logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

5. CINTA DALAM HIDUP SAM

"Tolong pertimbangkan apa yang saya ucapkan, Pak Sam."
Sam menatap dokter Bima yang menyentuh pundaknya. Dokter saraf yang menangani istrinya itu kembali mengatakan hal yang sama.
"Ini baru satu tahun, tapi kemunduran bu Nita begitu signifikan. Tinggal di rumah dengan putri kalian yang masih kecil mungkin akan baik-baik saja untuk saat ini. Tapi, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari saat anda tak ada di samping bu Nita, bukan?"
Sam hanya bisa diam, terapi rutin untuk memperlambat progresi penyakit alzaimer juga obat yang Nita minum tak menunjukan hasil yang baik. Seolah usahanya sedang ditertawakan oleh waktu.
"Tolong dipertimbangkan apa yang saya sarankan karena istri anda tidak akan menjadi lebih baik dan secepat apa ia berubah dalam bersikap dan menanggapi sesuatu."
Sam mengusap kasar wajahnya, ia menarik nafas begitu dalam sementara dokter Bima memberinya waktu untuk berpikir. Namun, saat mata mereka bertemu dokter Bima tahu, Sam akan memberinya jawaban yang sama. Ia tetap ingin merawat istrinya di rumah.
Tidak ada yang bisa dokter Bima katakan lagi pada lelaki gagah di hadapannya ini. Ia hanya menarik nafasnya dalam, menulis resep yang sama lalu menyenderkan tubuh saat pintu yang dibuka Sam menutup rapat.
"Huuuh." Begitu panjang helaan nafas dokter Bima terdengar, "bahkan tatapan matanya sama sekali tak berubah saat memandang sang istri. Apa aku bisa menyebut hidup wanita malang ini beruntung?"
Dokter Bima menutup matanya rapat, "apa yang akan terjadi saat kondisinya semakin parah."
Sekali lagi dokter spesialis saraf itu menarik nafa dalam.
*
*
*
Langkah sepatu kecil yang berjalan dengan tangan digandeng itu terlihat ringan. Celotehnya yang ramai, terdengar di sepanjang lorong rumah sakit.
Sesekali tawa pria yang menggandeng tangannya terdengar, ia membalas ucapan sang putri yang jadi bahasa alien bagi telinga yang tak biasa mendengar.
"Halo, Nuri," sapa suster yang wajahnya femiliar bagi gadis kecil yang tersenyum karena pipi gembilnya dicubit gemas.
"Alo, sustel," jawab gadis kecil yang menundukkan kepala seperti yang mbok Imah ajarkan.
Begitu sopan sikap gadis kecil berusia satu setengah tahun ini bersikap. Dipandangnya sang papa yang bicara entah apa dengan suster kepala tempat perawatan yang sering ia datangi.
Mata jernih nan bulat gadis kecil ini berbinar saat melihat wanita dengan pandangan kosong duduk di samping mbok Imah. Tangannya terlepas dari gandengan sang papa yang terkejut tapi tak menyusul karena tahu kemana putri kecilnya berlari.
Putri kecilnya yang sudah mampu berucap itu menghampiri cinta dalam hidupnya, Nita lestari. Wanita yang tak akan lagi tinggal satu rumah dengan mereka mulai hari ini.
"Mama, Mama! Ui balu beli ng... beli aus."
"Susu," ucap mbok Imah membetulkan ucapan gadis kecil yang kepalanya bersender pada pangkuan Nita, wanita yang pandangan kosongnya berubah saat melihat wajah bulat yang ia pandangi begitu lekat.
Nita menunduk, menatapi gadis kecil yang wajahnya asing meski tangannya bergerak menyentuh kepala dengan rambut panjang bergelombang.
Tanpa kata Nita mengusap kepala sang putri yang tidak ia kenali, "si- ap- pa na- ..., na-ma-mu?"
Terbata-bata bibir Nita berucap setelah begitu lama ia berpikir. Tapi, gadis kecil yang masih menyenderkan kepala kecilnya pada paha sang ibu malah tersenyum.lalu menunjuka diri.
"Ui, ku ui, Mama."
Rasanya hanya mama dan papa saja ucapan jelas gadis kecil itu terucap. Selebihnya, bahasa yang harus diartikan sampai dahi berkerut dalam.
"Dia Nuri, putrimu," jawab mbok Imah menyentuh pundak Nita yang rasanya kini tinggal kulit dan tulang.
Mbok Imah melihat seburuk apa kondisi Nita setiap hari, melupakan apapun yang mudah diingat bahkan melupakan suami dan putrinya yang begitu lucu. Hingga tiba hari dimana ia tak akan melihat Nita kecuali ia datang ke rumah perawatan yang lantainya sedang ia pijaki ini.
Ditatapnya pemuda gagah yang tatapan matanya tak pernah berubah saat memandang sang istri, begitu penuh kasih dan cinta. Bahkan, orang buta bisa melihat itu di mata Sam.
"Susu coklatmu, Sayang."
Gadis kecil yang terus menyandarkan kepalanya di pangkuan sang mama ini menoleh, tangannya terjulur menerima kotak susu coklat yang sudah dipasangi sedotan.
Sruuupp!! Panjang sekali sedotan bibir mungil itu terdengar, "apa anak papa begitu haus?"
"Ng! us, nak."
Sam mengangguk untuk ucapan Nuri yang sangat ia pahami, "susu coklat memang enak," ucapnya lalu menatap Nita yang memperhatikan. "Apa kamu juga mau?" Tanya Sam pada Nita yang mengangguk.
Wanita yang tak lagi mengingat siapa dirinya sendiri ini menerima sekotak susu coklat yang hanya ia pandangi, dengan sabar Sam memegang tangan Nita yang tak tahu apa yang harus ia lakukan pada kotak susu coklat di tangan.
Mbok Imah menghapus airmatanya melihat sesabar apa perlakuan Sam pada Nita yang bahkan lupa bagaimana meminum air dari sedotan. Wanita muda yang ingatannya di makan penyakit ini melupakan banyak hal dan harus dibantu dalam segala hal.
Makan, minum, mandi, membersihkan diri saat buang air, gosok gigi, berjalan, bahkan bangun dari kasur.
Tapi, Sam begitu sabar melakukan semua untuk Nita, ia tidak pernah mengeluh atau meninggikan suara. Tidak untuk Nita tidak juga untung putri mereka yang sudah berusia 15 bulan 21 hari.
"Semua sudah siap, Pak Sam, mari."
Sam menoleh pada perawat yang menunjukan sikap simpati, ia tersenyum dan berterimakasih. Sementara gadis kecil yang terus menyenderkan kepalanya pada Nita memperhatikan.
"Ayo, kita ke kamar mama, Sayang."
"Lang?" Tanya gadis kecil itu melihat mbok Imah menjulurkan tangan.
"Kita pulang nanti, Cah ayu," jawab mbok Imah yang tangannya tersambut.
Tangan kecil yang menggandeng erat tangan mbok Imah menatap sang papa, pria itu membantu Nita berdiri lalu merangkulnya. Mereka berjalan pelan menyusuri lorong panjang dengan pintu-pintu tertutup di belakang suster.
Gadis kecil itu duduk diam di atas karpet empuk warna biru, matanya menatapi kedua orang tuanya dalam diam, kalimat yang Sam ucapkan terlalu sulit untuk ia pahami sampai ia mendekat saat Sam memanggil dengan gerakan tangan.
"Tidakkah anak mama dan papa jadi sangat berat sekarang?"
Nuri tersenyum begitu Sam mengangkatnya ke dalam pangkuan. Sementara Nita menatapi keduanya dalam bisu meski menurut saat Sam menggenggam tangannya yang disatukan dengan jemari kecil yang jadi tak terlihat karena diapit tangan Nita dan tangan Sam yang jadi terlihat sangat besar.
Mbok Imah bahkan tak mampu mengalihkan pandangannya saat melihat momen itu, mata tuanya berair dengan ucapan yang tak mampu ia gambarkan dengan kata.
"Sus, bisa tolong fotokan mereka," pinta mbok Imah lirih, menyodorkan ponsel pada perawat yang meski sudah melihat banyak kejadian serupa tetap merasa trenyuh.
"Maaf, Bu, ponsel ibu tak ada kameranya," ucap sang suster setelah melihat ponsel jadul yang tidak termakan usia.
"Oalah, aku lupa," jawab mbok Imah menepuk dahinya. Tak urung membuat suster itu tersenyum.
"Saya potretkan dengan ponsel saya, ya ,Bu? Nanti saya cetak dan serahkan pada ibu."
Mbok Imah menggenggam tangan suster itu dengan ucapan terimakasih.
Ternyata masih banyak orang baik di dunia ini.

Book Comment (165)

  • avatar
    BalRin

    mantap

    13d

      0
  • avatar
    NasimunNasimun

    yaa

    20/08

      0
  • avatar
    Novia Snaisna

    Mengurass tenagaa

    08/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters