logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

2. KEBAHGIAAN LAHIR DAN BATIN

Greekk!!
Gerbang tinggi menjulang itu ditutup setelah dua anak manusia yang diusir keluar dari rumah megah yang mungkin tak akan pernah mereka pijaki lagi.
Anak yatim piatu tanpa sanak saudara yang menoleh ke belakang itu, menatap rumah tempatnya bekerja. Mengabdikan dirinya dengan sepenuh hati sampai ia menyerah pada pemuda gagah yang kehidupannya akan berubah setelah hari ini karena pemuda gagah itu sudah memilih dirinya daripada wanita dengan segala pesona yang jelas-jelas menginginkan hati Sam.
Ia percaya, pemuda gagah yang memilihnya menjadi pendamping hidup ini akan membahagiakan dirinya dalam kesusahan apapun. Hanya saja, hati kecilnya tetap menyalahkan diri untuk segala hal yang tak akan lagi dimiliki pemuda gagah yang merangkulnya makin rapat.
'Maaf,' kata yang terlalu melekat dalam diri tak akan pernah sirna. Tapi, ia lebih memilih untuk menjalani kehidupannya mendampingi pemuda gagah yang tak terlihat ragu sama sekali sejak awal.
"Jika suatu hari nanti hatimu berubah, saya tidak akan melarangmu pergi."
Pemuda gagah yang merangkul bahu Nita ini menunduk, dipandanginya wajah ayu tanpa polesan make up yang selalu membuatnya merasa tenang. Ketenangan yang tidak pernah ia rasakan bahkan saat tangan sang ibu mengusap kepalanya dengan kaku.
Sam menoleh ke belakang, menatapi rumah yang sudah ia tempati dengan segala kemewahan juga peraturan tak tertulis yang harus ia jalani.
Rumah megah dengan aksen kayu yang kaku itu tak pernah membuatnya merasa ia 'pulang' seolah rumah itu hanya tempat persinggahan yang bisa ia datangi lalu tinggalkan.
"Nita," panggil Sam pada wanita yang menunduk begitu dalam, tangannya menyentuh dagu anak yatim piatu yang pupilnya bisa ia lihat kini, "kamu tahu, saya akan terus bersamamu bahkan saat kamu muak hidup bersama saya."
Diusapnya lembut pipi merah bekas tangan sang ibu yang akan tampak jelas esok hari, "kamu adalah rumah saya, jika saya tidak kembali padamu kemana lagi saya akan pulang?"
Sam tersenyum saat melihat mata sembab Nita kembali basah, "hidup saya mungkin tak akan mudah lagi setelah ini, tapi saya harap kamu tetap mau bersama saya."
"Ng!" Nita bahkan tak mampu berucap karena suaranya tercekat mendengar ketulusan bertubi-tubi yang Sam katakan. Sejak awal pemuda gagah yang memintanya menjadi pendamping hidup ini tidak pernah ragu ataupun menyesal untuk meninggalkan kehidupan mewah dan serba berkecukupan yang Sam miliki.
Sam tidak pernah meragukan dirinya ataupun perasaan yang ia miliki. Tidak sekalipun. Jadi, tidak ada satu alasan baginya untuk meragukan kehidupan mereka setelah hari ini, 'terimakasih untuk cinta yang kamu berikan pada saya, Mas. Dan mari jalani hidup bersama apapun yang terjadi.'
Dua anak manusia yang terusir itu menatap rumah megah di belakang mereka, sampai Sam mengangguk lalu berjalan beriringan dengan wanita yang akan memberinya banyak cinta dan kebahagiaan sekalipun kehidupannya berubah 180°. Tidak ada keraguan sedikitpun terpancar dari dua punggung yang berjalan menjauh itu, keduanya meninggalkan rumah megah yang tanahnya mungkin benar-benar tidak akan pernah keduanya pijaki dengan asa baru untuk hidup yang sudah mereka pilih lalu jalani.
Kehidupan yang membuat Sam merasa pulang sementara Nita merasa ia tidak lagi sendirian dalam dunia yang terkadang bisa sangat tidak ramah.
*
"Oeee... oeee... oeee...."
Rumah susun tiga lantai itu penuh dengan kehidupan meski hari sudah larut, terutama di salah satu unitnya karena tangis bayi perempuan yang masih berusia 3 Minggu memecah keheningan rumah.
"Cup! Cup! Cup! Anak papa kok nangisnya mbangunin tetangga, ya?"
Wanita yang terbangun itu menatap sang suami, bibirnya tersenyum melihat interaksi Sam dengan putri mereka yang jadi diam memegangi kelingking Sam yang mengajak putri mereka bercengkrama, "cup! cup! pinternya anak papa."
Wanita yang terus mengawasi suami dan putrinya itu bisa melihat mata basah sang putri yang selalu diam setelah melihat wajah Sam, semerengek apapun dirinya.
"Ha ha ha," Sam yang mendengar tawa senang sang putri ikut tersenyum dan menciumi bau harum sang putri yang makin tertawa geli.
Rasanya, rasa lelah setelah lembur langsung hilang apalagi saat ia yang menyadari pergerakan dari kasur, melihat senyum Nita yang mendekat setelah mengambil baju dari lemari.
"Pakai bajumu dulu, Mas."
"Nanti saja, toh, hanya ada kamu dan putri kita," jawab Sam membiarkan rambut basahnya dikeringkan dengan handuk oleh sang istri. Sementara mata bulat bayi kecil dalam gendongannya terus memperhatikan gerakan tangan Nita, tangannya yang mungil dan kecil bahkan meraih-raih udara seolah minta perhatian.
"Apa kamu sudah mau pisah sama Papa, Nuri?"
Seolah mengerti ucapan Lestari, bayi kecil yang tangan kecilnya masih menggapai-gapai udara itu berhenti bergerak lalu menatap Sam. Tak lama tangan kecilnya menyentuh kelingking Sam yang kembali memperdengarkan tawa renyahnya yang tanpa beban.
"Lihat, kan, bayi kita masih ingin kugendong."
Nita hanya mengangguk, "lembur tiap hari, Mas?"
"Iya, dek, malah sampai akhir bulan aku akan terus lembur, kamu dan Nuri tidak kesepian, kan?"
Sreeek!
Sam terkejut saat tangan Nita merengkuhnya, wanita yang sudah satu setengah tahun menjadi istrinya ini tak lagi ragu menunjukan rasa yang ia miliki.
"Aku juga kangen kamu, Dek," ucap Sam membuat Nita mengangguk.
"Aku tahu, yang penting kamu ingat pulang dan istirahat."
Sam tertawa lagi. Pulang kerumah adalah kebahagian yang tidak akan pernah ia tukarkan dengan apapun. Dikecupnya pipi sang istri yang rengkuhannya semakin rapat, istrinya itu bahkan menghirup aroma Sam dalam-dalam. Seolah ingin menyimpan aroma Sam yang sudah begitu hidungnya hafal.
"Aku akan buatkan kamu teh," ucap Nita menowel pipi Nuri dengan senyum.
Bayi berusia tiga Minggu itu terus mengikuti langkah Nita sampai ia menghilang di balik pintu. Jemari kecilnya menggapai-gapai seolah memanggil sang ibu untuk tetap tinggal. "Kamu sama Papa dulu, ya, mama mau bikinin Papa teh sebentar."
Namun, bayi mungil yang mata bulatnya masih menatapi pintu itu baru mengalihkan pandangan pada sang ayah yang menciuminya sampai ia terkikik geli bersama Sam yang tak lagi merasa lelah.
Pemuda gagah yang tampilan kulitnya jadi lebih gelap itu terus mengajak sang putri bermain sampai Nuri menguap begitu lebar. Ujung matanya menatap pintu, sudah hampir satu jam istrinya tak masuk membawa teh. Bahkan, putrinya yang menangis saat ia mandi sudah kembali terlelap meski tak meminum asi.
"Papa lihat mama dulu, ya," pelan dikecupnya bayi yang sudah ia rebahkan di atas kasur tempat mereka bertiga tidur.
"Dek?" Dipanggilnya Nita yang diam menatapi kompor tali tidak ada jawaban.
"Dek."
Nita terlonjak saat bahunya disentuh, ia langsung menatap Sam dengan pandangan bingung, "apa gasnya habis, Dek?"
Nita masih diam menatap kompor juga panci kecil yang ia pegang. Tangannya mengerat memegangi gagang panci sementara sentuhan tangan Sam yang kini telapaknya kasar namun lembut membuat pupil matanya bergerak gelisah.
"Dek? Kamu kenapa?" tanya Sam karena tak menerima tanggapan apapun dari sang istri.
"Tid- ... tidak apa-apa, Mas," jawab Nita pada akhirnya dan semakin mengeratkan pegangan pada gagang panci.
Ia terkejut saat Sam merengkuh pinggangnya tiba-tiba, "kalau gasnya habis tidak usah buat teh, Dek, aku minum kamu saja."
Nita memukul tangan Sam yang nakal, lalu tersenyum, "kamu lelah dan butuh istirahat, Mas."
"Tapi, aku mau kamu sebelum istirahat."
Mata Nita membesar saat Sam mengangkatnya tanpa permisi. Mata mereka bertemu. Tanpa kata, ucapan cinta keduanya tersampaikan. Pandangan mereka pun masih sama seperti dulu hanya tidak ada lagi rasa canggung dan sungkan yang hadir.
"Letakkan panci itu dan biarkan aku memelukmu, Nita."
Nita mengangguk, ia meletakkan panci di atas kompor yang ia pandangi dan membiarkan Sam membawanya masuk ke dalam kamar lain yang pintunya ditutup rapat.
Peluh dan ucapan cinta yang terdengar mereda saat Sam tidur dengan melingkarkan tangannya pada tubuh Nita. Wajah Sam terlihat begitu damai begitupun nafasnya yang terdengar teratur.
Nita menatap telapak tangan Sam yang ia sentuh, telapak halus Sam mengeras karena pekerjaan berat yang suaminya jalani. Namun, pria gagah yang menikahinya ini tidak pernah mengeluh, tidak sekalipun.
Sam sungguh membahagiakannya lahir dan batin, "aku cinta kamu, Mas, sungguh."
Disentuhnya wajah damai Sam yang lelap, tak ada lagi gurat-gurat tuan muda dalam wajah tampan yang kulitnya makin menggelap, "terimakasih sudah memilihku."
Nita bangun setelah mengecup pipi Sam, ia keluar dengan memakai daster yang ia ambil dari atas ubin. Dihampirinya kompor dengan panci kosong di atasnya. tangannya terjulur.
Klek!
Api menyala seketika, sementara Nita termangu dalam bisu menatapi nyala kompor yang gasnya tidak habis.
Saat kepalanya menatap dua pintu yang rapat tertutup, matanya tergenang air. Rasanya ia bisa melihat suami dan putrinya yang lelap tertidur menyambut mimpi.
"Mas...," ragu ia berucap, "aku benar-benar lupa apa yang ingin aku lakukan sampai kamu datang. Apa- ... apa yang terjadi pada ingatanku, Mas?"
Seketika, perasaan takut menghampiri seluruh diri Nita yang jadi diam menatapi pintu. Tawa Nuri dan Sam menari-nari dalam benaknya yang semakin merasa takut.

Book Comment (165)

  • avatar
    BalRin

    mantap

    14d

      0
  • avatar
    NasimunNasimun

    yaa

    20/08

      0
  • avatar
    Novia Snaisna

    Mengurass tenagaa

    08/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters