logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Zumar Wiyaksa

Dilarang pindah, tetapi Viskha berisi keras untuk tetap pergi. Talita pun menyerah, dia membantu sahabatnya itu mencari kediaman sementara.
“Lebih baik di hotel, deh, Vi. Masa iya kamu tinggal di kontrakan kayak gini,” katanya saat mereka tiba di suatu rumah susun kelas menengah.
Viskha lekas membantah. “Enggak papa, Vi. Lagi pula aku Cuma sementara, sebentar ini. Sayang uang buat nyewa hotel sampe seminggu gitu.”
Mereka berjalan menyusuri koridor lantai tiga menuju nomor flat yang akan disewa Viskha. Pemandangan kota yang padat dan kurang nyaman tampak jelas dari sini. Sesekali Talita dan Viskha melihat ke bawah, banyak sekali penghuni rusun yang duduk-duduk dan tengah bergosip di sore hari begini.
“Duh, lingkungannya gini banget.” Talita terus saja menggerutu, seolah dirinyalah yang akan tinggal di sana. Membayangkannya saja dia enggan.
Viskha terus melihat-lihat nomor pintu, hingga nomor yang juga tertera di kunci yang dibasanya ditemukan. Kemarin, dia telah memberikan uang sewa untuk seminggu ke depan kepada pengelola. Rusun ini memang berbeda dari yang lain, menyediakan beberapa flat khusus untuk penyewa sementara yang dihitung harian. Viskha bersyukur mendapat informasi itu dari internet.
Dia membuka kunci, lantas masuk. Suasana ruangan dengan cat usang dan perabotan yang terlihat sudah lama tak diganti menyambutnya. Lagi, Talita menggerutu. Namun, Viskha mengabaikannya. Dia malah mengempaskan tas punggung besarnya ke kursi berbahan kulit warna tan---yang sudah menjorok ke dalam busa bagian tempat duduknya.
Sementara Talita sama sekali enggan duduk di sana. Viskha buru-buru memeriksa kamar. Dia cukup senang mendapati kasur dan dipannya tidak separah kursi di ruang tamu. Dapurnya juga cukup rapi dan bersih meski peralatannya telah ketinggalan zaman. Selama masih bisa digunakan tak masalah baginya.
“Vi? Kok lama, sih?” Talita berteriak dari ruang tamu seraya melihat dengan sorot netra kurang nyaman ke sekeliling ruangan.
“Iya, Ta!” Viskha pun kembali sambil membawa air galon dalam gelas, flat ini memang belum lama ditinggalkan penghuninya. Begitu keterangan dari pengelola rusun yang didapatnya kemarin.
“Ini,” katanya sambil meletakkan di meja.
Talita malah melirik arlojinya. “Sori, ya, Vi. Aku enggak bisa lama. Btw ada janji sama do’i.” Alisnya naik.
Viskha geleng-geleng. Meski dia tahu Talita tidak terbiasa berada di ruangan sempit seperti itu. Bila makan di pinggir jalan, memang dia nyaman-nyaman saja. Namun, urusan tempat tinggal berlainan.
“Yaudah, hati-hati, ya. Btw makasih banyak udah nganter aku.” Dia meraih bahu sahabatnya setelah bangkit, lantas memeluknya.
Viskha pun menyambutnya, lantas melepaskan. Pamit dan melambai keluar. Diikuti Viskha hingga gadis itu hilang di tikungan tangga.
Viskha kembali ke flatnya, lantas membereskan baju-bajunya. Sejenak menengadah, meski sudah lebih baik. Wajah pucatnya tak bisa disembunyikan apalagi tanpa sapuan makeup sedikit pun. Di bangkit mengambil minum, ingat perkataan Talita saat dia sakit. Mesti banyak minum dan menjaga asupan makanan.
Kendati demikian, hal tersebut tidak dikabarkan Viskha kepada Zumar. Dia tak mau membuat pria itu menjadi khawatir. Bahkan kepergiannya dari rumah yang menciptakan keributan pun disembunyikan. Segala yang terjadi terhadapnya akhir-akhir ini hanya diceritakan kepada Talita saja. Semua demi harapan, janji, dan masa depan yang telah dirancangnya bersama pria yang sangat Dicintainya.
Zumar Wiyaksa, pria yang telah mengisi hati Viskha bertahun-tahun lamanya. Dia tersenyum tatkala mengingat pria itu, membayangkan segala hal yang digadang-gadangkan selama ini akan segera mewujud. Tinggal sebentar lagi, dan dia sangat menantikannya. Meski mungkin akan rumit pada awalnya, entah seperti apa respons pria itu saat mengetahui segalanya. Akan tetapi, itu tak akan menyurutkan semangat dan tekadnya.
-¤¤¤-
Hari berganti tanpa terasa, hingga seminggu telah berlalu. Betapa bahagianya Viskha tatkala telepon dari nomor Zumar tiba. Dia telah memberitahukan pria itu nomor barunya ketika baru membeli.
“Halo, selamat pagi, Zumar!” Suara Viskha penuh semangat, tetapi suara Zumar terdengar lesu.
“Pagi, Viskha!”
Viskha mengernyit sejenak, mengingat prianya tidak memanggil dengan sebutan ‘Viskhaku’ seperti biasanya.
“Kamu baik-baik aja, kan?”
Cukup lama hening hingga Viskha kembali mengulang.
“Zum? Kamu masih di sana?”
“Iya.” Zumar masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Ada apa? Kamu udah nyampe bandara? Harusnya hari ini udah sampe ibu kota, kan?”
Hening lagi, Zumar menimbang sesuatu hingga pelan-pelan menjelaskan.
“Aku udah sampe rumah, Vi. Maksudku rumah tanteku.”
Viskha mengernyit. “Loh, bukannya seharusnya-”
“Aku mempercepat jadwal penerbangan sehari dari sebelumnya.”
“Tapi kenapa kamu enggak ngabarin aku pas baru sampe di bandara? Padahal aku, kan, udah bilang aku sengaja dateng ke ibu kota dan nginep di tempat Talita buat bisa jemput kamu. Sekarang gimana, coba?” Kesal, sangat-sangat kesal. Viskha merasa Zumar tidak memedulikan perasaannya.
“Enggak enak, sampenya malem-malem. Aku langsung otw rumah sodara.”
Entah mengapa Viskha merasa itu hanya alasan Zumar. Dia kenal betul kekasihnya itu, ini sama sekali bukan sifatnya. Bila tidak meminta dijemput pun, minimal akan mengabari meski lewat chat. Dia menghela napas, menetralkan perasaannya sebelum kembali meneruskan. Berusaha berpikir positif dan mengabaikan bersitan praduga janggal yang mengontaminasi hati.
“Yaudah, sekarang aku ke rumah tante kamu, ya.”
“Jangan!” Zumar menyambar dengan suara terdengar seolag-olah membentak. Hingga Viskha menjauhkan gawai dari telinga.
“Loh, kenapa? Kamu aneh banget tahu, Zum. Aku sampe enggak ngerti sama tingkahmu ini.”
“Aku-aku cuma-”
“Cuma apa?” Nada suara Viskha berubah menajam dan naik satu oktaf.
“Kita ketemu di tempat biasa aja, oke!”
Viskha kesal bukan main, tetapi enggan merumitkan keadaan. Sekali lagi mengabaikan segala kejanggalan.
“Yaudah, jam sembilan, jangan telat!” Viskha menutup sambungan telepon. Dia merenungi penyebab tingkah kekasihnya yang terasa aneh itu. Hingga sebersit praduga muncul, gagasan itu pun tiba begitu saja di kepala.
“Mungkin aja, kan ....” Viskha tidak tahu pasti, tetapi segala kemungkinan bisa saja terjadi. Dia berusaha mengikuti arus dari air yang dialirkan Zumar dalam sungai bernama rahasia tak tidak diketahuinya.
Sementara di sisi lain, nun terpisah jarak dan ruang. Di rumah adik kandung sang ibu, Zumar tengah mondar-mandir di kamar tamu. Memikirkan bagaimana cara dia menghadapi kekasihnya, memulai percakapan, dan memberitahukan segalanya. Diliriknya jam dinding sesekali, jarum panjang terus bergerak seiring detak yang terdengar nyaring saking sepinya rumah itu. Sementara pemilik rumah tengah pergi keluar. Tinggallah Zumar sendirian dikuasai kegusaran.
Hingga suatu keyakinan tercetus.
“Ya, hanya itu. Hanya cara itu yang bisa menjelaskan semuanya dengan efisien.”
Zumar memilih segera mengganti pakaian dan melesat menuju tempat tujuan. Sengaja mempercepat keberangkatan sejam sebelum waktu yang disepakati. Sebab ada sesuatu yang mesti diurus dulu di suatu tempat.
-¤¤¤-

Book Comment (72)

  • avatar
    Mass Bondoll

    50.000

    13d

      0
  • avatar
    FridayantiSiska

    kak ini cerita nya sudah tamat ya

    11/08

      0
  • avatar
    SrAndrian

    biyasasaja

    11/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters