logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

3 MELUPAKAN NAMA ANAK SENDIRI

"Teh kamu, Mas."
Sam menatap gelas teh yang Nita letakkan, dahinya berkerut karena baru beberapa saat lalu Nita membawa masuk gelas tehnya yang kosong.
Ini sudah kali kesekian Nita mengulangi hal yang sama. Tidak hanya teh, bekal ataupun baju ganti. Bahkan, istrinya ini memandikan putri mereka yang baru saja dimandikan.
"Dek?"
"Hm?" jawab Nita mengalihkan pandangannya dari Nuri yang sedang menyusu, "teh kamu kurang manis?"
Sam menggeleng, diraihnya tangan Nita yang duduk di sampingnya, "kalau lelah kamu bilang, Mas, ya? Mas usahakan bantu."
Nita menatap Sam lalu tertawa pelan, "yang lelah itu kamu, Mas, bukan aku. Kamu lembur tiap hari bahkan Mas masuk saat hari libur."
Sam menatap Nita lekat, wajah istrinya ini tak pucat khas orang kelelahan. Bahkan pipi Nita sudah merona, bibirnya tak terlalu kering, kantung di bawah matanya bahkan sudah tak terlihat. Mungkin karena Nuri tak setiap hari bangun di tengah malam lagi dan Nita bisa istirahat lebih banyak.
"Oh, bisa tolong bayarkan uang sewa bulan ini sekalian kamu berangkat, Mas?" Sam mengangguk, "uangnya di tempat biasa."
Sekali lagi Sam mengangguk, ia berdiri masuk ke dalam kamar lalu keluar sambil memasukan uang ke dalam saku.
"Papa berangkat dulu, ya?" Sam menowel pipi Nuri yang makin gembil, bayi berusi 3 bulan itu menatap sang ayah begitu penuh perhatian dan tersenyum melepaskan puting yang sedang ia sesapi lalu tersenyum lebar.
Sam ikut tersenyum, dikecupnya berkali-kali pipi gembil Nuri yang makin terkikik. Nita yang melihat itu pun tersenyum.
"Mas berangkat dulu, Dek," pamit Sam pada sang istri.
"Iya, Mas, hati-hati."
Sam mengangguk, membiarkan tangannya dikecup bibir Nita yang Salim lalu mengantarnya sampai tangga, "da-da, Papa."
Sam melambai tapi langkahnya yang sudah memijak tangga terbawah kembali naik. "Ada yang ketinggalan," ucap Sam memeluk Nita yang kaget tapi tersenyum sedetik kemudian saat keningnya dikecup, "aku berangkat dulu."
Nita mengangguk dengan senyum, sekali lagi ia melambai pada Sam yang turun. "Hari ini kita masak apa buat papa, ya?"
Nuri menatap Nita dengan pandangan bingung seolah ikut berpikir. Mata bulatnya mengawasi senyum Nita begitu lekat lalu menguap. Bayi mungil yang terasa makin berat ini sudah siap kembali menyambut mimpi.
Tok! Tok!
Pintu yang diketuk itu terbuka, menampilkan lelaki paruh baya yang rambutnya klimis dengan belahan tengah juga kacamata bulat yang lensanya tebal.
"Selamat pagi, Mas Sam. Tumben pagi-pagi sudah kemari," sapa si pemilik rumah yang senyumnya ramah.
"Iya, Pak RT, sekalian jalan," jawab Sam mengeluarkan uang dari saku, "saya mau bayar uang sewa."
Lelaki di depannya ini menatap Sam dengan wajah bingung, "kemarin siang mbak Nita sudah bayar, Mas."
Mendengar itu manik Sam membulat, ia jadi diam.
"Apa mbak Nita belum ngomong sama, Mas Sam?" tanya pak RT saat melihat Sam hanya diam.
Sam menatap pria di depannya lagi, meski perasaanya tidak enak ia menunjukan senyum, "sudah, Pak, tapi ini untuk bayar yang bulan depan."
"Oalah, tak kirain Mas lupa lagi seperti mbak Nita."
Sam menatap tawa pria paruh baya di depannya penuh selidik, "Minggu kemarin, tiga kali mbak Nita datang ke rumah untuk bayar uang sewa padahal sudah bayar. Istri saya sampe bilang mbak Nita muda tapi sudah pikun ha ha ha."
Sam bahkan tak bisa tersenyum saat pria di depannya ini tertawa. Setelah menyerahkan uang sewa rumah, Sam langsung pamit.
"Siapa, Pak? Pagi-pagi sudah bertamu?"
"Mas Sam," jawab pak RT.
"Kok, bapak gak bilang aku mas Sam datang?" seru gadis berpakaian minim yang langsung berdiri tak perduli lagi dengan tayangan gosip di TV.
"Memangnya ada perlu apa mas Sam sama kamu?"
"Ya ... ya gak ada, Pak," jawab gadis yang menggigit bibir bawahnya ini lalu mengusap tahi lalat di bawah bibir, ia menatap jendela berharap bisa melihat bayangan Sam.
"Dia sudah punya istri dan anak."
"Memang siapa yang bilang mas Sam masih bujang!" Sungut gadis dengan tahi lalat di bawah bibir itu, kesal. Ia kembali duduk dan mengencangkan volum televisi yang menyuguhkan gosip tak perduli dengan protes sang ayah yang kupingnya berdengung.
Sementara di area parkir rusun, Sam yang sudah menyalakan mesin motor mencabut kunci, hatinya begitu tak tenang. Ia langsung berlari secepatnya. Anak-anak tangga sama sekali tak ia hiraukan dan melangkah makin cepat.
"Dek?" Sam langsung masuk ke dalam rumah yang pintunya lebar terbuka, diedarkan pandangannya dalam ruangan sepi begitupun dapur kecil yang entah sejak kapan sering berantakan saat ia pulang. Piring dan gelas yang masih di tempat cuci piring, potongan sayur yang sudah dibersihkan tapi tak dimasak, ia bahkan pernah menemukan seplastik daging segar dalam tempat sampah.
Sam menatap gelas teh kedua-nya masih ada di meja ruang tamu, padahal Nita adalah wanita yang begitu mencintai kebersihan juga kerapian. Tempat tinggalnya yang kecil tapi nyaman ini selalu bersih tanpa debu. Tapi, entah sejak kapan hal itu berubah.
Sam membuka pintu kamar perlahan, diperhatikannya wanita yang duduk di pojok ruangan dengan pandangan kosong menatapi ranjang dengan Nuri yang lelap tertidur.
Sam menggenggam erat engsel pintu sebelum masuk dan mendekati Nita yang bahkan tak bergerak meski sudah menyadari kehadirannya.
"Dek-"
"Mas, aku- ... aku lupa nama anak kita, Mas. Aku benar-benar lupa nama anak kita."
Sam langsung memeluk Nita yang menangis, wanita yang jadi sering melupakan hal-hal kecil ini menangis sepenuh hati dalam pelukannya.
"Bagaimana- ... bagaimana bisa aku melupakan nama anak kita, Mas? Bagaimana bisa?" tanya Nita berkali-kali dalam isaknya.
Sam hanya bisa merengkuh tubun terisak Nita makin rapat. Matanya yang tergenang air ia biarkan menetes.
Ia bahkan tak bisa mengatakan 'tidak apa-apa' pada Nita yang mendekapnya seperti mencari perlindungan.
Pemuda gagah itu hanya terus mendekap istrinya erat, begitu erat seolah jika ia tak melakukan hal itu ia akan kehilangan Nita, anak yatim piatu yang mampu membuatnya merasakan seperti apa rumah sesungguhnya.
*
Sam mengusap pundak Nita yang matanya sembab. Istrinya ini hanya diam menatapi bayi mereka yang lelap tak perduli pada sekitar. Menyambut mimpi yang entah seperti apa karena bayi berusia 3 bulan itu belum bisa bercerita meski sering kali orang tuanya bertanya.
Bayi mungil yang pipinya masih begitu merah itu hanya akan menjawab dengan tawa, tawa yang mampu memancing tawa lain dari siapapun yang melihat terutama kedua orang tuanya yang masih duduk dalam posisi sama.
"Ayo kita temui dokter, Dek." Nita mendongak, menatapi manik hitam pekat Sam yang selalu bisa memberinya rasa aman, "mereka pasti tahu apa yang terjadi padamu dan bisa mengobatimu."
Nita menoleh pada Nuri yang bergerak dalam tidur, putri mungil mereka masih begitu kecil dan merah. Masih begitu membutuhkan perhatian karena bayi berusia tiga bulan itu belum bisa melakukan segalanya sendiri.
"Ba- bagaimana jika tak ada obatnya, Mas?"
Sam menyentuh dagu Nita, "pasti ada," jawab Sam begitu yakin. Keyakinan yang tak menyisakan celah sedikitpun untuk keraguan. Tidak keraguannya tidak juga keraguan dari Nita yang akhirnya mengangguk. "Aku akan minta izin dulu, setelah itu kita langsung ke rumah sakit."
"Bagaiman dengan, Nuri?"
"Kita titipkan pada mbok Imah kalau beliau tidak sibuk."
Nita mengangguk, ia berdiri lalu membuka lemari untuk mengambil baju ganti sementara Sam menelpon untuk meminta izin.
Setelah mengunci pintu, Sam mengetuk pintu rumah sebelah, wanita paruh baya yang keluar dengan sirih di mulut itu mengangguk dan menerima bayi cantik yang terlalu sering memancing senyumnya dalam kesendirian hidup.
"Hati-hati, di jalan," pesan mbok Imah pada dua pasutri yang tinggal tepat di samping unit rusunnya.
"Iya, mbok, kami titip Nuri," jawab Sam sementara Nita menatapi putri mereka yang memperhatikan begitu lekat seolah bertanya kenapa ia tidak diajak pergi.
Namun, sepasang anak manusia yang menjodohkan diri masing-masing ini hanya bisa tertegun dalam ruang praktek dokter saraf yang menjelaskan kemungkinan penyakit yang Nita derita.
Mulut Sam terasa pahit seketika sementara bahu Nita seolah dijatuhi beban yang bahkan tak bisa ia topang.
"Al- ... alzaimer?"

Book Comment (165)

  • avatar
    BalRin

    mantap

    14d

      0
  • avatar
    NasimunNasimun

    yaa

    20/08

      0
  • avatar
    Novia Snaisna

    Mengurass tenagaa

    08/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters