logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

6. HAL YANG PASTI TERJADI

"Kami akan merawat bu Nita, Pak Sam."
Sam yang menggendong Nuri menoleh pada suster saat ia memandang sang istri yang menatap kosong. Ia makin mengusap punggung Nuri yang memeluk lehernya begitu erat.
Sam tahu, putri kecilnya ini tidak ingin berpisah dengan Nita. Sebagaimana dirinya yang merasa separuh hidupnya pergi meski Nita masih ada. Cinta dalam hidupnya masih ada, Nita hanya menjadi orang yang berbeda.
"Ayo, pamit sama Mama dulu sebelum pulang," ucap suster menyentuh lengan kecil Nuri yang makin mengerat pada leher Sam, bocah kecil yang selalu sopan itu bahkan tidak ingin memandang suster yang wajahnya sudah ia hafal.
"Bisa- ... bisa tinggalkan kami sebentar, Suster," ucap Sam membuat sang suster menoleh pada mbok Imah yang mengangguk.
"Tentu, Pak Sam," jawab suster lalu keluar berdua mbok Imah yang menoleh ke belakang.
Mata tua mbok Imah bisa melihat sekesepian apa punggung Sam yang duduk di hadapan Nita. Ia tak perlu mendengar apa yang akan Sam katakan pada sang istri untuk tahu lelaki gagah itu merasa berat meninggalkan Nita sendirian di rumah perawatan ini.
Tapi, hal berat yang selalu Sam tolak untuk dilakukan akhirnya jadi kenyataan. Semalam hanya lengan Nuri yang terluka karena pisau yang Nita pegang. "Jika ...," mbok Imah tak berani mengucapkan apa yang melintas dalam pikiran. Ia menggeleng dengan tarikan nafas berat sementara suster di sampingnya menutup pintu rapat untuk memberi ruang pada lelaki gagah yang menggenggam tangan sang istri dan anak mereka di pangkuan.
Manik mata Nita yang menatap kosong ubin bergerak saat tangannya ditetesi air. Ia menatap lelaki asing yang mata dan pipinya basah. Nita tampak berpikir apa nama hal yang sedang di lakukan wajah asing di hadapannya ini.
Namun, ia tak menemukan apapun meski hatinya serasa begitu perih melihat mata dan pipi lelaki di hadapannya ini basah seolah air yang keluar dari matanya tidak ingin berhenti.
Nita tak paham kenapa matanya ikut basah, kenapa matanya yang terasa panas dan perih juga mengeluarkan air. Ia sama sekali tak paham!
Sampai tangan kurus Nita yang bebas, terangkat mengusap pipi basah lelaki asing yang rasanya ia tahu, ia kenali, TAPI ia bahkan tak mampu mengingat nama lelaki yang membuat batinnya menjerit dalam bisu!
Sam membiarkan tangan kurus Nita mengusap pipi basahnya. Tapi, airmata seakan tak ingin berhenti lalu menarik tubuh kurus Nita yang rasanya tinggal kulit membalut tulang.
Sementara gadis kecil dalam pangkuannya mendongak, matanya yang basah jadi terisak saat melihat Sam menangis. Bibir kecilnya yang masih basah semakin merah mengeluarkan protesnya pada hal yang tak ia pahami.
"Waaa... waaa... waaa...." Tangis protes gadis kecil yang tangannya dibebat perban itu menggema dalam ruangan yang dipenuhi dengan banyak rasa dan tak ada kebahagiaan di dalamnya.
Nuri hanya tahu papa sedang sedih lalu memeluk mama.
Meskipun, batinnya terus bertanya 'kenapa papa menangis? Kenapa mama tidak pulang bersamanya?'
Gadis kecil yang belum mengerti apa yang sesungguhnya terjadi ini hanya makin terisak bersama Sam yang memeluk Nita. Wanita yang meski batinnya menjeritkan perih dan lara, tidak paham apa yang sedang ia rasakan.
Alzaimer yang Nita derita sungguh merenggut banyak hal darinya. Tidak hanya memorinya, ingatannya, kemapuan dirinya, bahkan rasa yang Nita miliki. Penyakit itu mengambil segala yang ia tahu.
Alzaimer sungguh mengambil segala yang diketahui Nita, kehidupannya, kebahagiaanya, senyumnya.
Jika Nita paham saat ini Sam sedang menangis karena dirinya, pasti tidak hanya batin Nita saja yang menjerit dalam bisu kini.
Namun alzaimer yang ia derita membuat Nita tak lagi bisa berpikir, ia tak lagi bisa melakukan hal-hal mudah sendiri, ia tak lagi mengingat orang-orang yang akan terus mengingatnya, ia tak lagi mengenali namanya sendiri apalagi nama lelaki gagah yang memeluknya dalam tangis juga gadis kecil yang isaknya menyayat hati.
"Saya sungguh-sungguh mencintaimu, Nita Lestari," ucap Sam dalam tangisnya yang tidak mengeluarkan Isak.
Sementara wanita yang ia peluk menatap kosong tanpa membalas kecuali mendengar putri kecil kesayangan mereka menangis sepenuh hati dengan lengan terbebat perban yang hanya mampu melihat dalam bisu sebagaimana dinding yang akan memisahkan anak dan ibunya.
*
Wanita dengan pandangan kosong itu pupilnya melirik tangan suster yang merangkul bahunya. Ia begitu diam menutup mulut sampai tangannya terangkat menyentuh kepala Nuri yang lelap dengan mata sembab. Begitu kaku elusan tangan kurus Nita pada kepala sang putri, lalu ditariknya lagi dan kembali diam meski manik matanya yang kosong menatap Sam.
"Besok-" Sam yang merasakan sekelu apa lidahnya menarik nafas dalam, diusapnya kepala Nita yang terus menatapinya dalam bisu. "Aku dan Nuri akan datang besok, Dek," ucap Sam dengan satu tarikan nafas yang terasa begitu menyesakkan.
"Hati-hati di jalan, Pak Sam," ucap suster mengajari Nita melambai.
"Terimakasih, Sus, saya titip istri saya."
Tangan kurus Nita mengikuti gerakan suster dengan kaku, matanya terus menatap punggung lelaki gagah yang makin jauh bahkan menghilang. Sesuatu melintas dalam matanya. Namun, Nita tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Mulutnya yang terbuka hanya terbuka tanpa disadari siapapun apalagi lelaki gagah yang punggungnya tak lagi terlihat atau putri kecilnya yang terluka berkat pisau yang ia pegang, ataupun mbok Imah yang menghapus bulir airmatanya lalu menepuk punggung Sam.
Mungkin, anak yatim piatu yang tak lagi bisa mengingat banyak hal itu ingin berlari, mengejar lelaki gagah yang menggendong putri mereka. Tapi, Nita yang sudah tidak lagi mampu berpikir hanya terus diam, kakinya yang ingin bergerak hanya terpaku dengan ubin yang bangunannya akan ia tinggali mulai hari ini.
"Ayo, kita masuk dulu, Bu Nita."
Nita hanya menurut tanpa kata, berjalan masuk ke dalam kamar yang akan ia tinggali mulai malam ini sampai sel-sel di otaknya benar-benar tak bisa berfungsi lalu mati.
Sementara di lorong yang panjang, langkah Sam terlihat begitu berat, tangannya memeluk erat tubuh kecil Nuri yang terlelap setelah lelah menangis. Mbok Imah yang berjalan di samping mereka tak ingin berkomentar tentang mata sembab Sam, ia hanya terus berjalan menemani lelaki gagah yang sudah menyiapkan hati untuk hal yang paling buruk. Istrinya tak akan kembali. Cinta dalam hidupnya tak akan pernah kembali lagi.
*
"Kau bilang aku harus melarang putriku bertemu ibunya!"
Seruan itu menggema dalam ruangan dokter Bima. Pria yang bisa menebak reaksi Sam. Ditariknya nafas dalam sebelum menegakkan duduk, "Sam-"
Tidak lagi ada honorifik antara Sam dan Bima, mereka hanya memanggil nama, "-kamu lihat sendiri istrimu tak lagi bisa bangun dari kasur yang sudah ia tiduri selama setengah tahun ini, bukan?"
Sam hanya melirik dokter Bima, "istrimu sudah tak lagi bisa bicara atau menanggapi."
Tangan Sam terkepal.
"Nuri masih terlalu kecil untuk paham apa yang terjadi. Tapi, tak berarti dia tak mengerti. Menurutmu, jika terus melihat perkembangan ibunya yang selalu menurun, apa hal ini tak akan berpengaruh apapun pada tumbuh kembang Nuri?"
Suara Sam tercekat, ia tak bisa membalas ucapan dokter Bima. Putri kecilnya adalah anak yang pandai dan penurut. 'Tapi, melarangnya bertemu Nita?'
Sam menutup wajahnya sendiri dengan kedua tangan, dokter Bima hanya duduk memperhatikan sampai pintu ruang prakteknya diketuk lalu terbuka.
Wajah dokter Bima langsung menunjukan senyum pada gadis kecil yang setiap hari ia lihat. Rambut panjang bergelombangnya dikuncir kuda hari ini.
"Selamat pagi, doktel," sapa Nuri lalu menatap mbok Imah yang mengatakan ia salah memberi salam.
"Selamat sole, doktel," ulang gadis kecil yang belum bisa mengucapkan huruf 'R' dengan benar ini kembali menundukkan badan memberi salam.
"Selamat pagi, Nuri," jawab dokter Bima sementara gadis kecil yang ia balas sapanya berjalan cepat memeluk kaki sang ayah yang wajah kelabunya berkurang.
"Sudah ketemu mama?"
"Ng, tapi mama tidul, aku ngomong sendiri, Papa," adu Nuri lalu menutup mulut, "eh, Nuli-- Nuli ngoblol sama mbok Im juga," ulang Nuri menoleh pada wanita tua yang berdiri di depan pintu.
"Papa?" panggil Nuri membuat Sam memasang telinganya baik-baik, "kenapa mama tidul telus? Nuli kangen main dan ngoblol mama."
Ucapan jujur itu membuat wajah Sam kembali kelabu, ia melirik dokter Bima yang meski diam seolah mengatakan "sudah kubilang padamu, bukan?"
Mbok Imah yang peka, mendekat pada Nuri dan mengusap kepala gadis kecil yang makin berat saat minta digendong ini, "ayo beli susu coklat," ajaknya.
Wajah Nuri langsung berbinar seolah lupa pada pertanyaan yang baru ia ucapkan. Ia langsung menoleh pada Sam yang mengangguk lalu menyambut tangan mbok Imah semangat.
Meski pintu ruangan sudah tertutup Sam dan dokter Bima masih bisa mendengar Nuri yang minta dua susu coklat karena yang satu lagi untuk mama.
"Aku tahu ini akan berat, Sam, tapi mempersiapkan hati Nuri sedini mungkin untuk hal yang paling buruk jika mamanya-" dokter Bima berhenti berucap saat Sam menatap.
"Kau tahu, kita tak akan bisa menghindari hal yang sudah pasti terjadi, kan, Sam?"

Book Comment (165)

  • avatar
    BalRin

    mantap

    13d

      0
  • avatar
    NasimunNasimun

    yaa

    20/08

      0
  • avatar
    Novia Snaisna

    Mengurass tenagaa

    08/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters