logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Tolong Hentikan Waktu!

Laisa sebetulnya sangat cemas ketika Candra meminta untuk menanyakan sesuatu kepadanya. Seakan akan pertanyaan itu berat dan membuat dirinya tidak bisa menjawab dengan baik. Bagi sekelas Candra yang masuk kategori siswa paling berpengaruh di SMA Semesta, serta memiliki indeks prestasi tinggi. Hal kecil semacam ini tentu akan berpengaruh terhadapnya. Jika diidentifikasi, bobot pertanyaan Candra tinggi, tentu idealnya juga harus memperoleh jawaban yang setara.
Laisa diam. Ia menata diri. Memperbaiki posisi duduknya. Jarak mereka masih tiga meteran. Kini Candra duduk agak condong ke depan sambil menatap Laisa lekat.
"Lay, kamu betul menjalin hubungan dengan Dema?" tanya Candra kepada Laisa.
Ahh.. Betul yang dipikirkan oleh Laisa. Candra akan menanyakan sesuatu yang sulit ia jawab. Kenapa harus sekarang kak Candra. Dan kenapa harus di depan ibunya. Bagaimana jika ibu mendengar semuanya. Tentu Laisa akan malu. Bercerita perihal laki laki sangat jarang ia lakukan kepada sang ibu.
Menurut Laisa, bercerita hal semacam itu masih cukup memalukan di usianya yang masih belia. Oh ya.. Kemarin ia malah dengan beraninya membiarkan Dema mengantar sampai ke rumah. Hingga ibu keluar, lantas menyapanya. Untung saja ibu tidak marah karena kenekatan Dema mengantarnya di waktu maghrib itu. Bukan murni kesalahan Dema juga, namun juga Laisa. Andaikan ia menolak, pasti Dema tidak akan senekat itu. Tidak apa apa, Laisa memang sengaja melakukan hal itu agar... Ibu mengenal Dema. Iya. Itu tujuannya.
Laisa masih diam. Nafasnya tertahan, berusaha mengambil dari sisi dalam. Mulutnya terbungkam, pikirannya menjamah kemana - mana. Ia berusaha mencari kosa kata terbaik untuk mengekspresikan dan mendeskripsikan semuanya. Jangan sampai salah tangkap dan menimbulkan kesalah pahaman. Ketika seseorang bertanya tentang perasaan, seringkali ia mengedepankan perasaan juga ketika memperoleh jawaban. Bukan logika atau pikirannya. Maka, Laisa tidak ingin Candra berspekulasi dengan perasaannya juga.
"Kami teman yang baik dan saling peduli, kak." jawab Laisa. Itu jawaban yang menurut Laisa tepat. Iya. Mereka hanya teman meski sebenarnya Dema sudah mengajukan pertanyaan untuk membalas cintanya. Namun Laisa belum bisa menjawab apa apa. Ia hanya ingin menjalani semuanya bersama.
"Saling peduli"? Mungkin itu kata kata yang agak miring. Mengapa ia harus menyertakan kata itu dibelakang. Harusnya hanya berhenti di 'teman'. Pasti Candra akan berasumsi dan berspekulasi lebih terkait itu. Laisa berhenti menduga duga lagi. Ia takut tidak bisa mengendalikan diri.
"Dan apa kamu tahu bagaimana perasaannya kepadamu, Lay?" tanya Candra kembali. Laisa menunduk.
Bisa tidak, Candra berhenti menanyakan hal semacam itu. Atau setidaknya beri ia waktu untuk bernafas terlebih dahulu? Laisa maluuu. Ia tidak bisa menjawab lagi pertanyaan privasi macam itu. Perasaan Dema kepadanya biarlah menjadi urusannya. Meski Candra peduli, setidaknya ia tidak sampai menanyakan hal semacam itu.
Apakah Candra khawatir, apakah ia mencemaskan sesuatu? Ah.. Semakin kesini Laisa semakin tidak ingin menjawab pertanyaannya. Ia memilih diam saja. Toh juga, Candra seharusnya tahu bagaimana Dema memperlakukan dirinya. Dema jelas mengganggap Candra sebagai musuh karena ia pikir, gadisnya akan diterkam serigala - mungkin. Siapa lagi serigala yang dimaksud jika bukan dirinya? Pikir Laisa. Laisa berusaha berhenti memikirkan hal semacam itu. Tentu akan membuatnya semakin gila.
Candra sepertinya hendak menanyakan sesuatu lagi. Biarlah, batin Laisa. Barangkali setelah ini, ia akan lega sendiri dan tidak akan menanyakan hal semacam itu lagi dimasa depan.
"Menurutmu perihal perjodohan itu bagaimana, apa kamu setuju?" Candra bertanya kembali. Pertanyaan ini jelas menyudutkan Laisa. Ia tidak bisa menjawab lagi. Jika mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, atau ujian akhir semester, misal Laisa tidak menjawab, maka ia hanya akan mendapat skor sedikit. Namun tidak disini, ia mempunyai hak untuk menjawab atau tidak. Ketika pertanyaan itu membuatnya tersudut, Laisa tidak akan menjawabnya. Itu prinsipnya!
Laisa diam. Menunduk kembali. Sebuah isyarat jika ia enggan menjawab.
"Baiklah jika kamu belum mau menjawab pertanyaan keduaku tadi Laisa." ucap Candra. Candra pun seperti paham bahwa dirinya sulit menjawab pertanyaan itu. Barangkali ia membutuhkan waktu lebih.
Laisa juga tidak ingin tergesa gesa memikirkan hal itu. Tentu ia akan fokus sekolah, dan memikirkan bagaimana cara kuliah dengan memakai beasiswa, atau memikirkan hal yang lebih penting lagi.. Semacam ibunya, kekayaan, karir.. dan lain sebagainya.
"Ini pertanyaan terakhir, maaf banyak tanya ya. Apakah kamu mencintaiku Laisa? Walaupun itu sebentar saja atau sedikit saja?" tanya Candra. Tatapan matanya penuh harap. Kini Laisa berani menatapnya setelah sebelumnya ia hanya menunduk. Candra benar benar membuat Laisa tertegun. Ia seperti.... Sangat menginginkan Laisa saat itu juga.
"Lay?" Candra meminta pengakuan. Sementara Laisa masih diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Karena biar bagaimanapun Candra sangat berjasa kepadanya. Laisa hanya takut jika jawabannya akan menyakitinya. Laisa tidak segera menjawab. Ia tentu berpikir. Tetapi mengapa harus secepat ini. Candra meminta pengakuan.
"Aku anggap jawabanmu yang diam berarti iya!" Ah.. Benar yang ia duga. Candra memang agak memaksa. Tetapi bukankah itu wajar? Setiap orang ingin diakui, ingin diberi kepastian dan kejelasan. Jika jelas jelas Laisa tidak mencintainya, mungkin Candra akan berbalik arah. Pergi lalu mencari perempuan lain yang lebih layak, lebih baik dan lebih kaya dari dirinya - tentu.
Iya. Laisa harus melepas Candra agar dia tidak mengganggunya lagi. Perihal perjodohan yang telah disepakati dengan ayahnya? Mungin Laisa akan menemui ayahnya, berbicara dengan pusara dan memohon agar putrinya bisa mencari kebahagiaan sendiri. Mungkin ia akan meminta maaf juga karena belum bisa menepati janji seperti yang sudah ia inginkan di detik detik terakhirnya.
Laisa ragu. Tetapi ia harus menjawab.
"Ehmm... Aku... "
Laisa berharap waktu bisa berhenti seketika itu juga. Ia belum bisa menjawab - sejujurnya. Namun melihat Candra, membuatnya harus melakukan hal itu sebelum semakin banyak hati yang terluka. Tuhan, tolong hentikan waktu!
"Laisa.. " Oh.. Suara siapa itu. Ibunya?
Laisa menatap sang ibu. Dan benar... Ibunya telah sadar dadi pingsan yang cukup lama itu. Bersyukur dan sangat bersyukur, batinnya.
'Maaf Kak Candra, mungkin takdir belum meminta aku mengungkapkan semuanya. Maaf.' Batin Laisa mengatakan hal itu. Ia menatap Ibu dengan melihat ekspresi Candra. Ada gurat kekecewaan disana. Ada sesuatu yang rasanya ingin ia pukul sekeras mungkin. Kak Candra marah. Dan itu pertama kalinya Laisa melihatnya. Ia takut.
*
Ada seseorang yang tiba tiba mengetuk pintu. Ia masuk dan boom! Dema and the geng datang menjenguk ibunya. Mereka membawakan... Apa itu? Karangan bunga yang Indah. Jumlahnya tidak hanya satu, namun dua. Satunya mawar merah dan yang satu mawar putih. Apah satu itu untuk Laisa dan untuk ibunya? Ah... Manis sekali Dema!
Mereka juga membawa beberapa bungkus buah dan makanan untuk si penunggu ruangan. Laisa bisa tahu hal itu. Ibunya tidak mungkin memakan makanan berat jenis junkfood. Tentu akan berpengaruh terhadap kesehata dan lambungnya.
Laisa meminta mereka duduk di sofa bersama Candra yang dari tadi mematung. Ia terlihat tidak peduli dan hanya bersiul ringan, seakan akan tidak ada tamu yang datang. Mungkin Candra kesal karena pertanyaan tadi, batin Laisa. Dema juga bisa melihat kekecewaannya yang begitu dalam. Ia bersyukur Laisa terselamatkan oleh ibunya sendiri.
Ibunya memanggil disaat yang tepat. Atau apakah sebelumnya ia sudah mendengar semuanya? Lalu bersikap disaat yang tepat? Oh. Calon mertua memang sangat cerdas, pikir Dema.
Iya.. Dema tentu sudah tahu semuanya. Ia sedari tadi menunggu oleh oleh datang. Namun karena dua orang brengsek! Si Dion dan Riyan itu sangat lama, maka Dema tertahan di depan.
Ibu Laisa banyak bertanya tentang Dema. Layaknya ibu yang lama tidak bertemu dengan anaknya. Ia juga menanyakan tentang sahabatnya - Reyna. Dema menjawab dengan anggun dan belagak manis, pikir Laisa. Ia bahkan jarang menunjukkan sikap tersebut kepadanya. Yang ada hanya sikap menyebalkan, possesive dan.. Menggelikan! Terutama saat ia berusaha merayu Laisa dengan segala trik menggoda gadis yang pernah ia baca di suatu buku.
Ibu Laisa sudah membaik jika dilihat dari responnya. Ia diperbolehkan pulang nanti malam setelah mendapatkan beberapa pemeriksaan dokter. Laisa bersyukur, meski sakit kepalanya masih terasa, namun ia diperbolehkan untuk pulang dan beristihat dirumah.
Oh ya.. Candra. Ia memperkenalkan diri. Begitu pula dengan Riyan dan Dion. Ibu Laisa hanya pernah mendengar bahwa Candra adalah anak dari Rudi yang hendak dijodohkan dengan Laisa. Rina tidak pernah melihat wajah aslinya setelah delapan tahun silam. Tentu wajahnya sudah berubah drastis. Dsn benar. Ia terlihat tampan dan berwibara. Sebelas dua belas dengan Rudi.
Sementara Riyan dan Dion, mereka masih asing.
Rina sebetulnya tadi memang mendengar tentang percakapan antara Laisa dan Candra. Dari situ ia mengambil kesimpulan sementara, bahwa Candra meminta pengakuan. Ia ingin Laisa memastikan bahwa mereka berdua adalah jodoh. Rina tidak terima dengan hal yang menyudutkan Laisa. Maka di moment yang menurutnya tepat, Rina menggagalkan semuanya. Dan tentu! Ia berhasil!.
Selang beberapa menit, anak yang bernama Candra itu berpamitan. Mungkin ia merasa dikucilkan dari geng Dema. Ia menunduk ke arah Rina dan tiba tiba mendekati Laisa. Lantas mengelus-elus rambutnya seperti hewan peliharaan saja! Batin Rina. Rina hanya tersenyum kagum. Bukan hendak memarahinya.
Bisa diakui, dia laki laki yang berani!
**

Book Comment (27)

  • avatar
    Agus

    ini sangat bagus kalau bisa top op

    2d

      0
  • avatar
    FahriMuhammad

    mantap

    20/08

      0
  • avatar
    Mohamad YusufRendi

    god

    24/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters