logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

4. PUTRI KECIL KESAYANGAN MAMA DAN PAPA

"Apa aku juga akan lupa wajahmu dan Nuri, mas?"
Sam berhenti berjalan, ia menoleh pada Nita yang menatapi ubin dingin di lorong rumah sakit. Suara keramaian terdengar dari segala penjuru, seluruh sudut, bahkan mereka bisa mendengar tangis anak-anak yang entah berasal dari bagian mana.
"Apa ... apa aku juga akan melupakan senyummu dan senyum Nuri?"
Sam langsung memeluk tubuh Nita yang tangannya tak menyambut. Tangan Nita hanya mengepal pada kedua sisi tubuhnya sendiri.
"Lalu lupa bernafas dan mati."
Apa yang dikatakan dokter Bima pasti membuat Nita sangat syok, bagaiman tidak? Saat usianya baru menginjak 23 tahun dan dokter mengatakan ia menderita kepikunan.
Apalagi kalimat tambahan yang tak akan pernah mungkin Sam lupakan dan berharap itu hanya omong kosong, bualan kosong dari seorang ahli saraf!
'3 sampai 4 tahun. Nita hanya bisa bertahan hidup 3 sampai 4 tahun?'
'Lelucon yang sangat tidak lucu!'
Istri yang saat ini sedang ia peluk meski tidak membalas dekapan tangannya ini hanya lupa. Lupa pada teh, lupa pada bekal, lupa pada daging, lupa pada pakaian gantinya, lupa pada- ... nama anak mereka.
Sam menarik nafasnya dalam-dalam, ditangkupnya wajah sang istri yang dipenuhi mendung, wajah sama yang mungkin juga tercetak dalam sorot matanya yang hitam legam.
Namun, Nita membuat kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya menghilang. Sam tidak mampu menyembunyikan perasaanya sendiri sampai tangan Nita yang masih tak bergerak memeluknya dengan kalimat yang begitu mengurus hati.
"Aku tidak ingin lupa padamu, Mas," mata Sam membulat sempurna, airmatanya jatuh tanpa perlawanan.
"Aku tak ingin lupa pada cintamu padaku, aku tidak ingin lupa sentuhanmu padaku, aku tidak ingin lupa pada senyummu padaku, aku tidak ingin lupa pada suaramu, kh-." Suara Nita tercekat sementara Sam mendekapnya makin erat.
"Aku- ... aku ingin terus mengingat kamu, mengingat anak kita. Aku ingin terus bersama kalian sampai Nuri dewasa, sampai kita menua, sampai putri kita memiliki anak sendiri yang bisa kita dekap, ajak bermain dan aku ...."
Nita makin meremas kaos Sam yang aromanya tak bisa menenangkan dirinya saat ini, aroma yang selalu ia cari saat bangun tidur itu tak lagi membuatnya merasa aman meski kehangatan Sam memenuhinya, menyelimuti dirinya.
Sementara suami yang kehadirannya begitu nyata, memeluknya dalam tangis yang membuat hatinya seakan diremas. Rasanya begitu sakit juga penuh dengan kerinduan meski orang yang sedang ia rindukan sedang Nita dekap.
Nita tak lagi mampu berucap kecuali ikut menangis tak perduli pada ubin dingin dan dinding bisu yang tak mampu meredam tangis mereka. mereka hanya mampu mendengar dan melihat pemuda gagah dan anak yatim piatu itu saling memeluk dalam tangis.
'Tuhan, jangan ambil istriku, kumohon jangan ambil istriku. Aku dan putri kami masih sangat membutuhkannya. aku masih sangat membutuhkannya.'
Pinta Sam dalam bisu.
*
Prang!!
Suara benda pecah itu membangunkan Sam yang baru satu jam lalu tertidur. Matanya langsung melihat ruang kosong di hadapan sementara Nuri masih lelap.
"Papa tinggal sebentar," ucap Sam menyentuh pipi Nuri lalu turun dan berjalan cepat keluar dari kamar yang ia tinggaki bertiga dengan Nita yang tidak ada.
"Dek?"
Nita bergeming, seolah tak mendengar panggilannya.
"Nita," panggil Sam lagi, kali ini wanita yang sedang menatapi pecahan piring itu mendongak.
"Maaf, Den, piringnya pecah."
Sam membisu, tubuhnya kaku. Apalagi saat Nita membungkuk begitu dalam, membawanya kembali pada masa mereka masih tinggal di rumah dengan kayu-kayu Cendana dan jati yang kokoh berdiri meski kaku.
Sam baru bergerak ketika Nita memunguti pecahan kaca dengan tangan, meraupnya seolah pecahan piring itu hanya kertas.
Tangan Nita berdarah, tapi ia sama sekali tak menunjukan rasa sakit, istrinya seolah berpikir apa yang terjadi sampai Sam yang mememgang pergelangan tangannya menunjukan wajah kaget dan khawatir.
"Ya Allah, apa yang terjadi?" tanya mbok Imah keluar dari pintu kamar lain yang ia tempati kini. wanita pengemar suruh itu langsung mengambil kotak P3K yang terlalu sering ia beli isinya karena Nita sering terluka.
"Kamu obati dulu luka istrimu, biar Simbok yang mberesin lantai," perintah mbok Imah meletakkan kotak p3k di atas meja.
Sam menatap wanita paruh baya yang menyarankan dirinya sendiri untuk tinggal bersamanya sejak setengah tahun lalu supaya bisa merawat Nuri. Bayi yang masih begitu membutuhkan perhatian.
"Terimakasih, Mbok."
"Terimakasih opo to, Le'?" ucap mbok Imah menatap wanita muda ayu yang tubuhnya semakin kurus. Ia menghapus cepat airmatanya agar tak terlihat oleh Sam yang mengajak Nita berdiri.
Sambil menyapu lantai, mbok Imah memperhatikan pasangan muda yang duduk di ruang tamu, kepalanya menggeleng dengan perasaan sedih melihat senyum lebar Nita saat Sam berkata ia mencintainya.
Sam terkejut saat jemari Nita mengusap pipinya yang ditumbuhi jenggot, wajah Nita terlihat tidak senang. Rasanya ia bisa melihat Nita yang ia rindukan.
"Potong, Mas, kamu jelek sekali kalau seperti ini."
Sam tertawa lalu menarik tubuh Nita untuk ia peluk, hanya sesekali istrinya ini memanggilnya seperti itu. Sampai ia rindu.
"Ya, akan Mas potong setiap hari sampai kamu tak akan protes lagi."
Nita mengangguk, "tanganku sakit, Mas," adunya pada Sam yang meski tersenyum matanya menyisakan kerinduan. kerinduan untuk istri yang duduk di sampingnya kini.
"Sini biar mas tiupi."
Nita melepas pelukannya, ditatapinya lelaki yang meniupkan udara pada tangannya yang berbalut perban lalu menatap mbok Imah yang berdiri dengan plastik berisi pecahan piring.
"Mas, dia siapa? Kenapa ada orang asing di rumah kita?"
Sam menatap mbok Imah, wanita tua itu tersenyum meski matanya menunjukan kesedihan.
Nita langsung memeluk lengan Sam saat mbok Imah mendekat, ia terlihat takut pada wajah asing yang setiap hari ia temui.
"Jangan takut, Dek. Namanya mbok Imah," jawab Sam menenangkan Nita yang ketakutan.
"Aku yang mbantu njaga anakmu, Ndok."
Mata Nita langsung membesar, ia berdiri cepat dan berlari ke dalam kamar seolah mengingat sesuatu setelah mendengar ucapan mbok imah.
"Biar Simbok yang bereskan, kamu susul istrimu."
Sam mengangguk dan menyusul Nita setelah mengucapkan terimakasih. Setelah menutup pintu Sam membaringkan tubuhnya di samping Nita yang sedang membelai pipi Nuri.
"Kenapa anak kita sudah sebesar ini? Apa aku melewatkan tumbuh kembangnya?"
Sam mengecup pundak Nita yang tidak menoleh, rasanya meski tubuhnya lelah ia tak ingin cepat tidur. Ia ingin terus terjaga menemani Nita yang mengenali putri mereka malam ini.
Berbagai tes sudah dilakukan, dan hasilnya sama. Nita mengalami penurunan daya ingat yang sangat signifikan.
Demensia, kepikunan, alzaimer.
Tiga kata yang berarti sama, menurunnya memori dan daya ingat.
Sesederhana itu.
Tapi, tidak bagi sang penderita begitupun orang-orang yang ada di sampingnya. Tidak jarang Sam mendapati Nita menangis saat ia pulang. Istrinya yang walau sudah meminum obat tetap melupakan banyak hal ini, begitu menderita dan ia hanya bisa memeluk Nita sampai tangis Nita reda.
Entah sudah kali keberapa ia bersama Nita bertemu dokter saraf yang lagi-lagi memberikan obat, tapi tak satupun dari obat yang Nita minum bisa menyembuhkan apa ya g ia derita, obat-obat itu hanya memperlambat kerusakan sel-sel saraf otaknya.
Sam yang terus bersama Nita paham sudah seberubah apa istrinya ini dalam bersikap, dalam berlaku, dalam berucap.
Namun, perasaan Sam tidak juga berubah. Cintanya masih sama bahkan lebih. Ia tidak ingin menyerah walau tahu masa depan macam apa yang menanti mereka di ujung hari.
Istrinya ini tidak akan sembuh ataupun membaik. Nita hanya akan terus melupakan segala yang ia tahu bahkan melupakan siapa dirinya sendiri. Melupakan segala yang ia tahu dan kenali meski Nita hidup dengan apa yang ia lupakan.
Sam memeluk wanita yang menoleh, terkadang ia merasa takut jika Nita yang sedang menatapnya lurus tak mengenalinya sama sekali meski ia sudah mengatakan siapa dirinya bagi Nita.
"Hai," ucap Sam pada mata Nita yang seolah sedang berpikir.
"Hai," jawab Nita membalik tubuhnya lalu memeluk sang suami yang aromanya ia hirupi.
"Saya sangat suka aroma tubuh kamu, Mas."
Mata Sam berkaca-kaca, istrinya kembali pada awal pernikahan mereka 'saya dan kamu' kembali terdengar meski sikap canggung Nita tak terlihat. Rasanya dalam kedipan mata sikap dan perilaku Nita berubah. Tapi tidak apa, bagi Sam Nita masih wanita yang sama. Nita adalah cinta dalam hidupnya. Dan akan selamanya seperti itu.
Selamanya.
*
"Ha ha ha."
Tawa kegelian memenuhi kamar mandi kecil yang disulap jadi tempat berendam. Bebek karet warna kuning berenang semau tangan mendorong. Cipratan air terarah kemana saja bulir itu ingin terbang lalu jatuh pada ubin basah yang ikut tertawa.
Tawa menggema di dalam kamar mandi yang jadi benar-benar ramai, tidak hanya tawa bocah kecil yang giginya sudah tumbuh dua di bagian bawah tapi juga tawa Nita yang tenang saat tubuhnya di sabuni.
Sam tak perduli dengan pakaiannya yang basah, ia tersenyum dan pura-pura menutup wajah saat putri kecilnya yang sudah bisa berdiri dengan memegangi pinggiran bak menciptakan air hangat.
"Ta ta em tak!"
Celoteh bak bahasa planet yang terdengar riang memenuhi kamar mandi yang bergema.
"Mas?"
"Hmm?"
"Aku bahagia, sungguh bahagia," ucap Nita membuat Sam berhenti menggosok punggungnya, "terimakasih untuk segalanya."
Sam memeluk tubuh Nita, tak perduli tubuhnya yang sudah basah makin kuyup sementara gadis kecil yang berhenti berceloteh tertatih-tatih berjalan memegangi pinggiran bak lalu menjatuhkan tubuh kecilnya pada pelukan sang mama.
"Anak mama. Anak kesayangan mama dan papa," ucap Nita yang matanya berair menatapi gadis kecil yang menatapinya dengan celoteh.
"Mas juga, Dek, kamu dan Nuri adalah kebahagiaan dalam hidup Mas."
"Ta ta! ta ta!"
Seolah ingin bergabung dengan pembicaraan kedua orang tuanya, Nuri ikut berceloteh lalu tersenyum hidung kecilnya dicubit Sam yang meletakkan dagunya pada pundak Nita.

Book Comment (165)

  • avatar
    BalRin

    mantap

    14d

      0
  • avatar
    NasimunNasimun

    yaa

    20/08

      0
  • avatar
    Novia Snaisna

    Mengurass tenagaa

    08/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters