logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Ada Apa?

Hari ini hari Sabtu. Dimana biasanya kafe ramai pengunjung. Begitu banyak orang yang ingin bersantai di akhir pekan. Tapi syukurlah, Arinda sudah sembuh. Dan hari ini sudah bisa berangkat kerja kembali. Jadi aku tidak akan kewalahan seperti beberapa hari yang lalu.
Aku sengaja bangun lebih awal. Agar tidak terlambat berangkat ke kafe. Walaupun semalam pulang dari undangan makan malam Tante Hantini, aku tidak bisa tidur sampai tengah malam. Aku teringat kata-kata yang diucapkan Tante Hantini.
Beliau bilang aku sudah memberi perubahan besar dan semangat hidup pada Jerry. Sungguh, hal ini membuatku bingung. Karena aku tidak melihat sesuatu yang aneh dari diri Jerry. Dan Jerry sendiri, dia tidak pernah mengatakan sesuatu yang serius padaku.
Saat aku berjalan menuruni tangga menuju ruang makan untuk sarapan, tiba-tiba Mbok Yah datang dengan tergopoh-gopoh. Di tangannya ada beberapa kantong belanjaan. Sepertinya beliau baru pulang dari pasar.
"Mbak Yoora...Mbak Yoora, Simbok mau minta tolong boleh nggak?" tanya Mbok Yah. Wajahnya terlihat gelisah.
"Minta tolong apa, Mbok?" jawabku heran. Tumben Mbok Yah minta tolong.
"Mmm, itu lho, Mbak. Saya mau pinjam uang buat bayar ojek di depan. Saya nggak ada uang receh. Uang belanja dari Ibu juga tinggal lima ribu ini" kata Mbok Yah tersenyum malu-malu.
"Oalah, Mbok Yah, Mbok Yah. Tak kira ada apa? Ya udah biar aku aja yang bayar ojeknya ke depan. Kasihan udah nunggu" kataku.
"Makasih ya, Mbak Yoora. Nanti Simbok ganti."
Setelah mengambil uang, lalu aku melangkah ke depan rumah. Membayar ojek pangkalan yang sedari tadi sudah menunggu.
Setelah tukang ojek itu pergi, aku segera masuk ke dalam. Perutku sudah keroncongan. Tak sabar ingin segera menyantap nasi goreng kesukaanku.
Baru saja aku menginjakkan kaki beberapa langkah, terdengar suara deru motor. Itu pasti Jerry. Aku hafal betul dengan motornya. Aku menoleh. Benar saja. Jerry yang datang. Mau apa dia pagi-pagi kesini? Apa mau ribut lagi?
Setelah menaruh motornya di garasi, Jerry berjalan ke arahku. Dia sudah tampak rapi seperti biasanya. Dia memakai celana jeans dan kaos putih pendek. Di tangan kanannya ada bungkusan kresek putih.
"Kamu kenapa nggak pakai jaket? Kan naik motor. Nanti kena angin" tanyaku saat Jerry sampai di depanku.
"Kan jaketnya ketinggalan disini" jawab Jerry. Ah, iya aku lupa. Sudah beberapa hari jaketnya tertinggal.
"Kayak nggak ada jaket lain aja."
"Males pakai yang lain. Oh iya, ini ada titipan dari Mama. Spesial buat calon mantunya yang cantik" kata Jerry tersenyum, menyerahkan bungkusan itu kepadaku.
"Apa ini?" tanyaku. Melongok, melihat isi bungkusan itu. Ada aneka jajanan pasar dan susu kedelai. Wah semua kesukaanku.
"Kamu nggak bohong kan? Nggak lagi nyogok aku kan?" tanyaku menyelidik.
"Beneran itu dari Mama. Kok Kakak nanya gitu sih? Nyogok apaan? Kakak masih marah ya sama aku?" Dia terlihat cemberut.
"Aku nggak marah. Sekarang mana ponselku? Tolong kembaliin" Aku meminta secara baik-baik ponselku yang semalam dia sita.
"Nggak ada. Aku tinggal di rumah" jawabnya dengan santai.
Apa? Ditinggal di rumah? Astaga, jawaban yang membuatku naik darah.
"Terus kalau ada yang telepon gimana? Ponsel itu penting buat aku, buat komunikasi aku."
"Ya udah, entar aku ambil abis kuliah."
"Beneran ya?" ancamku.
"Iya" jawabnya lirih. Dasar bocah labil.
"Ya udah, sana cepetan berangkat. Entar telat" suruhku. Karena setahuku ada jadwal kuliah pagi. Karena kemarin dia sendiri yang bilang padaku.
"Oh iya, salam buat Tante Hantini. Makasih buat kuenya" kataku lagi.
"Kakak kok ngusir aku? Kan aku mau berangkat bareng sama Kakak?"
"Katanya kamu ada jadwal pagi? Kalau bareng yang ada kamu bisa telat."
"Nggak apa-apa telat. Paling cuma telat beberapa menit doang. Boleh ya?" tanyanya. Merayuku dengan senyuman.
Ini anak satu memang menyebalkan. Sudah tahu aku belum siap-siap. Masih saja mau berangkat bareng.
"Terserah" jawabku. Melangkah masuk ke dalam. Masa bodoh dengan Jerry. Mau berangkat kuliah atau menungguku. Aku tidak peduli. Malas berdebat sama orang ngeyel seperti dia.
Dan ternyata, Jerry mengekor di belakang. Ah, anak itu.
Aku berjalan menuju ruang makan. Setelah meletakkan bungkusan kue, aku menarik kursi lalu duduk. Bersiap menyantap sarapan.
Jerry pun ikut duduk. Dia memilih duduk di sampingku. Tapi lihat, dia malah fokus dengan ponselnya. Entahlah. Mungkin chat dengan pacar-pacarnya itu.
"Lho, apa ini, Mbak?" tanya Mbok Yah ketika aku sedang mengambil nasi goreng ke piring. Mbok Yah menyentuh bungkusan kue itu. Beliau datang membawa toples berisi kerupuk. Mbok Yah paling tahu, kalau aku makan pasti ada kerupuk. Apalagi nasi goreng seperti ini.
"Kue. Dari Mamanya Jerry. Kalau Mbok Yah mau, silahkan ambil. Ada banyak itu" jawabku, menawari Mbok Yah.
Mbok Yah meletakkan toples kerupuk ke atas meja. Lalu ikut duduk di hadapan kami. Kemudian beliau ikut makan. Karena di keluarga Pak Wira tidak ada istilah majikan dan pembantu. Semua sama. Semua boleh makan di ruang makan.
"Iya, Mbak. Nanti aja Simbok ambil. Lho Mas Jerry nggak makan?" tanya Mbok Yah. Melihat Jerry yang hanya sibuk main ponsel. Sedangkan aku lahap menyantap nasi goreng kesukaan.
Jerry menghentikan main ponselnya. Lalu di letakkan di atas meja.
"Enggak, Mbok. Udah sarapan tadi di rumah" jawabnya. Lalu mengambil kerupuk.

Jerry memang kadang suka ikut sarapan saat menjemputku. Jadi sudah terbiasa dengan anggota keluarga Pak Wira.
"Mbak Yoora, Kira-kira Bapak sama Ibu kenapa ya? Tumben pagi-pagi sekali sudah berangkat. Terus sebelum berangkat mereka nyebut-nyebut nama Mbak Yoora sama Mas Jerry" tanya Mbok Yah serius.
Aku yang mendengar pertanyaan Mbok Yah tersontak. Seketika langsung menghentikan aktifitas makanku. Begitupun dengan Jerry. Dia juga kaget kaget dengan pertanyaan Mbok Yah. Kami saling pandang. Dengan pikiran masing-masing entah kemana?
* * * * *
Akhirnya aku berangkat ke kafe dengan Jerry. Perkataan dari Mbok Yah membuatku terus kepikiran. Ada apa dengan Pak Wira? Apa aku membuat kesalahan? Ah, sepertinya tidak. Tapi kenapa beliau menyebut nama Jerry juga?
Beberapa menit kemudian kami telah sampai di kafe. Aku segera turun dari motor.
"Kamu hari ini pulang jam berapa?" tanyaku seraya melepas helm dan memberikannya pada Jerry.
"Cuma satu mata kuliah kok. Emang kenapa? jawab Jerry. Menerima helm dariku.
"Nggak apa-apa. Tapi entar malem aku mau ngomong sama kamu. Ini penting" kataku serius.
"Penting? Soal apa, Kak? Kenapa harus entar malem? Kenapa nggak sekarang aja sih, Kak?" tanya Jerry.
"Kalau sekarang kamu bakal tambah telat ke kampusnya. Lagi pula ini kan di kafe. Nggak enak sama yang lain" jawabku menjelaskan.
"O, ya udah. Entar malem aku jemput Kakak aja di rumah."
"Udah, sana buruan ke kampus. Entar dimarahin dosen tahu rasa."
"Nggak apa-apa dimarahin dosen. Yang penting nggak dimarahin sama Kakak. Hehe."
"Ih, apaan sih. Nggak jelas. Udah, sana berangkat. Aku mau masuk" Ku langkahkan kaki meninggalkan Jerry, masuk ke dalam kafe.
"Yah, aku diusir dong. Dasar, Mbak-mbak aneh" samar-samar kudengar Jerry menggerutu. Menstater motornya lalu pergi.
Dan apa? Aku dibilang Mbak-mbak aneh? Aneh tapi suka. Dasar cowok.
Ketika sampai di dalam kafe, aku langsung menuju ke belakang. Untuk menaruh tas di loker. Tak lupa memakai apron.
"Cie, yang habis ketemu sama calon mertua. Gimana? Cerita dong" ledek Arinda ketika aku sudah sampai di depan kembali.
"Kamu tahu darimana aku ketemu sama Tante Hantini?" tanyaku heran. Karena aku cuma memberitahu Pak Wira, Bu Wira, Daniel, dan Mbak Claudia, itupun tadi malam pas aku sudah pulang.
"Dari Daniel" jawab Arinda.
"Daniel?" tanyaku lagi. Meyakinkan. Arinda mengangguk. Lalu pergi ke belakang. Entah mau apa.
"Kak Yoora. Semalem aku telepon kok nggak diangkat sih?" tanya Daniel yang tiba-tiba datang.
"Ponselku lagi dipegang Jerry" jawabku santai. Sengaja aku bilang begitu. Walaupun ponsel itu disita lebih tepatnya.
"Ngambek lagi dia, Kak?" tanya Daniel lagi. Dia hafal betul kelakuan Jerry, yang seringkali menyita ponselku
"Iya. O iya, kamu nggak ke kampus?" tanyaku pada Daniel.
"Ngapain ke kampus, Kak? Bantuin Ibu kantin jualan es?" jawab Daniel sambil tertawa.
"Kok ketawa sih? Emang lucu? Lagian kan hari ini ada jadwal pagi?"
"Kata siapa? Nggak ada. Hari ini kelas kita libur, Kak."
"Serius?" tanyaku memastikan.
"Dua rius malah" jawab Daniel.
Sepertinya memang benar apa yang dikatakan Daniel. Tidak mungkin dia berbohong. Aku tahu betul Daniel. Dia anak yang rajin. Tak pernah sekalipun dia absen. Kecuali saat dia sedang sakit.
Terus, kenapa Jerry bilang kalau hari ini ada kelas pagi? Tadi juga berangkatnya dengan pakaian rapi dan bawa tas, seperti biasa saat berangkat ke kampus. Lalu, kemana Jerry? Bisa-bisanya dia bohongin aku.
~💚Pricilla Hwang💚~


Book Comment (579)

  • avatar
    Satu Dalam Sejuta

    good

    4d

      0
  • avatar
    FazriAmin

    buku nya bagus

    12d

      0
  • avatar
    SuailyGerard

    ia hanya sebatas cantik tetapi tidak memiliki hati yang sangat menyakiti mungkin hanya bukan dia yang dihati andai saja bumi bisa diputar dan memiliki hati yang terbuka bagi setiap orang yang sangat saling melengkapi dan terus berjuang untuk diri sendiri

    17d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters