logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Telepon dari Siapa?

Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Kafe tidak begitu ramai sejak pagi. Aku bisa bersantai sedikit.
Kuambil ponsel untuk menghubungi Mbak Claudia. Aku mau meminta izin pulang lebih awal karena aku perlu mempersiapkan segalanya untuk bertemu dengan Tante Hantini. Bukan sekedar menyiapkan dandanan dan segala tetek bengeknya. Tapi juga harus mempersiapkan mental. Agar nanti aku tidak memalukan di hadapan Tante Hantini.
Kucari kontak Mbak Claudia, lalu menghubunginya. Namun sudah beberapa kali jawaban tetap sama.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi."
Akhirnya pada panggilan kelima aku menyerah. Kuletakkan kembali ponsel dari merek negeri ginseng itu.
"Mbak Claudia lagi sibuk kali ya?" ku hembuskan nafas dengan kasar. Lalu kembali pada pekerjaanku.
Tak lama kemudian ketika aku sedang melayani beberapa pengunjung yang hendak membayar, terlihat Mbak Claudia datang dan menghampiriku. Wah, kebetulan banget.
Setelah selesai melayani pengunjung, aku langsung meminta izin untuk pulang lebih awal.
"Mbak, aku izin ya? Mau pulang sekarang?"
"Lho, ada apa?" tanya Mbak Claudia kaget.
"Nggak apa-apa. Cuma mau ada perlu aja kok, Mbak. Hhe."
"Oh. Ya udah, Mbak izinin."
"Makasih ya, Mbak?" ucapku kegirangan.
"Iya. Ya udah sana keburu malem loh."
"Ya udah, kalau gitu aku pergi dulu ya, Mbak?"
Setelah meminta izin pada Mbak Claudia, aku langsung berlari ke belakang untuk mengambil tas di loker. Lalu pergi dengan ojek online. Sengaja aku tidak minta jemput Pak Kardi. Karena memang aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku ingin bersantai terlebih dahulu. Menikmati suasana senja di pantai.
Ya, dibandingkan naik gunung, aku memang lebih suka ke pantai.
Pantai ini, sebuah pantai dimana aku sering datang sendirian. Dimana aku biasa menyusuri keindahannya dengan telanjang kaki. Sengaja kulepas sepatu. Membiarkan deburan ombak membasahi kaki. Sambil menikmati hembusan angin pantai yang sepoi-sepoi. Melepaskan sejenak segala kepenatan.
Cukup lama aku menyusuri pantai berpasir putih ini. Hingga tak terasa langit sudah berwarna jingga. Matahari hampir kembali ke peraduannya. Akhirnya kuputuskan untuk segera pulang.
"Lho, Kak Yoora disini juga?" suara seseorang mengagetkanku. Aku berhenti sejenak. Mendongak, melihat ke arah sumber suara.
"Daniel?" akupun tak kalah kaget. Tiba-tiba dia sudah ada di depanku.
"Kamu ngapain disini? Kamu sendirian?" kubertanya untuk sekedar basa-basi. Karena memang kulihat dia hanya seorang diri. Masih dengan pakaian dan tas yang sama seperti tadi pagi.
"Iya, aku sendiri aja, Kak. Mau refreshing. Jenuh. Kuliah, kerja, kuliah, kerja. Gitu-gitu mulu tiap hari. Lagian udah lama juga nggak kesini."
"Bersyukur kamu bisa kuliah. Banyak loh anak-anak yang jangankan buat sekolah, buat makan aja keluarganya kekurangan."
"Iya, Kak. Terus gimana? Kak Yoora nggak pengen apa lanjut kuliah? Pasti Pak Wira mau biayain Kakak" tanya Daniel serius.
"Nggak tahu. Umur udah segini juga. Udah tua" jawabku berbohong. Padahal sebenarnya aku sangat ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Tapi itu butuh biaya yang tidak sedikit. Dan soal Pak Wira, beliau bisa saja membiayaiku kuliah. Tapi dimana letak urat maluku kalau hal itu sampai terjadi? Aku sudah diberi pekerjaan dan tempat tinggal gratis. Aku tidak boleh meminta lebih pada keluarga Pak Wira.
"Emang kenapa kalau udah seumur Kakak? Kakak malu? Semua boleh belajar. Asal niat dan punya biaya. Kalaupun tidak mampu. Ada jalur beasiswa juga."
"Iya sih. Tapi aku udah nggak mikirin belajar lagi. Mau fokus bantu Bapak Ibu aja" tuhkan aku berbohong lagi.
"Fokus bantu Bapak Ibu atau fokus mau nikah?" tanya Daniel meledek.
"Kamu ngomong apa sih? Dasar bocah nggak jelas. Mau aku geplak kepalanya?" ancamku pura-pura.
"Iya-iya. Maaf tuan putri."
"Apa? Tuan putri?" aku melotot. Dia hanya nyengir.
"Maaf" katanya lirih.
"Ya udah kalau gitu aku pulang duluan ya? Bisa stress aku kalau lama-lama disini sama kamu. Lagian udah hampir gelap. Takut dicariin Pak Wira juga."
"Kok, Kak Yoora ngomong gitu sih? Tega banget. Eh, tapi ini aku juga mau pulang kok. Bareng aja, Kak. Kan searah" ajak Daniel. Kali ini serius.
"Nggak usah. Nanti ngerepotin" sengaja aku menolak. Karena aku merasa tidak enak. Daniel sering membantuku tiap Pak Kardi atau Jerry tidak bisa menjemput. Dia yang selalu mengantarku pulang. Sekalian, katanya.
"Nggak ngerepotin kok. Malahan aku seneng kalau ada temen. Bisa ngobrol."
"Yaudah, kalau gitu. Yuk, keburu malem."
Aku dan Daniel berjalan beriringan menuju tempat parkir. Dari arah barat, terlihat indahnya semburat sinar jingga. Warna yang sedikit demi sedikit akan segera menghilang. Agar sang rembulan bisa menggantikannya untuk menemani langit malam bersama milyaran cahaya bintang.
* * * * *
Daniel mengantarku sampai ke rumah. Kemudian kembali ke kafe untuk bekerja kembali. Memang, dia sengaja mengambil part time karena belum lulus kuliah.
Ketika aku membuka gerbang, aku melihat mobil Jerry terparkir di depan rumah. Astaga, seawal ini dia menjemputku?
Kemudian aku masuk ke dalam dengan tergesa-gesa.
"Kak Yoora darimana aja? Kok baru pulang?" tanya Jerry ketika aku sampai diruang tamu. Dia sudah rapi dengan celana jeans dan kemeja lengan panjang berwarna navy yang dilipat sampai siku. Di pergelangan tangan kirinya melingkar sebuah jam tangan yang ku taksir harganya jutaan rupiah.
"Maaf. Aku tadi ada perlu. Kamu udah lama?" jawabku santai dan balik bertanya.
"Belum. Baru sepuluh menitan."
"Ya udah, aku siap-siap dulu ya? Oh iya, kamu mau minum apa? Biar dibikinin sama Mbok Yah."
"Nggak usah. Kakak siap-siap aja. Kasihan Mama nanti kelamaan nunggu."
"Oke. Tunggu bentar ya?" ku langkahkan kaki menuju kamar yang ada di lantai atas. Segera membersihkan diri dan bersiap-siap.
Kupakai gaun dan sepatu yang diberikan Tante Hantini tempo hari. Tak lupa kupoles wajahku dengan make-up sederhana. Dan sengaja kubiarkan rambutku tergerai.
Cukup lama aku terdiam di depan cermin. Kupandangi diriku yang dulu pernah terluka. Dan lihatlah, sekarang ada seseorang yang menyayangi dan akan diperkenalkan dengan Mamanya.
Kupejamkan sejenak mataku. Kuhirup dan ku hembuskan nafas dengan perlahan. Lalu kubuka mata ini. Merapikan make-up, baju dan juga rambut. Berdiri mengambil tas, buket bunga dan sekotak kue bolu yang kubeli sepulang dari pantai tadi, sebagai oleh-oleh. Aku pun segera keluar menemui Jerry.
Ketika aku menuruni tangga, kulihat Jerry tidak ada di ruang tamu. Yang ada hanya Pak Wira dan Bu Wira yang sedang mengobrol santai.
"Lho, Pak, Bu, Jerry kemana?" tanyaku ketika sampai di dekat mereka. Pak Wira dan Bu Wira menoleh. Aku meletakkan buket bunga dan kotak bolu di atas meja.
"Ada. Dia lagi di luar. Lagi nerima telepon" jawab Pak Wira.
"Telepon? Dari siapa?" aku bertanya lagi.
"Ya mana kita tahu, Yoora sayang. Masa iya Bapak sama Ibu harus nanya. Kan nggak sopan" jawab Pak Wira. Lalu menyeruput kopi hitam kesukaannya.
"Lagian kenapa sih? Kamu cemburu ya? Udah-udah, nggak usah curigaan begitu. Nggak baik. Kan udah mau ketemu sama Mama Mertua. Iya kan, Pa?" Bu Wira tersenyum meledek. Ma lihat kearah Pak Wira. Pak Wira menghentikan minum kopinya. Meletakkan kembali cangkir kopi itu ke atas meja. Lalu menatapku serius.
"Iya, betul. Lagipula kalau Jerry sudah memperkenalkan kamu sama Ibunya, berarti dia mau serius sama kamu. Bahkan dia tadi juga sudah bilang sama kita, kalau habis sidang skripsi dia mau melamar kamu."
Apa? Jerry mau melamarku? Dan sudah bilang ke Pak Wira? Tuhan, aku harus bagaimana?
"Serius Jerry bilang gitu, Pak?" tanyaku tidak percaya.
"Buat apa Bapak bohong sama kamu? Dosa" jawab Pak Wira. Bangkit dari duduknya. Lalu pergi ke ruang makan. Bu Wira mengekor di belakangnya sambil membawa cangkir bekas mereka minum.
Setelah Pak Wira dan Bu Wira masuk untuk menikmati makan malam, aku keluar untuk menemui Jerry. Siapa tahu dia sudah selesai menerima telepon.
Dari belakang, Jerry tampak masih menerima telepon. Entah dari siapa?
"Iya-iya. Tapi kalau malam ini aku nggak bener-bener nggak bisa. Besok aja ya?" sayup-sayup kudengar Jerry berkata seperti itu kepada seseorang di seberang telepon.
"Jerry" kupanggil dia dengan suara sedikit keras. Dia menoleh dan terlihat kaget. Dengan buru-buru dimatikan nya sambungan telepon itu.
"Telepon dari siapa?" aku bertanya. Mendekat kearahnya. Dia diam menatapku.
"E, e, e, i-itu dari temen. Iya, temen kuliah. Minta dianterin ke toko buku" jawabnya terbata-bata. Dia tampak gugup. Menggaruk kepala yang sepertinya tidak gatal.
"Temen kuliah? Ke toko buku? Malem-malem gini? Temen kamu cewek?" aku bertanya lagi. Kali ini dengan wajah menyelidik.
"Kakak kenapa sih? Curigaan aja. Udah nggak percaya lagi sama aku?" jawabnya dengan suara sedikit keras. Cepat sekali dia emosi.
"Aku kan cuma nanya. Kok kamu jadi sewot gitu sih?"
"Lagian buat apa Kakak nanya ini itu? Ini kan urusan aku. Apa pentingnya buat Kakak?"
Aku mulai sedikit emosi mendengar perkataannya. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu. Dimana pikiran dan hatinya?
Kuhembuskan nafas dengan pelan. Kuraih tangannya. Kugenggam erat dan kuletakkan di dadanya. Sambil terus mencoba menetralkan perasaan. Agar perkataanku tidak semakin memperkeruh suasana.
Kutatap wajahnya dengan senyuman penuh arti. Lalu dengan pelan aku berkata,"karena aku sudah memberikan kepercayaanku padamu. Dan aku berharap kamu bisa menjaga kepercayaan itu untukku."
~💚Pricilla Hwang 💚~

Book Comment (579)

  • avatar
    Satu Dalam Sejuta

    good

    4d

      0
  • avatar
    FazriAmin

    buku nya bagus

    13d

      0
  • avatar
    SuailyGerard

    ia hanya sebatas cantik tetapi tidak memiliki hati yang sangat menyakiti mungkin hanya bukan dia yang dihati andai saja bumi bisa diputar dan memiliki hati yang terbuka bagi setiap orang yang sangat saling melengkapi dan terus berjuang untuk diri sendiri

    17d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters