logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

HAI, PAPA! I AM OK

HAI, PAPA! I AM OK

nur juwariyah


1. TERUSIRNYA PUTRA KEBANGGAN

BISAKAH SEORANG ANAK HIDUP DENGAN HANYA MENGINGAT SIAPA AYAH DAN IBUNYA? JIKA IYA MUNGKIN ANAK INI SALAH SATUNYA.
PEMBUKAAN.
"Mulai hari ini, kau bukan anakku. Jangan pernah menginjakan kakimu di hadapanku jika kau masih membawa wanita sialan ini."
Ucapan sepenuh hati itu terdengar penuh titah yang tak ingin dibantah. Sementara pemuda gagah yang tampaknya sudah bisa menebak ucapan sang ibu menyentuh pundak wanita yang baru ia nikahi.
"Bangunlah."
"Tapi-" ucap wanita muda yang matanya sudah sembab dipenuhi penyesalan, ia menutup rapat mulutnya saat sang suami yang baru dua jam lalu menikahinya menggeleng.
Dua anak manusia itu tahu, sadar, mengerti. Apapun yang akan mereka ucapkan ataupun lakukan hanya akan menjadi angin lalu tanpa bekas kecuali menambah kemurkaan wanita angkuh yang mengangkat dagunya begitu tinggi.
Darah ningrat yang mengalir dalam nadi wanita angkuh itu sama sekali tak mengizinkan dirinya memberi restu untuk kebahagian sang putra sulung. Pemuda gagah yang sudah menetapkan hati dan menjatuhkan hatinya pada anak yatim piatu yang bekerja di dalam kediaman keluarganya ini.
Wanita muda yang begitu menyesal karena ia juga menyerahkan hatinya pada tuan muda kebanggan keluarga ningrat yang digadang-gadang akan menjadi penerus garis keturunan wanita angkuh yang bahkan tak mau ia sentuh kakinya sebagai ucapan maaf dan meminta restu.
"Ibu, terimakasih sudah membesarkan ku dengan cinta dan didikan yang membuatku bisa memilih jalanku sendiri. Maaf, karena aku tak bisa menjadi seperti yang ibu harapkan."
Manik wanita ningrat yang hitam pekat itu tergenang mendengar ucapan sang putra sulung. Apa hatinya tersentuh? Tidak ada yang tahu. Namun, tangannya yang memegang kipas menggenggam begitu erat sampai buku-buku jarinya yang terawat memutih bak kertas tanpa garis atupun warna.
"Aku akan bertanya padamu sekali lagi, Sam. Apa kau siap dengan segala resiko yang akan kau tanggung jika kau tetap memilih ... wanita ini?"
Bahkan menyebut nama anak yatim piatu yang bekerja di rumahnya ini, ia begitu enggan. Seolah wanita muda yang kastanya jauh di bawahnya itu begitu hina dan menjijikan hanya karena ia memiliki rasa untuk putra yang sudah ia persiapkan sejak dalam kandungan untuk mewarisi segala yang ia miliki.
Tapi, semua harapan yang sudah ia bangun sejak 25 tahun itu sirna berkat anak yatim piatu yang bahkan tak memiliki siapapun atau memiliki apapun kecuali badannya sendiri.
Krak!
Bunyi batang kipas yang patah membuat dua pasang anak manusia yang seharusnya tidak bersatu apalagi menikah ini, menatap tangan wanita ningrat yang wajahnya tak berubah meski darah mengalir.
"Ibu-"
"Jangan menyentuhku jika kau tetap pada pendirianmu, Sam."
Peringatan itu membuat tangan sang pemuda gagah diam di udara, wajahnya mendung tanpa tanya ataupun bantahan lalu berucap, "maafkan aku, Ibu."
Pupil wanita ningrat itu membesar, giginya yang mengatup rapat bergetar, garis wajahnya yang sudah kaku mengeras dan tangannya tinggi terangkat lalu-
Plakk!!
Tamparan terdengar memenuhi ruangan yang didominasi kayu Cendana dan jati. Begitu kaku. Sekaku wanita ningrat yang tak perduli tangan terlukanya berkedut dan panas setelah menampar wanita muda yang ia beri tatapan tajam bak belati bermata dua.
"Ibu!"
Pemuda gagah yang suaranya meninggi itu berhenti berucap saat tangan sang istri menyentuh lengannya. Lengan kekar yang memeluk tubuh terjungkal si anak yatim piatu yang membiarkan pipi kanannya berkedut pilu.
"AKU TIDAK MEMBESARKAN ANAKKU UNTUK JADI SUAMI WANITA RENDAHAN SEPERTIMU!"
Teriakan itu menggema memenuhi ruangan luas yang kaku dan semakin beku tanpa suara. Sementara kipas yang pasrah dijadikan penunjuk, menuding wajah anak yatim piatu yang masih menahan lengan sang suami, memohon tanpa kata.
"AKU SUDAH MENGGARISKAN KEHIDUPAN YANG PALING LAYAK UNTUK PUTRAKU JALANI DAN KAU-"
Ujung kipas yang masih menuding itu bergerak makin tajam. Menunjuk batang hidung anak yatim piatu yang hanya bisa pasrah karena ia memang pantas mendapat amukan.
"-KAU MENGHANCURKAN KEHIDUPAN ANAKKU DENGAN MENJADI ISTRINYA! SUNGGUH BINATANG TAK TAHU DIRI!"
Ah, bahkan wanita ningrat itu tak lagi menyebut anak yatim piatu yang sudah merasa kerdil ini 'wanita ini'.
"Ibu, Nita istriku. Aku yang memilihnya, berkali-kali ia menolak ku, berkali-kali ia mengingatkanku akan murkamu, berkali-kali ia mengatakan siapa aku dan siapa dirinya, berkali-kali ia mengecilkan diri tanpa menyadari ia jauh lebih mulia dari kita."
"Omong kosong!" seru wanita ningrat itu menatap sang putra kebanggan. Putra kebanggan yang mencorengkan kotoran dan noda dalam kesempurnaan yang sudah ia susun bahkan sebelum sang putra hidup dalam rahimnya. "Mulia? Kau sebut binatang rendahan ini mulia?" cecar Ningrum pada sang putra kebanggan sementara ujung kipasnya yang patah masih terus menunjuki wajah anak yatim piatu yang memegangi lengan Sam, berharap amarah apapun yang sedang suaminya rasakan mereda, berkurang, bahkan hilang!
"Apa yang ia lakukan padamu sampai matamu buta, anakku? APA YANG IA LAKUKAN PADAMU!?" teriak Ningrum lagi, matanya begitu berharap putranya menjawab tanya yang tidak bisa ia mengerti ataupun pahami.
"Karena Nita menolakku, Ibu."
Wanita ningrat yang urat-uratnya sudah menonjol keluar itu jadi diam menatapi sang putra sulung. Pemuda gagah yang tak akan pernah mundur saat sudah menetapkan hatinya, tekadnya, niatnya.
Wanita ningrat itu sadar, bicara seperti apapun dirinya, ia tak akan pernah bisa mengubah apa yang sudah diputuskan putra sulungnya ini. Tidak akan ada seorang manusia pun yang bisa membuat putra kebanggannya ini menyerah. TIDAK SEORANG PUN! dan kipas patah yang sejak tadi terus menunjuk tajam anak yatim piatu yang masih duduk tersungkur di hadapannya itu turun perlahan dengan kalah.
"Mulai hari ini," Ningrum berucap dengan dingin, menolak untuk menatap putra kebanggannya yang memilih jalan lain. Bukan jalan yang sudah ia siapkan sejak Sam masih belum tercipta dalam rahimnya.
"Jangan pernah memanggilku Ibu. Aku tidak pernah melahirkan putra bodoh sepertimu." Suara Ningrum bergetar menahan emosi juga kekecewaan, "pergi dan jangan pernah menginjakkan kakimu di tanah aku memijak."
"Nyonya ...,"
"Dan kau!" Begitu tajam tatapannya yang dingin itu melihat Nita, "jangan pernah berharap aku akan memaafkanmu. Aku tidak akan pernah memaafkanmu dan keturunanmu."
"Keturunan Nita juga anakku, Ibu. Ku harap jika kekecewaan ibu sudah berkurang, Ibu bisa menerima keputusanku."
Wanita ningrat yang tangannya disentuh sang putra ini tak bergeming, bahkan saat punggung tangannya dicium. "Terimakasih karena sudah melahirkanku, Ibu. Sungguh-sungguh terimakasih."
Tak menjawab apapun, wanita ningrat yang matanya tergenang, mengangkat dagunya tinggi. Tak ingin memperlihatkan desiran nyata yang ia rasakan. Bahkan, ia sama sekali tak mau menatap punggung sang putra sulung kebanggaan yang akhirnya keluar dari rumah dengan memeluk pundak anak yatim piatu yang tak akan pernah ia maafkan.
Tidak akan pernah sekalipun ajal menjemput!
"Wow, kau lihat itu? Bahkan amarah dan ancaman ibu sama sekali tak membuat tunanganmu mundur," ucap pria dengan lesung pipi sebelah mengecup pundak wanita yang matanya sembab.
Wanita tinggi semampai yang tampilannya begitu kacau itu hanya bisa melihat punggung lelaki pujaan hati. Lelaki yang berjalan keluar memeluk wanita rendahan yang kepolosannya mampu meluluhkan hati putra sulung dari keluarga yang kediamannya sedang ia singgahi tanpa sepengetahuan sang pemilik rumah, wanita keturunan ningrat yang hanya diam membekukan apapun di sekitarnya setelah apa yang ia ucapkan.
"Sam." Begitu lirih dipanggilnya lelaki gagah yang tidak akan pernah mendengar.
"Lupakan lelaki yang sudah jatuh cinta itu, dan berikan tubuhmu padaku."
Wanita tinggi semampai yang membiarkan tubuhnya ditarik masuk kembali ke dalam kamar itu hanya diam, airmatanya menetes saat buah dadanya disentuh bersama jatuhnya selimut yang menutupi badan indahnya yang sudah dipenuhi bekas gigi dan bibir.
"Sam," ucapnya yang kembali mendesah saat pintu kamar tertutup lalu dikunci.
"Kemarilah."
Tanpa melawan, ia membiarkan tubuh indahnya dibawa mendekati jendela oleh adik sang pria pujaan. Anak bungsu dari wanita ningrat yang amarahnya tidak memiliki pengaruh apapun.
Permukaan kaca yang keras dan dingin tak mampu meredam rasa hatinya yang hancur karena pujaan hati yang sudah dipastikan jadi jodoh hidupnya lebih memilih pergi dengan pembantu yang bekerja di rumah yang sedang ia singgahi, wanita yatim piatu, wanita rendahan, wanita tak tahu diri tanpa sanak saudara!
Wanita yatim piatu itu sama sekali tak sepadan dengan dirinya. Tapi, kenapa sang pujaan hati lebih memilih wanita itu dari pada dirinya yang lebih baik dari sisi manapun?
'Apa kau sudah buta meski matamu melihat, Sam?' Pertanyaan sama yang terus berulang dalam benak dan hati itu, membuatnya menangis dalam desahan panjang yang terus terdengar dalam kamar temaram yang kedap suara. Dinding tebal hanya memantulkan suaranya yang kadang menuntut dengan mata terpejam di antara hujaman tanpa henti dan kesakitan hati yang mungkin tak akan pernah terobati.
Sementara lelaki dengan lesung pipi sebelah yang terus menyentuhnya tanpa henti, menatapi gerbang yang tertutup dari jendela kamarnya yang dipenuhi suara luka dalam desahan panjang juga isak. Ditatapnya sang kakak yang keluar dengan berjalan kaki bersama wanita polos yang punggungnya saja mampu membuat jemarinya terkepal kuat. Pupil matanya yang menatap punggung Nita memancarkan banyak kata dan tidak ingin beralih pada hal lain.
Sang putra bungsu itu hanya terus menatap punggung salah satu pekerja rumahnya yang menjauh dengan tubuh yang direngkus Sam. Ia Tidak perduli pada hujaman kuku wanita yang hati dan rasanya sedang hancur dalam pelukan.

Book Comment (165)

  • avatar
    BalRin

    mantap

    14d

      0
  • avatar
    NasimunNasimun

    yaa

    20/08

      0
  • avatar
    Novia Snaisna

    Mengurass tenagaa

    08/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters