logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

School and Love (Part 2)

School and Love (Part 2)

Arunika Key


Chapter 1 Apakah Kau Mencintai Candra?

"Sudah siap semua?" Kata Dion. Ia mengintruksikan untuk mengenakan sabuk pengaman. Jaga-jaga jika nanti... Bukan kecelakaan namun jika ada polisi. Dion tentu driver yang ulung. Meski ia masih kategori amatir - menurut Dema. Sayangnya mood Dema sedang kurang baik. Jadi ia memutuskan biarkan Dion yang mengendarai mobilnya sendiri. Toh, orang tua Dion juga percaya kepadanya. Mereka sudah memberi kebebasan kepada Dion untuk mengendarai mobilnya. Tak perlu sopir atau apalah itu... Yang menurut Dema hanya membatasi, memanjakan, dan tidak membuatnya mandiri.
Usianya sudah 16 tahun, wajar kan misal dia ingin mulai semuanya sendiri? Tidak harus semuanya di antar Pak Komang. Lihat saja tadi, karena Pak Komang yang tentunya belum datang ke sekolah - karena belum jam pulang, ia tidak bisa mengantar Laisa ke rumah sakit. Ini juga bukan salah Dema sepenuhnya. Mamanya memilih berteriak, menyalahkan dan... Entahlah. Seakan akan semuanya salah Dema.
"Sudah dari tadi! Lo lama banget Yon!" gerutu Riyan. Ia sudah ancang ancang dan siap berpegangan jika nanti ada apa apa. Dema masih stay di depan, di samping Dion. Dia akan menjadi pengaba-aba jika ada sesuatu terjadi. Aslinya semua bisa berjalan dengan baik. Toh, rumah sakit juga tidak sejauh rumah Dema ke sekolah. Ini hanya perihal medan atau jalan yang di lalui. Jalan perkotaan masih jarang dilalui Dion dengan mobilnya sendiri.
"Kalau ragu biar gue aja gapapa, Laisa udah menunggu!" ucap Dema. Ia tidak sabar segera menuju ke rumah sakit. Dan ingin segera menyingkirkan si pria brengsek Candra yang menggeser posisinya - untuk sementara waktu.
Dion menelan ludah. Ia tegang dengan tangan yang berada di setir.
"Sini!" Dema. Memaksanya keluar dan berganti posisi. Kelamaan! Dengan begitu ia tidak akan sampai sampai ke rumah sakit. Sedang Laisa sudah akan diterkam oleh serigala itu. Dema tidak akan menerimanya.
"Santai Bro, kali ini lo yang nyetir. Gue kapan kapan lagi." Dion setuju, ia agak tersinggung. Bukan..mungkin lebih ke sungkan karena ia belum bisa sepenuhnya dipercayai Dema.
Riyan memberinya beberapa tepuk pukulan di bahu. Menandakan untuk bersabar dan berlatih lagi tentunya. F3 harus menjadi pria yang cool, yang bisa menaklukan perempuan dan bisa... Menyetir mobil dengan baik, pungkasnya. Dion nyengir dan kembali memukul Riyan. Ia memang kawan yang humoris dan selalu pandai mencairkan suasana. Dema sendiri sedang fokus menyetir. Barangkali ia ingin fokus dan pikiran masih melayang - layang memikirkan Laisa, Dion dan Riyan memilih berisik sendiri tanpa mengajaknya bicara.
Sepuluh menit berlalu. Perjalanan mereka baik baik saja. Mungkin tadi hanya polisi lalu lintas yang mengatur kemacetan. Polisi itu juga sempat menengok kaca jendela mobil, namun tidak sampai merazianya. Semua aman terkendali.
Dema turun, Riyan dan Dion juga. Mereka sudah hendak masuk ke rumah sakit namun melupakan sesuatu.
"Sialan, gue lupa beli sesuatu untuk ibunya Laisa. Kalian bisa cari bunga atau buah buahan dekat sini nggak?" Dema meminta Dion dan Riyan mengurus itu. Sedang ia berniat masuk duluan. Mereka saling menatap. Bermaksud melimpahkan satu sama lain. Namun tatapan Dema lebih menyeramkan, membuat mereka tidak bisa menolak. Walhasil, Dion dan Riyan keluar lagi. Mereka membeli sesuai permintaan Dema dan akan mengabari jika sudah mendapatkannya.
"Eyahh.. Oke oke." ucap kedua pria kembar itu pergi dengan segera. Pria kembar? Iya bisa dibilang. Mereka sering bersama. Ketika makan, ngafe atau mengerjakan tugas sekolah. Bagaimana tidak dianggap kembar? Yaa meski tidak kembar identik dan tidak berasal dari orang tua yang sama.
Dema naik ke atas, mencari cari ruang dahlia. Ternyata kamar itu di lantai tiga. Ia harus naik melalui lift. Tidak mungkin juga seorang Dema akan naik dengan tangga? Kakinya tentu akan lebam dimana -mana.
Dema berhasil menemukan kamar itu setelah bertanya kesana kemari. Ia tidak membawa apa-apa. Hanya ponsel yang berada di saku. Sementara cinderamata, tadi sudah meminta Dion dan Riyan untuk mengurusnya.
Dema yakin ruang yang dimaksud suster itu adalah nomor 11. Ia sudah memegang pintu kamar. Dilihatnya dua orang yang sedang didalam, menunggu ibu - ibu seumuran Mamanya. Iya. Pasti itu Ibu nya Laisa. Dan dua orang anak mudaa itu? Siapa lagi kalau bukan Candra dan Laisa. Mereka saling berbincang! Entah apa yang dibicarakan. Pasti dari hati ke hati. Dema meringis tidak suka. Ia cemburu. Perasaan itu tidak bisa disembunyikan.
Dema segera ingin membuka pintunya. Namun langkah itu tertahan.
"Lay, kamu betul menjalin hubungan dengan Dema?" tanya Candra kepada Laisa. Candra berbicara gagap, rasanya ragu ingin menanyakan, namun apa boleh buat? Jika tidak ditanyakan tentu hanya akan membuat sesak di dada.
"Kami teman yang baik dan saling peduli, kak." jawab Laisa. Itu jawaban yang mungkin membuat Candra lega. Dia tidak mengatakan bahwa mereka menjalin hubungan lebih dari teman. Berarti masih ada kesempatan untuknya. Persetan tentang kata kata mereka saling peduli. Zamab sekarang, semua orang tentu saling peduli. Jika tidak, mereka bukan disebut manusia. Itu pemahaman Candra tentang kata Laisa barusan 'saling peduli'.
"Dan apa kamu tahu bagaimana perasaannya kepadamu, Lay?" tanya Candra kembali. Laisa menunduk.
Jelas ia tahu. Bodoh! Candra seharusnya tidak bertanya akan hal itu. Dia pun sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri beberapa kali. Apa yang ingin dia konfirmasi? Pikir Dema. Dema menggenggam tangan erat dan ingin menonjoknya langsung. Namun gagang pintu itu tidak jadi ia dorong lagi.
"Menurutmu perihal perjodohan itu bagaimana, apa kamu setuju?" Candra bertanya kembali. Kenapa pertanyaan pertanyaan itu cenderung menyudutkan Laisa. Gadis berlesung pipi itu diam. Belum menjawab. Jelas pertanyaan yang membingungkan. Dema mendengar itu semua dari balik pintu. Ia mengernyitkan dahi, dan matanya menyipit dengan segera. Ia penasaran, ada apa dengan pria itu? Kenapa dia ingin sekali memiliki gadisnya?
Candra terlihat duduk di sofa. Sementara Laisa berada di samping ibunya. Sang ibu belum sadarkan diri sedari tadi. Ia masih diberikan selang infus. Dema mungkin bisa merasakan dengan jelas, bagaimana rasa sakit yang sebelumnya dirasakan oleh ibunya. Sampai Mamanya pun beberapa kali meneriakinya untuk segera menjenguk. Mama Reyna tidak akan sekhawatir itu jika semuanya hanya sakit ringan. Ia bahkan berniat kembali lagi setelah membasuh seluruh tubuh lelahnya - ujar Reyna. Rasa sakit itu mungkin hampir sama ketika beberapa waktu lalu ia juga sakit. Dan Ibu Laisa membuatkan kue yang dititipkan kepada putrinya. Sungguh kasih sayang yang berarti.
"Baiklah jika kamu belum mau menjawab pertanyaan keduaku tadi Laisa." ucap Candra. Ia semakin ingin mengajukan banyak pertanyaan kepada Laisa. Meski itu tidak harus dijawab. Dalam hati Laisa, ia sungkan, takut Candra tersinggung karena ia belum mau menjawab apapun.
"Ini pertanyaan terakhir, maaf banyak tanya ya. Apakah kamu mencintaiku Laisa? Walaupun itu sebentar saja atau sedikit saja?" tanya Candra. Tatapan matanya penuh harap. Ia ingin Laisa mengatakan iya. Maka dunia akan memeluknya bersama Cinta itu. Jika Laisa mengatakan iya, meski Cinta itu sedikit Candra akan berusaha mati matian untuk mengejarnya. Meski ia tahu tidak akan mudah menghadapi keras kepalanya pria manja bernama Dema itu.
Dema ingin memukul sesuatu. Ia sudah tidak tahan melihat Candra dan Laisa disana. Kenapa dua brengsek itu lama sekali membelikan oleh oleh. Jalan jalan kemana saja mereka. Dia hanya meminta untuk membeli di sekitar rumah sakit. Kenapa lima belas menit berlalu, mereka juga belum datang! Ahh...
Dema ingin sekali masuk. Melabrak laki laki sialan yang hendak merebut tuan putrinya. Namun ia akan bersabar sedikit lagi untuk menunggu Dion dan Riyan datang. Setidaknya mereka harus masuk bersama.
"Lay?" Candra meminta pengakuan. Sementara Laisa masih diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Karena biar bagaimanapun candra sangat berjasa kepadanya. Laisa hanya takut jika jawabannya akan menyakitinya.
"Aku anggap jawabanmu yang diam berarti iya!"
Ohh.. Seperti itu ya, cara si berengsek ini mendefinisikan perasaan? Bagaimana Laisa akan menjawabnya. Tentu sangat sulit. Kenapa dia menggunakan kelemahan Laisa untuk keuntungan perasaannya sendiri, batin Dema. Ia tidak berhenti merutuki Candra yang haus akan pengakuan.
Sial! Dion dan Riyan belum juga datang. Ia harus menyelamatkan Laisa dari rencana busuk ketua OSIS itu.
Sebentar... Laisa seperti ingin mengungkapkan sesuatu. Jangan jangan itu pernyataan perasaan? Jangan jangan Laisa juga memiliki perasaan yang sama dengan Candra? Dan harapan harapan Dema kepadanya hanyalah ilusi? Ahh...! Sial! Dema tak hentinya merutuki dirinya.
"Aku... Aku... E.. " Laisa ingin mengatakan sesuatu. Namun sulit untuk diungkapkan. Dema juga penasaran, apalagi Candra. Ia sangat berharap jawabannya iya.
"Laisa... " seseorang memanggilnya dengan pelan dan lemah.
**

Book Comment (27)

  • avatar
    Agus

    ini sangat bagus kalau bisa top op

    2d

      0
  • avatar
    FahriMuhammad

    mantap

    20/08

      0
  • avatar
    Mohamad YusufRendi

    god

    24/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters