logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Kemarahan Revan

Risa mondar-mandir di kamarnya. Beberapa kali ia hendak keluar mengetuk kamar Revan, namun ia urungkan lagi. Otak Risa berusaha memerintahkan pikiran dan tubuhnya untuk tidak peduli dengan urusan orang lain, nyatanya perasaanya menolak, ia terus memikirkan gadis yang dekat dengan Revan itu. Entah kenapa ia merasa gadis itu punya masalah yang berat. Mungkin Revan belum tahu pertemuan gadis itu dengan bu Merlin. Risa hanya ingin memberitahu Revan. Entahlah, harusnya Risa tidak perlu ikut campur, apalagi ia bahkan tidak mengenal Rindi dengan baik.
Risa menghela napas panjang, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengetuk kamar Revan.
Tok... tok... tok...
Tidak ada balasan.
Tok ... tok ... tok...
"Revan, gue mau ngomong." Risa sedikit mengeraskan suaranya.
Tidak ada balasan dari kamar Revan. Ini anak tidur atau pingsan atau gimana sih? batin Risa.
Risa menghela napas berat, berusaha menjadi lebih sabar lagi menghadapi seorang Revan. Risa mengelus dadanya perlahan untuk menetralkan emosinya.
"Gue mau ngomong soal Rindi." Risa memelankan suaranya.
Beberapa detik kemudian kamar Revan terbuka. Risa agak terkejut dengan sikap Revan yang tiba-tiba membuka pintu dengan keras, apalagi mimik muka Revan yang sangat intens menatap tajam ke arahnya.
"Ngomong apa barusan?" tanya Revan setengah membentidak.
"Gue mau ngomong soal Rindi." Risa memperjelas ucapannya.
Muka Revan memerah, dia kelihatan marah. Risa melongo, ia hanya ingin membicarakan soal Rindi, dan Revan semarah itu? Padahal Risa belum bilang apapun. Revan mendorong keras tubuh Risa hingga membentur tembok kamarnya. Pintu kamar Risa memang berhadapan dengan kamar Revan.
"Hish, jangan kasar dong, gue kan gak ngajak berantem."
Risa naik pitam juga. Sikap Revan keterlaluan, padahal Risa sudah sangat menahan diri untuk tidak berkelahi dengannya.
"Ikut gue ke teras samping," perintah Revan.
Risa mengikuti langkah revan. Teras yang dimaksud Revan adalah teras lantai 2 yang terletak di belakang kamar Revan.
Teras itu lumayan luas, biasanya digunakan Revan untuk menenangkan diri atau latihan beladiri.
"Tahu dari mana tentang Rindi?" tanya Revan dengan tatapan tajamnya.
"Lah, dia kan temen sekolah kita, ya gue tahu lah." Risa melirik Revan, ia tahu cowok itu jengkel dengan jawabannya.
"Gue tanya, darimana lo tahu gue ada hubungan sama Rindi?"
"Oke, gue tahu karena gak sengaja. Hari ini gue ke toilet halaman belakang sekolah, gue tahu lo lagi ngobrol sangat dekat dengan gadis itu, jadi gue simpulkan kalau lo memiliki hubungan dengannya." Rasanya susah sekali bagi Risa untuk bilang Rindi itu pacar Revan.
"Siapa saja yang tahu selain lo?"
"Gue gak tahu, gue gak cerita ke siapapun."
Berarti benar mereka memang pacaran dan Revan sengaja menyembunyikan hubungan mereka, batin Risa
"Lalu?" tanya Revan lebih santai.
"Dia punya masalah apa? Kenapa seperti sedang tertekan?"
Risa tidak mengerti kenapa malah pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya. Risa merutuki dirinya sendiri. Bukankah dia hanya ingin menceritakan pertemuan Rindi dan bu Merlin tadi di sekolah?
"Jangan ikut campur! bukan urusan lo." Mimik muka Revan berubah lagi, tampan tapi menakutkan.
"Gue tahu, tapi gue harap lo memperlakukan dia dengan baik." Risa mengingat tangan Rindi yang di perban.
kenapa ini yang keluar dari mulut gue? batin Risa.
Revan mendekat ke arah Risa. Tatapannya penuh emosi. Ia mencengkeram kuat bahu Risa, sementara Risa hanya diam tidak berusaha melawan atau protes.
"Gue bilang sekali lagi, ini bukan urusan lo! dan jangan ikut campur dengan kehidupan orang lain." Risa tidak bergeming, dia tetap diam menatap cowok di depannya. Bahunya sakit, tapi kenapa hatinya lebih sakit?
Risa melepaskan cengkraman Revan, "Gue gak akan ikut campur urusan lo, gue juga gak akan kasih tahu siapapun tentang hubungan lo dan Rindi. Tapi harusnya lo sadar, lama-lama orang akan tahu dengan apa yang lo sembunyiin."
"Itu urusan gue, gak usah sok prihatin," sahut Revan dengan emosi.
"Gue cuma ngingetin, bukan prihatin." Risa kesal bukan main.
"Terserah lo." Revan hendak pergi.
"Tunggu! bukan itu yang mau gue bilang."
"Lalu apa?" Revan tidak berniat menatap Risa, Ia berhenti dengan membelakanginya.
"Tadi pas gue ke ruang guru, gue dengar obrolan bu Merlin dan Rindi. Bu Merlin marah melihat penurunan semangat dan belajarnya Rindi, padahal sebentar lagi olimpiade. Rindi itu ... ingin masuk universitas favorit dengan beasiswa lewat olimpiade matematika. Dan gue lihat sepertinya dia sedang banyak masalah." Risa memelankan suaranya.
"Gue gak tahu apapun, tapi mungkin lo yang lebih paham karena ... dekat dengannya.. Gue gak punya maksud apa-apa," jelas Risa.
Risa melihat punggung Revan. Cowok di depannya itu sedang menahan amarahnya. Revan mengepalkan tangannya kuat, kemudian beranjak pergi ke kamarnya tanpa mengucapkan apapun pada Risa.
Risa mendongak ke atas, melihat langit gelap yang dihiasi bintang. Ia menghela napas berat. Kemarahan Revan tadi benar-benar meninggalkan kesedihan bagi Risa. Mereka sering bertengkar sejak dulu, Risa sudah sering melihat Revan menahan emosi saat mereka adu mulut atau adu fisik, tapi kenapa rasanya berbeda dengan hari ini? kemarahannya hari ini meninggalkan luka di hati Risa. Kenapa Revan sangat sensitif menyangkut gadis itu? dan yang membuat Risa lebih kesal lagi adalah kenapa ia harus memikirkan ini semua? Kenapa ia peduli dengan kehidupan Revan dan orang-orang di sekitarnya? Sekuat apapun Risa berpikir, ia tidak menemukan jawabannya. Satu-satu nya solusi adalah bertanya pada sahabatnya, Vanya. Risa bergegas menuju kamarnya. Sungguh lelah sekali hari ini, ia hanya ingin segera istirahat.
Sementara di lantai bawah Rani dan Nadia samar-samar mendengar pertengkaran Revan dan Risa. Rani khawatir, namun tidak ingin ikut campur dengan urusan anak muda itu. Nadia juga memikirkan hal yang sama. Rani dan Nadia hanya bisa saling menatap dan berdoa dalam hati masing-masing.
Keesokan paginya, Risa sarapan dengan Rani dan Nadia saja, Revan sudah pergi lebih dulu. Risa yakin Revan ingin menemui Rindi sebelum masuk sekolah.
"Ris, kamu gak apa-apa berangkat sendiri?" Rani khawatir.
"Gak apa-apa, Te. Risa sudah biasa naik bus sendiri." Risa berusaha meyakinkan Rani agar dia tidak khawatir.
"Risa berangkat ya, Tante dan Kak Nad." Risa mencium tangan Rani dan melambai pada Nadia.
"Hati-hati, Ris." Nadia ikut melambaikan tangannya dan dibalas anggukan oleh Risa.
Risa menuju jalan utama untuk menunggu bus. Pikirannya kembali ke kejadian tadi malam. Risa masih tidak habis pikir, kenapa Revan bisa semarah itu saat ia menyinggung tentang Rindi. Risa menggelengkan kepala pelan, berusaha mengusir pikirannya tentang Revan.
Risa terkejut dengan suara klakson motor di dekatnya. Risa melihat seseorang dengan motor sport nya berhenti tepat di depannya.
"Mau bareng lagi?" cowok itu tersenyum.
"Arsen..."
"Hai, Risa." Arsen tersenyum dan melambaikan tangan.
"Lo lewat sini terus, ya?" Risa mendekat pada Arsen.
"Iya, gue lewat sini, gimana mau bareng?" tanya Arsen.
Risa tampak berpikir, kemudian ia mengangguk. Bukan tanpa alasan, ia tahu Arsen anak IPA 1, itu artinya dia satu kelas dengan Rindi. Mungkin Risa bisa bertanya pada Arsen soal Rindi.
Arsen melajukan motornya menuju sekolah. Selama perjalanan mereka ngobrol banyak hal. Arsen memiliki paras tampan, pintar akademik, dan sangat ramah. Risa yang sebenarnya juga ramah, cepat beradaptasi dengan cowok itu.
"Makasih ya, Ar," ucap Risa saat mereka telah sampai di parkiran sekolah.
"Iya, santai aja, gue bisa kok nebengin lo tiap hari, kita kan searah," balas Arsen.
"Duh, jadi ngrepotin, ntar gue di marahin pacar lo lagi," sahut Risa sambil tertawa.
"Gue belum punya pacar, santai aja." Arsen sebenarnya malu mengatakan itu, tapi dia berusaha bersikap santai.
"Hm, nanti pulang bareng, mau gak? gue traktir deh, kemarin kan lo udah nolongin gue," ucap Risa.
"Beneran? oke deh, gue mau," jawab Arsen.
Risa kemudian melambaikan tangan pada Arsen dan berjalan menuju kelasnya.
Baiklah. Gue penasaran sama Rindi. Semoga Arsen bisa membantu, batin Risa.
Revan melihat Risa sedang ngobrol dengan Arsen. Revan tahu sedikit tentang cowok itu karena Rindi pernah cerita. Arsen adalah satu-satunya teman sekelas Rindi yang sering ngobrol dengannya.
Arsen juga di gandrungi banyak murid cewek di SMA Dirgantara Bhakti, most wanted kedua setelah Revan. Dia populer karena baik, pandai, dan ramah.
Revan berusaha tidak peduli dengan apa yang ia lihat, namun hatinya berkata lain. Ada yang aneh dengan hatinya ketika melihat kedekatan Risa dan Arsen.
"Van, lo dari mana?" tanya Daffa yang tiba-tiba saja nongol di sebelahnya.
"Oh, gue dari toilet," jawab Revan.
"Toilet belakang?" tanya Kevin dan Revan mengangguk.
"Gak ada masalah serius kan, Van?" Daffa menyelidik ekspresi muka Revan yang dari tadi tampak sedikit kacau.
"Ada sedikit masalah, tapi udah beres kok," jawab Revan.
Daffa dan Kevin menoleh ke arah pandangan Revan. Mereka melihat Risa melambai pada Arsen dan berjalan menuju kelasnya.
"Wuoooh, si Risa berangkat bareng Arsen? Pacaran, ya?" Deo tiba-tiba datang langsung tanggap dengan situasi yang ada.
Daffa dan Kevin mengangkat bahu, tanda tidak tahu, sementara Revan hanya diam saja.tidak menanggapi pertanyaan sahabatnya itu.
"Mungkin saja," ucap Revan sambil berjalan ke kelasnya.
"Eh dia kenapa? Ada masalah?" tanya Deo.
"Iya, ada masalah sama si itu." Kevin memberikan kode.
"Heh, itu siapa? Risa?" Deo menggaruk kepalanya.
"Bukan lah." Daffa melotot.
"Oh Rin---" Daffa langsung membungkam mulut Deo sebelum melanjutkan bicaranya.
Revan memang terbuka soal Rindi kepada tiga sahabatnya, karena mereka. lah yang selalu membantu setiap pertemuannya dengan Rindi. Mereka juga paham situasinya dan merahasiakan ini dari semua orang.
"Punya mulut dijaga dong woe, hampir aja lo kelepasan ngomong. Bisa gawat kalau ada yang dengar!"
Daffa masih membungkam sahabatnya itu. Deo yang tidak tahan langsung berontak dan melepaskan tangan Daffa.
"Buset, gila lo ya Daf, bau banget tangan lo, gue pengen muntah." Deo menunjukkan ekspresi ingin muntah.
"Eh sorry, gue lupa habis makan pete." Daffa langsung menghampiri Deo dan menepuk-nepuk punggungnya agar sahabatnya itu tidak muntah beneran.
Kevin tertawa. Sahabatnya memang aneh-aneh, sarapan pakai pete? Itulah Daffa, si pecinta pete.
"Gue ke kelas ya, nyusul Revan, baik-baik sama Deo, siapa tahu ada benihnya." Kevin tertawa meninggalkan dua sahabatnya yang terbengong.
***
Revan lagi-lagi duduk dengan tatapan kosong, kali ini bukan Rindi yang ada di pikirannya, tapi Risa. Risa dan Revan memang sudah tiga bulan ini tidak berkelahi, mereka hanya saling mengejek jika bertemu. Revan teringat kejadian semalam, harusnya ia tidak bersikap sekasar itu pada Risa. Risa sudah memberitahunya soal pertemuan Rindi dan bu Merlin, yang bahkan Rindi sendiri sebenarnya tidak ingin Revan tahu. Revan merasa bersalah, terlebih lagi tadi pagi ia harus berangkat lebih dulu untuk berbicara dengan Rindi.
"Ngelamun?" Kevin membuyarkan lamunan Revan.
"Yang lain mana?"
"Deo muntah gara-gara tangan Daffa bau pete, ada-ada saja kelakuan bocah." Kevin tertawa dan Revan tersenyum mendengar perkataan Kevin barusan.
"Ada masalah apa, Van?" Kevin menatap Revan.
Revan menghela napas berat. Ia tahu Kevin sedang khawatir padanya. Revan sejak dulu memang lebih terbuka pada Kevin daripada dua sahabat lainnya. Bukan apa-apa, hanya saja Kevin memang lebih dewasa ketimbang lainnya walaupun kalau sudah bercanda dengan Deo dan Daffa keluar juga kekonyolannya.
"Dia akhir-akhir ini mendapat perlakuan tidak baik lagi. Dia tertekan dan belajarnya menurun sampai dipanggil bu Marlin, padahal sebentar lagi olimpiade, gue bingung harus berbuat apa." Revan menerawang ke atas.
"Van, gue udah bilang kan, masalah dalam keluarganya itu berat, ini bukan kewajiban lo buat masuk ke masalahnya, yang bisa nyelesain ya dia dan keluarganya atau pihak lain yang pastinya bukan lo. Lo sekarang bantu dia aja, biar lebih semangat belajar, gue gak mau lo terseret lebih jauh." Kevin menepuk pundak Revan.
Kevin memang sejak awal tidak terlalu menyukai Rindi, bahkan sejak Revan cerita permasalahan keluarga Rindi, Kevin sangat tegas melarang Revan untuk masuk lebih dalam ke masalah Rindi. Kevin juga satu-satunya sahabat Revan yang tahu tentang masalah itu.
"Iya, gue tahu batasnya, Kev. Semoga gue gak hilang kendali."
Kevin menggelengkan kepalanya, "Gue mohon jangan sampai hilang kendali, gue khawatir sama lo."
"Makasih Kev." Revan menatap sahabatnya itu.
"Ada yang lo pikirin selain itu?" Kevin menatap mata Revan.
Revan berdecak kesal, sahabatnya satu ini memang bisa menebak kalau ia sedang memikirkan sesuatu. Revan sebenarnya tidak ingin berbicara kepada siapapun masalah Risa, tapi dengan kevin? Ia tidak mungkin berbohong.
"Gue gak tahu kenapa lo selalu benar kalau gue masih memikirkan sesuatu."
"Hahaha, gue kenal lo udah lama kali, Van."
Dulu waktu Revan mulai dekat dengan Rindi, orang pertama yang curiga adalah Kevin, terpaksa Revan menceritakan semua kepadanya. Sementara Daffa dan Deo tahu karena ketidaksengajaan Revan.
"Sial, gue benar-benar gak bisa punya rahasia dari lo." Revan menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Katakan kalau gitu."
"Baiklah, ini... soal Risa."
Kevin tidak terkejut, "Sudah gue duga."
"Risa tinggal di rumah gue."
"Apa?" Kevin terkejut.
"Intinya orang tuanya nitipin ke ibu gue karena urusan bisnis luar kota."
Kevin mengangguk, "Lalu?"
Revan memeriksa sekitar, masih sedikit murid yang masuk kelas, Revan memelankan suaranya.
"Dia tahu gue dekat dengan Rindi, kemarin dia ngelihat gue dan Rindi di belakang sekolah, dia juga yang kasih tahu kalau Rindi dipanggil bu Merlin. Tadi malam pas dia nyebut nama Rindi entah kenapa gue jadi marah banget, gue sampe ngedorong dia. Gue gak pengen orang lain tahu dan Risa tiba-tiba mengatakan itu," jelas Revan.
Kevin memegang pundak Revan, "Lo seharusnya gak begitu ke Risa. Gue tahu kalian musuhan, tapi kenyataannya Risa pengen bantu lo dengan ngasih tahu soal Rindi, biar lo bisa kasih semangat ke Rindi, gue pikir lo harus minta maaf."
Revan mengangguk. Sepertinya pulang sekolah gue harus ketemu Risa. Batin Revan.
"Udah? Masih ada lagi gak yang mau lo bilang?" tanya Kevin.
"Udah, Kev." Revan memperhatikan mimik muka Kevin. Cowok di depannya itu masih menyimpan rasa penasarannya.
"Oh, oke." Kevin tahu Revan sedang berbohong, ada hal lain yang mengganggu pikirannya.

Book Comment (638)

  • avatar
    FransiskaAde

    ditunggu kelanjutan ceritanya kak, jangan lama lama munculin bab baru nya😁

    18/06/2022

      5
  • avatar
    AimanArif

    good

    1d

      0
  • avatar
    BR PANEMUTIARA

    aku sih blm tau benar bisa di tukar apaa enggak tapi ,klo bisa keren sih

    7d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters