logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

My Cool Enemy

My Cool Enemy

Ichira Sherry


Chapter 1 Clarisa dan Blue Devil

Gadis bermata coklat pekat dengan seragam putih abu-abu memainkan jarinya di bangku sekolah. Gadis itu tampak bosan, sesekali matanya melihat ke segala arah berharap orang yang ditunggunya itu segera datang. Lima menit kemudian, datang seorang gadis berambut lurus sebahu menghampirinya. Tampilan gadis itu sangat kacau dan napasnya tampak tidak beraturan.
"Ris, lo ya enak-enakan duduk, lah gue lari ngos-ngosan," ucapnya pada gadis di depannya bernama Risa.
"Lah kenapa harus lari-lari, bukan lomba maraton kali," balas Risa pada Vanya
"Nih minum lo." Vanya melempar susu beruang yang baru dibelinya dan dengan sigap Risa menangkapnya.
"Kenapa lari-lari, sih?" tanya Risa asal.
"Gara-gara geng dedemit tuh. Pas gue antri bayar minum, si Deo narik kerah gue dari belakang," gerutu Vanya kemudian ia mulai mendengkus kesal.
"Terus?" ucap Risa sambil meminum susu beruangnya.
"Gue kesel, pas mau balik gue injek kakinya. Dia marah, gue di kejar sampe koridor. Nah, pas ngejar gue dia menabrak sesuatu sampe jatuh. Gue ketawa ngakak sampe kejengkang." Vanya mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Hahaha, jadi sama-sama jatuh nih ceritanya? Jodoh emang gak kemana, ya?" Risa tertawa lebar.
"Mingkem! mulut lo bau beruang!" ketus Vanya.
"Apaan, sih!" Tanpa sadar Risa menutup mulutnya.
Risa menggelengkan kepalanya pelan. Sahabat terbaiknya ini memang selalu bertingkah konyol dan bisa membuatnya tertawa. Vanya suka berbicara ceplas-ceplos, tidak bermutu dan tidak berkelas.
Pernah suatu hari saat menunggu bus di tepi jalan, ada pengamen menghampiri Vanya dan Risa. Vanya bilang suara pengamen itu sangat fals dan tidak tahu cara mengamen yang benar. Vanya langsung merampas ukulele pengamen itu dan menggantikan posisinya mengamen. Si pengamen dengan santainya duduk sambil kipas-kipas seperti bos. Setelah otak Vanya bekerja dengan benar barulah dia ngomel-ngomel dan melempar ukulele si pengamen. Sepanjang perjalanan di bus, Vanya terus mengomel menyalahkan pengamen, padahal dia sendiri yang merampas paksa ukulele si pengamen dan sukarela berjoget dan bernyanyi.
Risa tertawa mengingat kejadian itu. Vanya merasa aneh sahabatnya tiba-tiba tertawa kemudian menjitak kepala Risa dengan cukup keras, membuat gadis itu melotot seketika. Meskipun begitu, Vanya adalah sahabat terbaik Risa. Vanya lah satu-satunya sahabat yang mendukung dan membantu Risa dalam keadaan apapun.
***
Blue Devil. Sebenarnya itu hanya iseng Deo lontarkan ketika mereka masih SMP. Revan, Kevin, Daffa dan Deo sudah menjadi sahabat sejak sebelum masuk SMA. Mereka bukan geng motor, sama sekali bukan. Nama geng itu hanya di buat seru-seruan saja. Namun, karena ketampanan mereka geng itu mulai terkenal di kalangan sekolah. Terutama Revan, cowok dengan ketampanan nyaris luar biasa, Irit bicara, cuek, dingin, dan tatapan tajamnya membuat kaum hawa memujinya. Revan akan bersikap berbeda dengan sahabat atau orang yang sudah dikenalnya, ia bisa menjadi lebih hangat, bahkan bisa juga ikut bobrok saat bersama sahabat-sahabatnya. Saat ini Blue Devil sedang menunggu salah satu temannya di kantin bu Siska.
"Si Deo kemana? ngejar cewek satu aja lama banget, pantes gak laku-laku." Salah satu anggota geng itu bernama Daffa mulai mengomel.
"Emang lo udah laku? main comot aja, sosis gue woe." Kevin menjitak kepala Daffa dan merebut sosisnya kembali.
"Berisik! Gue lagi makan." Revan yang dari tadi memilih diam tidak tahan juga untuk bersuara.
"Sorry, Van. Daffa nih minta di tabok." Kevin beneran nabok si Daffa.
"Aduh, sialan lo, Kev, beneran nabok lagi," protes Daffa.
Kedua sahabatnya tidak peduli, mereka mengalihkan penglihatannya pada seseorang yang baru datang.
"Wah-wah, bibir lo kenapa, De? habis di cium Vanya?" Kevin tertawa meledek.
"Habis ke jontor tiang listrik?" Revan menimpali.
"Sialan tuh cewek, gue udah jatuh ketimpa toren," ucap Deo.
"Hah, tangga woe, tangga." Daffa menjitak kepala Deo.
"Sejak kapan ganti? Kok gue gak tahu." Deo mengerjap polos.
"Wah, minta di tonjok beneran nih anak." Kevin mengepalkan tangannya.
"Tonjok aja, Kev. Biar gak hidup lagi, malu-maluin." Daffa menepuk pundak Kevin.
Deo merasa terpojok, segera merapatkan kedua telapak tangannya di dada memohon ampun.
"Tadi gue kira lo habis di tonjok Risa, De!" Daffa menepuk punggung Deo.
Deo menggeleng. Takut salah ngomong lagi bisa-bisa kena tonjok beneran.
"Heran gue sama Risa, badan kekar enggak, gede enggak, montok nggak, tepos iya, tapi kuat banget," ucap kevin.
"Iya, ngeri gue, pas dia marah auranya jadi horor, ngalah-ngalahin Deo ngesot, eh suster ngesot." Daffa tertawa, Deo melotot sebal.
Revan hanya diam, malas menanggapi pembicaraan sahabat-sahabatnya. Revan memang tidak suka dengan Risa. Bagi Revan, Risa itu musuhnya. Setiap bertemu tidak pernah akur, selalu saja adu mulut, bahkan adu fisik. Risa bukan seperti cewek pada umumnya. Dibalik tubuhnya yang mungil, Risa adalah cewek yang kuat. Kemampuan bela dirinya memang bisa di acungi jempol.
Revan teringat kejadian tiga bulan lalu, mereka sempat bertengkar yang berujung adu fisik. Tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang. Padahal, Revan termasuk cowok yang jago bela diri. Risa pandai mengatur strategi saat berkelahi sementara Revan tentu lebih unggul kekuatan fisiknya. Semenjak kejadian tiga bulan yang lalu itu, Revan jarang bertemu Risa. Ia juga menghindari pertengkaran dengan gadis itu. Jika ketahuan bertengkar lagi, mereka akan dikeluarkan dari sekolah.
"Ayo masuk kelas," ajak Revan
Revan, Daffa dan Kevin beranjak dari kursi, sementara Deo tetap diam di tempat.
"Eh, btw, di pikir-pikir gue mau banget lo kalau jatuh ketimpa Toren," ucap Deo.
"Hah."
"Hah."
"Mau mati, Lo?"
Sahabat-sahabatnya berhenti, kemudian menoleh ke arah Deo.
"Iya, tapi bukan toren yang itu, toren yang pintar dan cantik itu loh!" Deo senyum-senyum sendiri.
Ketiga temannya tampak berfikir, toren yang dimaksud Deo ini apa.
"Apa sih lo gak jelas." Kevin mulai kesal.
"Dasar udik lo pada, masa gak tahu sih Toren anak IPA 1," ucap Deo.
Revan memijat kepalanya, Daffa menutup mukanya dengan tangan, sementara kevin meremas kedua tangannya.
"Itu Louren, ah pusing gue ngomong sama bantal ileran." Kevin mulai frustasi.
"Perasaan yang ke jontor bibir, kenapa otak yang rusak." Revan masih memijat kepalanya.
"Beli otak-otak sana di depan Endomaret." Daffa mengikuti kedua temannya pergi.
"Lah, udah ganti nama? Kenapa gue gak tahu, tungguin woe." Deo tampak kebingungan, kemudian berlari mengejar ketiga temannya.
Setelah itu bel masuk kelas berbunyi. Semua murid masuk kelas untuk mengikuti pelajaran jam terakhir sebelum mereka pulang ke rumah.
***
Bel pulang berbunyi, murid-murid berhamburan keluar dari SMA Dirgantara Bhakti. Dua gadis masih bertahan di bangkunya, Vanya menempelkan kepalanya di meja sekolah, sementara Risa memandang keluar dari jendela lantai tiga sekolahnya.
"Matematika selalu sukses bikin perut gue mual, kenapa sih di jurusan IPS harus ada matematika?" Vanya memegang perutnya.
"Test pack sana, siapa tahu positif," jawab Risa asal.
"Lo diajak ngomong serius malah di becandain," sahut Vanya.
"Pulang, yuk," ajak Risa.
Mereka berjalan melewati koridor, menuruni tangga dan sampai di halaman sekolah. Kelas sudah sepi, sebagian besar murid sudah pulang.
"Nya, gue ke toilet dulu, tungguin di sini," pinta Risa.
"Kenapa gak dari tadi, sih? Yaudah sana cepetan," perintah Vanya.
Vanya menunggu Risa sambil memainkan handphone nya, tiba-tiba datanglah empat orang yang tidak asing menghampiri Vanya yang berdiri di halaman sekolah.
"Sendirian aja neng?" sapa Kevin
"Jomblo sih, ya sendirian dong," sahut Daffa.
"Biarin, suka-suka gue." Vanya kesal dan memilih tidak menggubris mereka.
"Heh, Vanya! lihat nih, gara-gara lo bibir gue jadi tambah seksi." Deo menunjuk bibirnya.
Vanya melirik Deo jengah, "Bagus dong tambah seksi." Vanya tersenyum meledek.
"Eh ngelunjak bener ya, tanggung jawab!" Deo menatap marah pada Vanya.
"Salah sendiri juga, makanya punya tangan jangan jahil!" ejek Vanya
"Lo punya kaki dijaga tuh, jangan jahil juga!" Vanya dan Deo saling melotot.
Daffa dan Kevin menatap cengo dua orang yang beradu mulut tidak ada habisnya. Sementara Revan dari tadi hanya diam, matanya memandang ke segala arah mencari keberadaan Risa.
Risa selesai dari kamar mandi dan mendekati Vanya. Deo yang mengetahui kedatangan Risa langsung menciut nyalinya dan mendadak diam.
"Untung lo udah datang, Ris." Vanya tersenyum menang.
Risa menatap datar geng Blue Devil, tatapannya berhenti di Revan. Risa menatap Revan dengan senyum mengejek.
"Ngapain sih lo, gue risih!" ucap Revan.
"Males! jengah gue sama lo, bikin masalah aja tiap hari," ucap Risa masih dengan tanpa ekspresi.
"Gue juga lagi males ribut sama lo, bikin sakit kepala," ucap Revan.
"Oh ya? Kok pengen nonjok tapi takut dosa." Risa mencibir, memasukkan kedua tangannya di saku jaket.
"Ngajakin berantem?" Revan mengepalkan tangannya.
"Enggak kok, tapi kalau mau berantem hayuk, siapa takut." Risa dan Revan sama-sama melotot.
Daffa, Kevin dan Deo bergidik ngeri. Jangan sampai Risa dan Revan tonjok-tonjokan lagi di sekolah.
"Udah dong, jangan berantem lagi, ketahuan guru kalian bisa di DO, gak ingat tiga bulan lalu gimana?" Kevin menengahi.
"Kalau mau berantem enak di kamar noh, gak dimarahi guru, tapi dimarahi bapak ibu." Deo tertawa sambil memegang perutnya.
Semua mata menatap Deo. Tidak ada yang tertawa kecuali dia. Deo menghentikan tawanya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan cengar-cengir. Daffa menjitak kepala Deo, Kevin melakukan hal yang sama. Vanya hanya geleng-geleng kepala. Emosi Revan dan Risa mereda.
"Sakit woe, parah kalian," protes Deo.
"Risaa… Revaan…."
Semua mata menoleh pada sumber suara. Bu Marlin menatap marah dan meletakkan kedua tangannya di kedua sisi pinggangnya.
"Gawat, Bu Marlin marah, tuh." Daffa sembunyi di belakang Kevin.
"Kita gak berantem kok, Bu, kita malah mau pulang bareng." Revan agak berteriak karena posisi bu Marlin yang agak jauh. Risa mengangguk dan diikuti yang lain.
"Jangan bohong, tadi ibu lihat kalian saling melotot."
Revan merangkul Risa yang berada di sampingnya. Risa menoleh dan melotot berusaha melepaskan diri namun ditahan Revan.
"Kita akur kok, Bu." Revan tersenyum sementara yang lain melongo melihat akting Revan dan Risa.
"Nah, gitu dong, bagus kalau akur, awas jangan sampai berkelahi lagi." Bu Marlin pergi.
Bu Marlin sudah menjauh pergi, Revan segera melepas dan mendorong tubuh Risa dengan kasar.
"Apaan sih lo, Van!" Risa terhuyung ke samping karena perbuatan mendadak Revan. Untung saja Risa tidak jatuh. Rasanya pengen nonjok muka Revan, tapi Risa urungkan.
Kalau bu Marlin kembali kesini, tahu gue dan Revan bertengkar bisa dikeluarkan beneran. Mengalah saja deh, batin Risa.
"Aduh, pulang yuk Ris, capek lama-lama disini." Vanya menghampiri Risa.
"Gue juga mual lama-lama di sini." Daffa berakting mau muntah.
"Kalian pulang dulu ya, gue ada urusan sebentar," ucap Revan.
"Oke," sahut Daffa, Deo dan Kevin bersamaan.
Daffa, Deo dan Kevin menuju parkiran. Mereka memang ke sekolah naik motor. Sementara Risa dan Vanya menuju gerbang sekolah, menunggu bus datang. Risa menoleh ke belakang, ia melihat Revan berlari ke arah seorang gadis berambut hitam panjang, mereka mengobrol berdua. Risa memperhatikan gadis itu, sepertinya dia anak IPA.
Revan punya pacar ternyata, batin Risa.
***
Risa merebahkan tubuhnya di Sofa ruang keluarga miliknya. Waktu menunjukkan pukul 16.00. Tadi Risa dan Vanya mampir beli minum dulu di pinggir jalan sebelum menuju rumah masing-masing.
"Capek sekali hari ini," ucap Risa sambil merebahkan tubuhnya di sofa.
Gadis bernama lengkap Clarisa Anastasia ini mengambil remot TV dan menyalakannya. Risa sebenarnya gadis yang cantik, sayangnya dia lebih memilih masa bodoh dengan penampilannya. Risa lebih suka menguncir rambut sebahunya seperti ekor kuda dan ke sekolah senatural mungkin.
Risa menguap lebar, matanya hampir saja terpejam kalau saja ia tidak terdengar suara familiar yang mengagetkannya.
"Risa, ibu pulang." Regina menuju sofa menyerahkan minuman dan makanan ringan yang ia beli hari ini.
"Tumben pulang cepat, Bu?" Risa minum susu beruang yang dibeli ibunya.
"Eh iya, ibu mau ngomong sesuatu sama kamu." Regina duduk di samping Risa.
Risa mengangguk dan mempersilahkan ibunya bicara.
"Kamu tahu kan ibu dan ayah buka cabang lagi di luar kota, ibu dan ayah mau kesana mengurus semuanya, dan butuh waktu sekitar satu bulanan."
"Lalu?" tanya Risa.
"Sebulan ini, kamu akan ibu titipkan ke rumah teman ibu, tadi ibu telepon abangmu katanya dia sibuk gak bisa pulang, ibu tidak akan membiarkan kamu sendirian di rumah."
"Gak usah, Bu. Risa bisa jaga diri." Risa tersenyum.
"No, pokoknya kamu harus nurut sama ibu, lagi pula teman ibu punya anak cewek, kamu bisa belajar dandan sama dia. Kamu itu anak cewek ibu satu-satunya, belajarlah jadi feminim," tegas Regina
Risa ingin mengatakan sesuatu, tapi Regina berbicara lebih dulu.
"Tidak ada penolakan, hari ini siap-siap, masukin baju, buku dan lainnya ke dalam koper, besok kita kesana, besok kan minggu, ibu dan ayah berangkat besok juga." Regina tersenyum lalu menuju dapur.
"What the---" umpat Risa.
"Risa!."
"Oke, Bu."
Risa beranjak menuju kamar untuk menyiapkan koper kemudian memasukkan baju dan barangnya ke dalam koper itu.

Book Comment (638)

  • avatar
    FransiskaAde

    ditunggu kelanjutan ceritanya kak, jangan lama lama munculin bab baru nya😁

    18/06/2022

      5
  • avatar
    AimanArif

    good

    1d

      0
  • avatar
    BR PANEMUTIARA

    aku sih blm tau benar bisa di tukar apaa enggak tapi ,klo bisa keren sih

    7d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters