tidak mengira ada orang lain yang memujinya selain almarhumah neneknya. Saking senangnya ia sampai ingin menangis.
Nia yang menyadari hal tersebut, mengulurkan tangannya untuk mengelus lengan Kasih dengan lembut.
"Aku nggak tau alasan apa yang bikin kamu jadi gampang minder dan nggak percaya diri, tapi aku selalu siap kalo kamu mau cerita. Jangan sungkan buat minta tolong kalo kamu ada masalah. Aku ingin kita jadi sahabat baik," ucap Nia dengan tulus.
Ucapan Nia seketika membuat Kasih terharu. Hatinya merasa hangat dan bahagia, hingga tanpa terasa buliran bening mulai mengalir dari sudut matanya.
"Makasih, Nia. Aku seneng banget kalo kamu mau jadi sahabatku," ucap Kasih sambil mengusap airmata dengan ujung jilbabnya.
"Udah dong, jangan nangis. Dasar cengeng," seloroh Nia sambil tertawa. Namun, matanya juga terlihat berkaca-kaca.
Mereka saling menatap sebentar kemudian tertawa bersama. Hilang sudah rasa canggung dan sungkan diantara mereka. Setelah pesanan datang, mereka pun langsung menyatapnya sambil sesekali mengobrol dengan akrab.
****
Setelahnya, Kasih dan Nia menjadi sahabat karib. Mereka sering bertemu untuk jalan-jalan melepas penat setiap hari libur.
Semenjak memiliki teman, Kasih menjalani hari-harinya dengan lebih semangat. Ia pun mulai terbiasa dengan pekerjaanya. Kini ia mampu mengemas kaos kaki dengan cepat bahkan sampai melebihi target yang ditentukan. Sehingga gajinya pun semakin bertambah sesuai dengan hasil kerjanya. Sedikit demi sedikit ia mulai bisa menabung.
Meski ibunya masih selalu meminta kiriman uang, setidaknya ia tidak perlu lagi mendengar ocehan ibunya yang menyakitkan. Asal uang lancar, maka Kasih pun terbebas dari makian.
Namun, semua kebahagiaan Kasih tidak bertahan lama. Di bulan ke delapan ia bekerja, pandemi melanda negeri. Banyak pabrik yang tutup karena tidak boleh beroperasi, sehingga banyak karyawan yang terkena PHK.
Kasih dan Nia juga terkena dampak pandemi tersebut. Namun, Nia masih beruntung karena bisa ikut kerja di kantor tempat kakaknya bekerja. Sedang Kasih, mau tidak mau harus kembali ke kampungnya. Kembali ke rumah orangtuanya.
****

Book Comment (29)

  • avatar
    UdinSolik

    crita bagus

    22/06/2023

      0
  • avatar
    LestariArbiDwi

    bagusss

    07/04/2023

      0
  • avatar
    dickyzulkarnain

    ok baik

    10/03/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters