logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Tiba di Ibu Kota

Guntoro menyorotkan tatapan penuh kesangsian.
“Rencana?”
Hisyam mengangguk mantap. “Saya yakin ini akan berhasil dan bisa membalikkan keadaan. Sekali dayung dua pulau terlampaui. Satu berita rekayasa kita sebar, nama baik dua keluarga terselamatkan, Viskha pun akan kembali.”
Guntoro malah tertawa kencang yang syarat dengan sindiran.
“Kelihatannya Anda sangat percaya diri. Kita lihat hasilnya nanti. Tapi jangan harap saya akan menjanjikan sesuatu untuk sesuatu yang tak pasti begitu.”
Nyonya besar Kertajaya turut bicara. “Rencana yang sudah pasti saja bisa berubah sekejap mata karena ulah keluarga mereka, apalagi ini yang hanya bertaruh pada spekulasi belaka! Jangan percaya, Pi. Mereka cuma beralibi dan mengulur waktu!”
Guntoro menyentuh lengan istrinya yang terus berjalan maju ke arah Hisyam dengan netra berkilat marah. Dia menyorotkan tatapan untuk tenang kepada istrinya.
“Tapi, Pi-” Wanita berpakaian glamor itu melayangkan pandangan protes.
“Papi tahu yang harus dilakukan.” Dingin, Guntoro mengucapkannya penuh tekanan.
Dia maju selangkah setelah istrinya menggeser posisi berdiri.
“Baik! Saya akan lihat dulu hasilnya. Tapi, jika dalam seminggu enggak ada hasil. Kalian akan terima akibatnya!” Pria itu melipat tangan depan dada dengan tatapan penuh ancaman.
Mardhan gentar, dia khawatir dengan rencana yang diusulkan sang anak malah menambah rumit keadaan. Parahnya menimbulkan masalah baru.
Sementara Hisyam yang sangat percaya diri. Dia mengabaikan segala tekanan yang tidak diutarakan secara langsung. Meski merasakan, tetapi lebih kuat mempertahankan gagasan yang dicetuskan.
“Kami sepakat!”
Guntoro dan istrinya berbalik pergi, bahkan tanpa mengucapkan kata perpisahan maupun sopan santun seperti biasanya.
“Syam, apa kamu enggak mikir gimana akibatnya nanti? Mereka bukan keluarga sembarangan, Nak. Ayah-”
“Tenang, Yah. Hisyam yakin, inilah satu-satunya cara untuk menyelamatkan semuanya. Ayah hanya perlu mendukung Hisyam dan kasih sokongan material. Itu aja. Selebihnya Hisyam yang bakal bertindak.”
Kendati masih diselimuti keraguan, Mardhan berusaha memberikan sedikit kepercayaan. Barangkali memang gagasan jiwa muda anaknya akan berguna menjelma penolong dalam situasi pelik ini.
“Lakukan sebaik mungkin. Semoga berhasil dan bisa memperbaiki semuanya. Ayah sangat mengandalkanmu, Nak.”
Hisyam mengangguk yakin, lantas berjalan ke kamar setelah berpamitan kepada sang ayah.
-¤¤¤-
Jam tiga pagi, Viskha baru tiba di terminal kota tujuan yang lengang nan dingin. Gelap yang diterangi lampu-lampu silau, dia turun dari bus dan menyusuri koridor menuju musala. Dihempaskannya badan yang pegal tak terkira, lantas berbaring menggunakan tas sebagai alas kepala.
Dia menengadah menatap langit-langit tempat ibadah itu, kemudian mengambil gawainya. Mengirim pesan kepada Talita untuk mengabari kedatangannya dan meminta alamat kediaman sang sahabat. Setelahnya, memasukkan benda pipih itu ke saku jaketnya. Dia terpejam hingga terlelap begitu saja saking penatnya.
Dua jam lebih kemudian, dering gawai membangunkan dari tidurnya. Viskha mengucek mata, meraba-raba saku jaket untuk mengambil benda itu. Segera menempelkan ke telinga tanpa melihat nama si penelepon. Dia menguap sebelum menjawab. Suara yang familier baginya seketika menerjang telinga.
“Kamu beneran udah di terminal? Ya ampun, aku seneng banget, Vikachu! Aku segera kirim alamatnya via chat, oke! Btw kok tiba-tiba, sih?” Talita berbicara tanpa rem dengan keras membuat Viskha menjauhkan gawai dari telinga.
“Thanks, ya. Soal itu nanti aku ceritain kalo udah nyampe, ya.” Suara serak khas bangun tidur dan lelah Viskha terdengar.
“Oke, siap-siap. Kamu pasti lelah banget, ya. Oya, btw aku hari ini ngantor. Nanti ku tambahin informasi letak apartemen beserta sandi pintunya, oke.”
“Sekali lagi makasih banyak, ya.”
“Ish, kamu ini. Jangan gitu, lah. Kayak sama siapa aja. Bosen aku denger ucapan monoton itu. Btw, em .... aku mau siap-siap dulu, oke. Bye, bye. Hati-hati di jalan!” Diakhiri kecupan jauh yang terkesan lebai, tetapi Viskha memakluminya. Talita memang begitu dari dulu.
Telepon pun terputus, Viskha meregangkan tangan dan badan sejenak. Menyimpan gawai ke tempat semula, lantas ke kamar mandi umum. Dia membersihkan diri dan mengambil wudu, lantas melaksanakan kewajiban dua rakaatnya. Setelah usai, barulah menggendong kembali tas dan keluar dari terminal.
Dia berjalan menyusuri jalan, menatap langit yang mulai agak terang seiring mentari yang mulai menampakkan diri. Hingga tiba di warteg sekitar sana, lantas membeli makanan untuk sarapan. Meski terlahir dari keluarga berada, hal itu tidak membuat Viskha gengsi makan di warung pinggir jalan. Bahkan sejak kuliah dulu kerap menjajaki jajanan jalanan yang baginya lebih sedap dicecap ketimbang makanan di restoran mewah yang selalu dikunjungi keluarganya. Hal itu disadarinya sejak mengenal Zumar, pria yang membuatnya jatuh cinta karena kesederhanaan dan tingkah lakunya. Mengingat pria itu, secara otomatis kenangan mereka semasa awal-awal menjalani kisah-kasih pun terbayang.
“Kamu berbeda, dan aku suka,” katanya suatu kali saat Zumar mengajaknya menikmati ketoprak di sekitar kampus untuk kali pertama.
Zumar membalasnya dengan usapan manja di kepala Viskha.
Senyuman terbit di wajah Viskha seiring suara ibu pemilik warteg yang menariknya kembali ke masa sekarang.
“Mbaknya ngelamun?” tanya si ibu warung yang ke sekian kalinya.
“Eh, aduh maaf, Bu.” Viskha gelagapan menyadari kealfaannya. “Ibu tadi bilang apa?” Dia menggaruk belakang kepala yang tak gatal.
“Saya cuma mau kasih teh angetnya. Si mbaknya dari tadi saya liatin senyum-senyum sendiri.” Si ibu mengulum senyum.
Viskha makin jengah sendiri karena tingkahnya.
Ya, Tuhan semoga ibu itu tidak menganggapku kurang waras.
“Oh, iya. Makasih, Bu. Lupakan, Cuma teringat kejadian lucu, Bu.” Dia lekas meneguk teh hangat itu.
“Sama-sama, Mbak. Pantesan aja, yaudah saya pamit kembali melayani pembeli lain, ya, Mbaknya.”
“Eh, tunggu, Bu!” Viskha mencegah sambil merogoh saku jaket sebelah kanan. “Ini uangnya.” Dia memberikan pembayaran selembar berwarna biru.
“Saya ambil dulu kembalian, ya, Mbaknya.” Dia berlalu setelah mengangguk kepada Viskha.
Tak lama kemudian, ibu itu menghampiri Viskha lagi seraya menyerahkan kembalian.
“Terima kasih, ya, sudah makan diwarung ibu, Nak.”
“Sama-sama, Bu. Nasi ramesnya enak.” Viskha memasukkan uang ke saku sambil tersenyum, dia pamit seraya berjalan.
“Wah, Mbaknya bisa aja. Silakan, Mbak!”
Viskha pun keluar dari sana bersamaan dengan pemilik warung yang kembali ke dekat etalase makanan.
Gadis berpakaian sporty itu berjalan ke tempat taksi berjajar, dia menyebutkan alamat apartemen Talita kepada seorang sopir. Masuk setelah sang sopir mengangguk dan mempersilakannya.
“Sudah, Mbak?” tanya sang sopir ketika penumpangnya telah duduk di jok belakang.
Viskha mengangguk setelah mengenakan sabuk pengaman. Selanjutnya, taksi pun melaju dengan kecepatan sedang.
“Sudah sampe, Mbak,” kata sopir ketika taksi tiba depan sebuah gedung bertingkat nan mewah. Viskha menatap sekilas bangunan itu, lantas turun usai memberikan ongkosnya.
“Terima kasih, ya, Pak.” Dia mengangguk melalui kaca taksi depan yang terbuka.
“Sama-sama, Mbak.” Sopir itu mengangguk, lantas lekas memarkir taksinya dan melajukan kembali.
Viskha berjalan masuk setelah disapa sang satpam, lantas naik menggunakan lift hingga tiba di lantai tempat apartemen Talita berada. Berjalan menyusuri koridor sampai menemukan nomor yang tertera di chat dari sahabatnya itu. Dia menatap tombol-tombol di depannya, melirik layar gawai dan mengetikkan sandi yang tertera.
Pintu pun terbuka, dia masuk ke ruangan berfurnitur modern dan minimalis itu. Mengedarkan pandangan setelah pintu tertutup. Bagian ruang tamu yang terlihat cukup rapi meski tidak terlalu. Beberapa majalah terbuka dan bekas kaleng minuman masih bertengger di meja begitu saja.
“Khas gaya Talita,” gumamnya seraya menutup majalah-majalah itu, lantas mengambil kaleng bekas dan membuangnya ke tempat sampah. “Ya ampun, aku lupa ngabarin orang baik ini.” Segera merogoh saku dan mengambil gawainya. Dia mengetikkan pesan.
Viskha: Aku udh nyampe, Ta.
Tanpa menunggu lama balasan pun datang.
Talita: Yuhu, slmt dtg di ibu kta. Slmt dtg jg di apartemenku, yg .... saaangat-saaangat rapi itu! 😅😁 ✌ Btw, kalo lpr tinggal msk mknan aja, ya. Kamu jago msk, kan, tuh. Bhn2nya ada di kulkas, oke. Anggap aja rumah sendiri. See you my beloved bestfriend, Vikachu.”
Viskha geleng-geleng membaca isi pesan itu. Sungguh, sahabatnya itu tidak berubah dari dulu. Dia meletakkan gawai di meja. Melepas tas dan meletakkan di sofa. Dia lekas berjalan menuju dapur yang tampak sama berantakannya.
“Ya Tuhan ....” Dia tersenyum segera mencuci piring dan membereskannya. Lanjut menyapu dan mengepelnya. Meski lelah dan belum cukup tidur, dia mawas diri akan tinggal menumpang meski sementara.
Setelah selesai dan puas dengan pekerjaannya, Viskha berjalan ke kulkas. Mencari minuman untuk meredakan dahaga. Baru saja akan membukanya, melihat sepucuk surat tergeletak di atasnya. Di sana tertulis ‘Teruntuk sahabatku, Viskha Vikachu! Vikachu, panggilan khas Talita kepada Viskha. Gadis itu pun mengambilnya, lantas membuka lipatan. Tepat saat hendak membacanya, bel apartemen milik sahabatnya terdengar. Buru-buru melangkah ke arah sumber suara, lantas membukanya.
“Kejutan!” teriak pria di depan pintu setelah terbuka. Dia menampakkan wajah terkejut seiring senyum yang menyusut.
Sama herannya seperti Viskha yang kini mengerutkan dahi dengan tatapan penuh tanya.
-¤¤¤-

Book Comment (72)

  • avatar
    Mass Bondoll

    50.000

    13d

      0
  • avatar
    FridayantiSiska

    kak ini cerita nya sudah tamat ya

    11/08

      0
  • avatar
    SrAndrian

    biyasasaja

    11/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters