logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

7. TAK AKAN PERNAH MELUPAKAN

"Papa, Papa."
Sam menatap gadis kecil yang mandi berendam dengan bebek karetnya itu dengan alis terangkat. Ia tak bisa menahan senyum saat menyadari tatapan mata bulat nan jernih Nuri dipenuhi dengan kata penasaran dan ingin tahu, "apa, Sayang?"
"Kenapa aku tak punya yang sepelti papa?"
Kali ini dahi Sam berkerut, sampo yang sudah ada di tangan menetes lewat sela jarinya yang kasar, "memang apa yang papa punya tapi Nuri tidak punya?" tanya Sam pada putrinya yang sudah menyebut dirinya aku sesekali.
Gadis kecil yang memegangi bebek kesayangannya saat mandi ini, menunjuk. Kepala Sam langsung menunduk memandang satu-satunya benda yang menempel di badannya yang pagi ini juga ikut mandi bersama sang putri karena bangun kesiangan.
"Ini ...," Sam terlihat bingung harus menjawab apa pada putrinya yang sudah ingin tahu segala hal yang mata bulan nan jernihnya lihat.
Ia jadi menyesal kenapa tak mandi dengan memakai handuk untuk menutupi pinggang, "nanti anak papa yang harus mandi cepat ini, juga akan punya kalau sudah dewasa."
Ucapan Sam membuat Nuri memiringkan kepalanya tak mengerti meski menurut saat Sam mengusapkan shampo pada rambut panjangnya yang bergelombang.
"Dewasa itu apa, Papa?" tanya Nuri membuat Sam tersenyum.
"Dewasa itu saat Nuri sudah besar dan bisa mandi sendiri."
"Tapi, aku mau mandi telus sama papa, disampoin telus disabunin, telus digendong."
Sam makin tertawa pada ucapan Nuri yang masih belum bisa mengucapkan 'r' lalu menyuruh Nuri memejamkan mata karena ia akan membilas rambut Nuri.
Gadis kecil yang tahu matanya akan perih dan merah kalau tak menurut, memejamkan matanya rapat-rapat juga membuka mulut kecilnya untuk bernafas. Ia ingat rasanya saat air masuk ke dalam hidung, perih dan sakit sampai membuat matanya berair walau tidak menangis
"Jadi anak papa yang cerewet ini suka papa gendong, ya?"
"He'em, Nuli sukaaaa sekali digendong papa," adu gadis kecil yang kembali membuka matanya.
Ia menurut saat tangan kasar Sam mengusap air di wajah bulat nan tembemnya itu, itu artinya ia bisa bermain air dan bebek karet kesayangannya sampai Sam selesai mandi.
"Papa udah selesai?"
"Sudah, atau kita akan terlambat," jawab Sam melingkarkan handuk pada gadis kecil yang langsung memeluk lehernya.
"Hmmm, Papa wangi kayak Nuli," dihirupnya aroma sampo juga sabun yang menyeruak dari leher dan rambut sang papa, sementara tangan kecilnya sibuk bermain di wajah Sam yang rambutnya membuat tangan kecilnya geli.
Sam tersenyum melihat Nuri memperhatikan wajahnya begitu lekat, "papa tak sempat bercukur, Sayang."
Mendengar itu bibir kecil Nuri mengerucut, putrinya ini sangat mirip dengan Nita. Keduanya sangat tak senang ada rambut yang tumbuh di wajah Sam.
"Nanti pulang kerja akan langsung Papa cukur."
"Janji?"
Sam menatap kelingking kecil Nuri yang ada di depan wajahnya, "janji, Sayang," jawab Sam menautkan jari kelingkingnya sendiri pada kelingking kecil yang begitu halus.
"Papa."
"Hem?"
"Kapan Nuli akan punya yang sepelti papa?"
Manik hitam pekat Sam membulat, rasanya ia ingin menepuk jidatnya sendiri tapi urung ia lakukan dan lebih memilih mengecup pipi tembem sang putri yang sudah ingin tahu semua hal yang ia lihat.
"Kamu sarapan juga, Sam, biar Simbok yang nyuapin Nuri."
Sam menatap mbok Imah meletakkan sepiring nasi goreng dengan telur ceplok kegosongan ke atas piringnya.
"Sayang kalau tidak dimakan," ucap mbok Imah menatap gadis kecil yang seragamnya masih kebesaran. Seolah seragam dua potong itulah yang mengenakan Nuri, bukan sebaliknya. "Gemesin banget sih cah ayu-nya simbok."
Nuri hanya menunjukan barisan gigi-gigi susunya yang kecil saat tersenyum, menjulurkan tangan saat Sam membantunya duduk di kursi.
"Simbok sarapan nanti, Cah ayu, kamu sama papamu duluan biar gak makin kesiangan," ucap mbok Imah saat mendapati Nuri yang menatap meja di depannya kosong.
Tidak ada sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi yang kegosongan.
Nuri hanya menurut setiap mbok Imah menyuapinya, sesekali melirik pada Sam yang makan dalam diam meski selalu memberi senyum saat mata mereka bertemu.
Nuri tidak boleh bicara saat makan. Hanya mengunyah supaya tak ada makanan yang keluar dari mulut lalu mengotori meja, kecuali di mulut kecilnya itu sudah tak ada lagi nasi goreng atau telur kegosongan yang harus ia kunyah.
"Kami berangkat dulu, Mbok," pamit Sam pada mbok Imah yang melambai sementara Nuri cekikikan papanya berlari cepat menuruni tangga dengan ia di gendongan.
"Selamat pagi, Mas," sapa dari suara mendayu itu membuat Sam yang sedang memasangkan helm pada Nuri menoleh.
"Selamat pagi," jawab Sam memberi senyum ramah lalu kembali fokus pada Nuri yang menatap kak Leta yang memandangi papanya.
"Sudah sarapan, Mas? Saya masak nasi goreng sosis kalau mas mau-"
"Kami sudah sarapan nasi goreng telur mbok Imah, Dek Leta," ucap Sam tak ingin berbasa-basi pada anak pak RT yang begitu jelas menunjukan ketertarikan pada dirinya.
"Oh, kalau begitu buat bekal saja, Mas."
"Saya sudah pesen katering untuk makan siang, Dek Leta, sayang kalau tidak dimakan, duluan ya, Dek, sudah kesiangan," ucap Sam naik ke atas motor setelah memastikan Nuri duduk nyaman.
"Pegangan, ya," tangan kecil Nuri langsung memegang erat-erat jaket belel Sam, tubuh kecilnya menempel begitu lekat pada punggung sang ayah yang menyalakan motor.
"Duluan ya, Dek Leta," pamit Sam memutar gas meninggalkan gadis yang pakaian sexynya sama sekali tak Sam lirik. Padahal gadis itu sengaja membuka tiga kancing kemejanya dengan hot pantas yang hanya menutupi bokong.
"Huh, susah bener sih bikin mas Sam kesengsem!" Sungut gadis lulusan SMA itu tak menyadari di lantai tiga rusun ada mbok Imah yang mendecakkan lidah.
"Cah eddan!" Seruan medok mbok Imah membuat Leta mendongak. Tapi, tak mendapati siapapun meski ia tahu siapa pemilik suara yang bersembunyi itu.
"Dasar perawan tua!" Seru Leta tak kalah keras lalu masuk ke dalam rumah membawa rantang yang tak pernah Sam terima.
Motor butut yang melaju tak kencang itu berhenti di taman kanak-kanak dengan gedung bercat ramai, seramai celoteh bocah-bocah berseragam yang datang bersama orang tua mereka ataupun pengasuhnya. Itupun satu dua.
Nuri yang sudah turun dari boncengan membiarkan Sam melepas helm kecilnya lalu merapikan anak rambutnya yang tak beraturan.
"Sudah cantik," puji Sam memandangi rambut sang putri yang bandonya baru ia pasang. "Ayo," ajak Sam dengan tangan tersambut lalu berjalan masuk, tersenyum pada siapapun yang menyapa.
"Papa, Papa! mbok Imah bilang ibunya Weni sama kakaknya Alan suka sama papa," adu Nuri.
"Oh ya?"
"He,e," jawab Nuri mendongak menatapi Sam yang berjalan dengan menyesuaikan langkah kecil Nuri.
"Tapi, Papa sukanya Nuri sama mama, tuh," mata Nuri langsung berbinar, "dan mbok Imah juga," tambah Sam membuat putrinya yang jadi senang ini tertawa lebar.
"Aku juga sangat sukaaa sama Papa, sama mama, sama mbok Imah, telus suka bebek, suka nasi goleng, suka telur, suka..."
Sam tersenyum sepanjang jalan mendengarkan apa saja yang putri kecilnya ini sukai. Putri kecil yang tak lagi ia bawa untuk menemui Nita. Tapi, ia memastikan putri kesayanagan istrinya ini tidak akan pernah lupa keberadaan sang mama, sekalipun Nita tak mengingat mereka berdua.
*
Prang!!
"YA GUSTI! seru mbok Imah terkejut mendapati potret yang jatuh begitu saja. Ia langsung memegangi dadanya yang keras berdetak sementara matanya menatap potret wanita yang tak lagi boleh di kunjungi Nuri.
Perasaanya langsung tidak enak, "Gusti nun agung, jagalah kami semua."

Book Comment (165)

  • avatar
    BalRin

    mantap

    13d

      0
  • avatar
    NasimunNasimun

    yaa

    20/08

      0
  • avatar
    Novia Snaisna

    Mengurass tenagaa

    08/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters