logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Undangan Makan Malam

Kejadian di kafe kemarin soal Jerry bukanlah hal pertama dan satu-satunya bagiku. Jerry sudah sering melakukannya. Dan aku? Entahlah. Aku hanya berharap suatu saat nanti dia akan berubah.
Sebenarnya Jerry cowok yang baik menurutku. Dia menghormati dan menghargaiku sebagai seorang perempuan. Selama berpacaran, dia tidak pernah melakukan hal-hal nyeleneh padaku. Karena dia bilang, dia sangat menyayangiku. Dia juga sering datang ke kafe. Kadang sendiri, kadang juga bersama teman-temannya mengerjakan tugas. Bahkan dia suka menungguku hingga selesai bekerja. Kemudian mengantarku pulang.
Kala itu Jerry hadir saat hatiku sedang tidak baik-baik saja. Aku sedang menata hati yang mendadak hancur. Bagaimana tidak? Harvey, pacarku tega menghianatiku. Dia selingkuh dengan seorang model, namanya Griselda. Padahal saat itu persiapan pernikahan kami sudah 70 persen. Ternyata perselingkuhan itu sudah terjadi selama tiga bulan. Dan aku tidak mengetahuinya. Karena tidak ada hal yang mencurigakan dari Harvey. Oh Tuhan, betapa bodohnya diriku.
Aku sudah setahun menjalin hubungan dengan Jerry. Bukan waktu yang sebentar untuk mengenal sifatnya. Tapi sifatnya yang punya banyak cewek, kadang ingin membuatku mengakhiri saja hubungan ini. Tapi kenapa rasanya begitu sulit untuk melepaskan dia? Aku merasa begitu menyayanginya.
* * * * *
Malam sudah semakin larut. Tapi aku tidak juga beranjak dari tempat ini. Berdiri memandangi langit malam dari jendela kamar. Begitu indah. Bintang-bintang bertaburan. Bulan bersinar begitu terang. Bentuknya utuh, bulat sempurna. Tanda bahwa malam ini tanggal lima belas dalam penanggalan Jawa. Angin semilir berhembus membawa dingin menusuk tulang. Mengingatkanku tentang masa kecilku.
Dulu ketika aku masih kecil, aku suka melihat bulan. Aku selalu duduk di balai-balai bambu depan rumah setiap bulan purnama tiba. Lalu Bapak datang untuk menemaniku. Beliau bercerita tentang masa kecilnya yang penuh perjuangan. Pertemuannya dengan Ibu sewaktu muda pun tak luput beliau ceritakan. Dan aku suka cerita-cerita Bapak. Sementara Ibu, berada di dalam. Karena Yanan, adik laki-lakiku yang masih bayi. Sungguh, masa kecil yang indah. Rasanya aku ingin kembali ke masa-masa itu. Masa dimana aku tidak pernah mengenal apa itu luka.
"Yoora, kok belum tidur?" suara seseorang membuyarkan lamunan. Aku menoleh. Bu Wira sudah ada di belakangku.
"Belum, Bu. Aku belum ngantuk" jawabku santai.
"Kamu nggak apa-apa kan? Lagi nggak ada masalah kan?" tanya Bu Wira. Berjalan, lalu duduk di tepi ranjang tidur.
"Nggak ada, Bu?" jawabku berbohong. Padahal hati ini sedang tidak karuan. Aku berjalan dan duduk di samping Bu Wira.
"Beneran? Tadi Ibu lihat kamu melamun. Sampai-sampai Ibu ketuk pintu aja kamu nggak dengar. Yaudah Ibu langsung masuk."
"Iya, Bu. Beneran. Aku nggak apa-apa. Cuma kangen aja sama Bapak Ibu" aku berbohong lagi.
"Oh, begitu. Kalau kamu kangen, kamu kan bisa pulang dulu. Bilang sama Claudia minta libur."
"Nggak usah, Bu. Nanti video call aja. Biasanya kan juga video call."
"Ya udah, terserah kamu aja. Kalau ada apa-apa jangan sungkan buat cerita. Jangan disimpan sendiri" Bu Wira tersenyum. Mengelus rambutku penuh kasih sayang. Seperti anaknya sendiri.
Aku bersyukur bisa dipertemukan dengan keluarga Pak Wira. Keluarga yang tentram dan penuh kasih sayang. Membuatku merasa nyaman meskipun sedang berjauhan dengan keluarga. Dan di keluarga Pak Wira inilah, aku menemukan sosok pengganti kedua orang tuaku, saat aku merindukan mereka. Aku bagai anak kandung di keluarga Pak Wira. Bahkan ketika mereka memberi hadiah untuk Mbak Claudia, aku pun turut dibelikan.
Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 pagi. Tapi aku belum juga bisa memejamkan mata. Sulit rasanya. Pikiranku entah kenapa? Rasanya begitu penuh. Mungkin menjelang subuh aku baru bisa tidur. Sampai tidak mendengar kumandang adzan Subuh.
* * * * *

Aku bangun sedikit terlambat. Setelah selesai mandi dan bersiap-siap, aku langsung menemui Pak Kardi, sopir keluarga Pak Wira yang sedang sarapan di dapur.
"Pak, tolong anterin ke kafe ya?" pintaku. Beliau menghentikan makannya. Lalu menatapku.
"Lho, Mbak Yoora. Tumben minta anter. Biasanya di jemput Mas Jerry."
"Jerry lagi sibuk, Pak" jawabku asal. Membuka kulkas, mengambil dua bungkus roti. Lalu ku masukkan ke dalam tas.
"Kalau udah selesai makan, tolong cepet ya, Pak?" Udah terlambat nih. Aku tunggu di depan" kataku. Buru-buru aku menemui Bu Wira untuk berpamitan.
"Iya, Mbak" jawab Pak Kardi. Cepat-cepat beliau menghabiskan sarapannya.
Beberapa menit kemudian, mobil berwarna hitam metallic sudah membawaku ke tempat tujuan, Blue Sky Cafe. Mobil melaju pelan. Membelah jalan raya yang selalu padat pada saat jam berangkat dan pulang kerja. Pak Kardi fokus menyetir. Sementara aku menikmati suasana pagi dari jendela.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Dengan cepat aku mengambil dari dalam tas. Kubuka aplikasi berwarna hijau berlogo telepon itu.
[Kak, udah sampai mana? Aku di kafe nih. Nungguin Kakak dari tadi]
Sebuah pesan masuk dari Jerry. Dengan cepat aku membalasnya.
[Masih di jalan. Ada apa? Kamu nggak ke kampus? Pagi-pagi bukannya kuliah malah nongkrong]
Kubalas pesan Jerry dengan seruntutan pertanyaan dan omelan. Tapi dia hanya membaca, tanpa membalasnya. Huh, dasar bocah!
Sesampainya di kafe, cepat-cepat aku turun dari mobil. Kemudian langsung masuk ke dalam kafe bernuansa modern itu. Kafe masih sepi, belum ada pengunjung. Aku sedikit lega. Karena hari ini sedikit terlambat.
Kulihat Jerry sedang duduk sambil memainkan ponsel mahalnya. Aku pun langsung menghampirinya.
"Kamu kenapa nggak kuliah?" tanyaku setelah sampai di mejanya. Meletakkan tas dengan sembarang ke atas meja. Lalu duduk disampingnya.
"Masuk siang" jawabnya pendek. Masih asyik dengan ponselnya. Tanpa menghiraukan kedatanganku. Tadi saja ditanya sudah sampai mana? Giliran sudah sampai malah dicuekkin. Hadeh!
"Chat sama siapa sih? Serius banget" tanyaku sambil kulirik ponselnya.
"Bukan siapa-siapa" dengan cepat dimasukkannya ponsel itu ke dalam tasnya. Mungkin dia takut kalau aku tiba-tiba merebut ponselnya secara paksa seperti waktu itu. Dasar playboy!
"Kenapa? Kakak cemburu ya?"
"Enggak. Udah biasa kan?" jawabku sedikit ketus.
"Bilang enggak. Tapi kenapa cemberut gitu? Cie, yang cemburu."
"Kamu sebenarnya mau ngomong apa sih, Jer?" Aku bertanya serius.
"Oh iya. Ini lho Kakak udah terima baju belum?"
"Baju? Baju apa?" Aku heran.
"Itu lho, baju yang dikirim Mama buat Kakak. Kemarin Mama kesini mau ngasih baju buat Kakak. Tapi kafe pas ramai. Mama takut ganggu Kakak lagi kerja. Terus dititipin ke Abang-Abang yang lagi di depan Kafe katanya. Kayaknya Bang Joni deh. Coba Kakak tanya."
"Apa? Dari Mama kamu?" tanyaku agak sedikit kaget.
"Iya, itu dari Mama. Itu baju buat Kakak. Entar malem Mama mau ketemu sama Kakak. Rencananya mau dinner di restoran, ngerayain ulang tahun Mama.
Mendengar penjelasan Jerry aku kaget. Aku terdiam. Bagaimana bisa? Tante Hantini, Mamanya Jerry belum pernah sekalipun bertemu denganku. Tapi beliau sudah memberikan aku baju dan sepatu. Bahkan mengajakku makan malam.
"Nanti jam tujuh aku jemput ya?" Jangan lupa bajunya dipakai biar tambah cantik" Jerry mencubit kedua pipiku. Bangkit dari duduknya lalu pergi. Sementara aku masih terdiam.
Tak lama kemudian pengunjung mulai berdatangan. Aku bangkit dari duduk, mengambil tas lalu pergi ke belakang untuk menyimpan tas di loker.
"Kak Yoora, tadi Jerry ngapain? Tumben pagi-pagi kesini" tanya Daniel saat aku sampai di meja kasir.
"Nanti malam ngajakkin dinner" jawabku jujur.
"Idih, sok romantis banget sih tuh bocah. By the way, dalam rangka apa?" tanya Daniel lagi. Dia merapikan bajunya. mengambil tas. Dan sepertinya mau berangkat ke kampus.
"Ngerayain ulang tahun Mamanya. Itu kemarin yang kirim baju Mamanya. Disuruh pakai entar malem."
"Serius, Kak? Itu bajunya dari Tante Hantini?"
"Iya."
"Cie, yang mau ketemu calon mertua" goda Daniel dengan tawa meledak.
"Ish, apaan sih" ku getok kepala Daniel dengan buku menu.
"Aw, sakit, Kak" Daniel sambil mengusapa-usap kepalanya.
"Jangan-jangan mereka sekalian mau melamar Kak Yoora."
"Nggak mungkin. Lagian Jerry masih kuliah. Belum pernah kerja juga. Mamanya nggak bakalan kasih restu buat Jerry nikah muda."
"Mungkin aja, Kak. Nggak perlu nungguin Jerry lulus. Usaha Tante Hantini kan banyak. Setelah lulus kan bisa tuh langsung nerusin usahanya. Nggak perlu capek-capek cari kerja."
Yang dikatakan Daniel memang ada benarnya. Usaha Tante Hantini banyak. Bisa aja kan, setelah dia lulus dia langsung nerusin usaha Mamanya. Apalagi dia berkali-kali bilang kalau mau melamarku. Entah itu serius atau hanya candaan saat kami mengobrol.
Kemarin Tante Hantini juga mengirim baju buat dinner. Padahal sekalipun aku belum pernah ketemu sama Tante Hantini. Kalau benar Jerry mau melamar, apa yang harus aku katakan? Sekarang perasaanku saja tak menentu. Belum bisa yakin sepenuhnya sama Jerry.
~💚Pricilla Hwang 💚~





Book Comment (579)

  • avatar
    Satu Dalam Sejuta

    good

    4d

      0
  • avatar
    FazriAmin

    buku nya bagus

    13d

      0
  • avatar
    SuailyGerard

    ia hanya sebatas cantik tetapi tidak memiliki hati yang sangat menyakiti mungkin hanya bukan dia yang dihati andai saja bumi bisa diputar dan memiliki hati yang terbuka bagi setiap orang yang sangat saling melengkapi dan terus berjuang untuk diri sendiri

    17d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters