logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

PAPA, STAND BY ME

PAPA, STAND BY ME

Nana Rose


Chapter 1 Hati Yang Kosong

Mama, aku rindu senyuman manismu
-- Vidi Putra Haikal--
Meja kecil di sudut kamar menjadi saksi kesibukan Arabelle Agnia. Layar kotak persegi kecil berwarna hitam yang selalu menemaninya setiap hari. Setiap pulang kantor, dia selalu di depan kotak persegi itu. Menulis, membaca, atau apa pun dia lakukan agar dia tidak menemani putra semata wayangnya. 
"Ma, udah makan?" terdengar suara pelan dari celah pintu. Vidi melihat melalui lubang pintu kamar mamanya.
Tidak ada respon jawaban dari Mama Ara. Vidi masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan pelan. 
Dengan langkah pelan dan berjinjit memanggil mamanya kembali. Ara hanya terpaku pada tulisan hitam yang ada di depannya. Sama sekali tidak merespon panggilan anaknya. 
Vidi mengintip dari belakang tubuh Ara. Dia melihat tulisan yang ada pada layar persegi itu. Dia bingung karena banyak tulisan yang tidak jelas dan tidak terbaca. Ara sengaja menulis sembarang huruf di layar itu. Dia meluapkan emosi yang tertimbun di hati. 
Vidi sudah mahir membaca dan menulis. Dia termasuk anak yang cerdas di kelasnya dan diantara teman sebayanya. 
"Mama, kenapa diam, ya?" gumam Vidi. 
Vidi menggumam dan memandangi wajah mamanya yang terlihat melamun. Dan tiba-tiba setetes air mata jernih turun pelan di pipi pucat itu. 
Vidi hanya diam dan merasa iba dengan mamanya. Dia kemudian berjalan mundur keluar kamar dan menutup pintu kamar dengan perlahan. 
"Mama...Mama...Mama..," rintih Vidi menundukkan kepalanya bersandar pada pintu kamar Ara. 
Suster Dina tanpa sengaja melihat anak mungil itu sendirian di depan pintu kamar Ara. Dia mendekat dan memeluk anak itu dengan erat. Vidi terisak di pelukan orang yang sudah dianggap Kakak. Suster Dina  mencengkeram erat dua tangan mungil itu dan mengusap air mata yang membasahi pipinya. 
"Baby, jangan menangis. Nanti wajah gantengmu bisa hilang karena dimakan air mata." Suster Dina memegang wajah Vidi dengan kedua tangannya dan memeluk anak itu berkali-kali. 
"Dimakan air mata, Kak?" Vidi mengernyitkan kening dan membayangkan air mata memakan wajahnya dengan ganasnya. 
"Aku gak mau nangis lagi! Aku gak mau wajah gantengku ini hilang." Vidi takut dan mengusap air matanya dengan kaos biru yang ia pakai. 
Suster Dina tertawa kecil dan menggandeng Vidi jalan-jalan ke taman. Tidak lupa membawa sepeda biru warna kesukaannya. Sepanjang perjalanan, Vidi tertawa riang bercanda dengan perempuan yang sudah dia anggap sebagai Kakak. Kak Dina mengasuh Vidi dari kecil hingga sekarang. Dia sangat penyabar dan sayang pada anak itu. 
Pandangan Vidi terfokus lurus ke etalase toko, tepat di sudut jalan. Ada kamera kecil berwarna hitam dengan gantungan pita warna hitam. Vidi turun dari sepeda dan masuk ke toko itu dengan antusiasnya. Dina sontak kaget dan berlari mengejar Vidi dengan raut panik penuh penasaran. 
"Kakak, jangan lari! Bahaya lho, jangan seperti tadi ya, Kak." Dina melirik ke kanan kiri melihat barang yang diincar Vidi. 
Vidi memegang kamera itu dengan mata berbinar dan menganggukkan kepala cepat ke arah Dina. 
Suster Dina mendekat dan memegang kamera itu. Dia mencari label harga di kamera tetapi tidak menemukannya. 
"Maaf, Kak? Kamera ini sudah dipesan orang secara online. Mungkin Kakak tertarik dengan kamera lain yang beda warnanya?" terdengar suara ramah dan lembut dari belakang Dina. 
Vidi menampakkan wajah sedihnya dan berdiri di belakang Dina dengan menutup matanya dengan dua tangan. Raut muram jelas terukir di sana. 
"Kak, aku mau itu," menunjuk ke arah kamera yang dipegang pelayan toko dengan sedih. 
Suster Dina berjongkok di depan Vidi dan menasehatinya untuk memilih warna yang lain. Vidi menggelengkan kepala dan menunduk dengan raut wajah sendu. 
"Kak, aku mau ke taman. Aku gak jadi beli kamera itu..., " lirih Vidi melirik pelayan toko yang masih memandangnya dengan senyum iba. 
"Ayo, Baby! Kita pergi main," ucap Dina mengepalkan tangan untuk memberi semangat lagi pada anak itu. Dia menggandeng tangan mungil itu menuju taman. 
Di taman yang rindang penuh pepohonan membuat udara sejuk di tengah kota dan semburan air mancur yang meluncur ke atas mempercantik sudut taman. 
Di sekitar air mancur, Vidi mengayuh sepedanya dengan pelan mengitari bunga-bunga yang indah berwarna-warni. Mata Vidi tertuju pada bunga berwarna kuning yang menarik perhatiannya. 
Dia lompat turun dari sepedanya dan memetik sekuntum bunga kecil berkelopak kuning nan wangi. Dia menyembunyikan bunga itu di saku kaosnya. Semoga bunga kuning cantik itu tidak rusak. 
"Kak, tolong tutup mata sebentar!"  pinta Vidi merengek dengan manja. Dia selalu seperti itu ketika minta sesuatu pada Dina. 
Dina tampak bingung penuh tanya dan menggelengkan kepalanya tanda tidak mau. 
"Sebentar saja, kok. Gak ada 5 menit, Kak," 
"Ada apa? Oh, aku tahu! pasti mau ngajak main petak umpet, kan?" terka Dina mencubit pipi Vidi yang merah merona itu. 
Vidi senyum kecut dan balik mencubit Kak Dina  dengan gemas. Mereka sudah seperti Ibu dan anak. Karena sejak orang tuanya bercerai, Dina menjadi lebih perhatian lagi pada Vidi. Mamanya menjadi acuh dan sering menyendiri. 
"Oke, aku udah tutup mata."  Dina menutup mata dan tidak mengintip sedikit pun. 
Vidi mengambil sekuntum bunga di sakunya dan memegangnya tepat di depan wajah Kak Dina. Dalam hatinya sebenarnya sangat penasaran. 
"Kak, buka mata!"
Kak Dina membuka matanya perlahan dan dia takjub dengan apa yang dia lihat. Air bening yang mulai membasahi mata membuatnya samar melihat Vidi. 
"I-ini buat aku?" Dina memegang dengan tangan bergetar dan mencium aroma semerbak wangi dari bunga itu. 
" Iya, terima kasih selama ini sudah sayang aku!" Vidi memeluk Dina dan mencium pipinya yang basah.
Suster Dina mengusap air matanya dan kembali berdiri. Pandangan penuh haru melihat anak sekecil itu bisa melakukan hal yang begitu luar biasa baginya. Hal kecil dan sederhana yang membuat orang lain mampu meneteskan air mata. Apa mereka tidak bangga mempunyai anak semanis ini? 
"Nak, kenapa kamu bisa melakukan hal kayak gini?"
"Aku ingin ngasih Kakak hadiah. Tapi, aku gak ada uang," ucap Vidi menunduk lemas. 
"Vidi, kenapa bunga ini untukku? Bagaimana kalau bunga ini untuk Mama?Emm, pasti Mama akan senang nanti, " usul Kak Dina. 
Vidi tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan  hanya menunduk memainkan pasir dengan kaki kirinya. Dia menggambar anak dan Ibu bergandengan tangan di atas tanah. 
Kak Dina menghela napas berat melihat gambaran anak sekecil itu. Ungkapan sayang untuk mamanya. Keinginan dari hati yang paling dalam. 
Langit cerah berubah menjadi mendung. Tetesan air hujan jatuh perlahan membasahi tanah. Kak Dina dan Vidi bergegas lari mencari tempat untuk berteduh. 
"Kak, aku pernah ngasih bunga ke Mama. Tapi..., "
"Tapi apa?" potong Kak Dina. 
"Mama bilang kalau dia gak suka bunga," jawab Vidi polos. 
Mana mungkin Bu Ara tidak suka bunga. Dia setiap hari minggu 'kan menanam bunga dan merawat tanaman di halaman rumah. 
Suster Dina tersenyum dan mengelus rambut Vidi. Dihatinya saat ini hanya ada rasa iba untuk Vidi. Dia benar-benar tidak mengerti jalan pikirnya Ara dan Haikal. Hingga anak tak berdosa ini menjadi korban. 
"Baby, Mama sayang sama kamu. Kalau tidak sayang, pasti saat ini kamu sudah tinggal sama Papa."
Vidi terlihat bingung dan masih belum paham perkataan Dina. Dia hanya anak berumur 6 tahun yang masih polos dan belum mengerti rumitnya masalah orang dewasa. 
Kak Dina menghela napas, "Vidi, Mama saat ini butuh teman. Papa sudah tidak bersama mama lagi. Jadi, saat ini hati mama kosong tanpa adanya teman, " jelas Dina penuh penekanan. 
"Aku bisa jadi teman buat Mama. Tapi, Mama selalu menjauh dariku," ujarnya menutup mata menyembunyikan air mata yang sudah menetes. 
Suster Dina sangat mengerti apa yang dirasakan Ara saat ini. Dia menjadi pengasuh di kediaman Ara sudah lama. Sejak Vidi lahir hingga sekarang berumur 6 tahun. Suster Dina sudah dianggap seperti bagian dari keluarga Ara. Bahkan, hampir setiap hari dia menjadi tempat keluh kesah Ara. 
"Andai kamu tahu,  betapa sayangnya Mama ke kamu, Nak," gumam Dina. 
"Kak, Mama kenapa benci sama aku?" pertanyaan yang seharusnya tidak keluar dari mulut anak sekecil Vidi. 
Tetesan air hujan sudah berhenti. Sinar mentari sudah tak malu lagi menampakkan senyumnya. Langit yang cerah seakan ingin menghibur kesedihan Vidi saat itu. 
Suster Dina menghela nafas panjang dan melihat sarang burung terjatuh di bawah pohon. Dia mulai mengerti harus bagaimana menjelaskan semua ini ke anak kecil yang dia sayangi itu. 
"Baby, lihat sarang burung itu!" Kak Dina  menunjuk sarang burung yang di dalamnya ada seekor burung kecil dan 2 telur yang belum menetas. 
"Iya, kenapa dengan sarang burung itu?" Vidi heran dan menyipitkan mata melihat jarak sarang burung yang cukup jauh. 
"Burung itu melindungi telurnya. Kamu tahu, kan?"
Vidi masih bingung dengan kata-kata yang diucapkan pengasuhnya. Dia kemudian berlari dan mengambil sarang burung yang terjatuh. 
"Kak, aku gak ngerti. Apa hubungan sarang burung ini sama Mama?" Vidi memperlihatkan sarang yang hanya tersisa 2 telur dan induk burung terbang ketika Vidi mendekat tadi. 
Suster Dina dengan sabar mulai menjelaskan pada Vidi. Anak sekecil Vidi memang harus dijelaskan dengan obyek benda agar dia mengerti. 
"Induk burung itu melindungi anak-anaknya yang masih di dalam cangkang telur. Anak-anaknya itu tidak tahu kalau sedang dilindungi induknya. Karena mereka belum menetas. Setelah mereka menetas, induknya akan memberikan makanan ke anaknya dengan penuh kasih sayang," jelas Dina. 
Vidi mengernyitkan kening dan masih tampak bingung di raut wajahnya. Sarang burung diletakkan perlahan di tanah. 
"Baby, Mama menjaga kamu dengan baik dan penuh kasih sayang selama kamu masih di dalam perut Mama. Kamu tidak tahu, 'kan?" Dina senyum tipis menampakkan lesung pipi. 
"Seperti burung itu, ya?"
"Iya, anak-anaknya juga gak tahu kalau sedang dilindungi induknya, karena masih di dalam cangkang telur." Dina mencoba memperjelas lagi. 
Masih banyak pertanyaan yang berkecamuk di hati Vidi. Dia anak yang cerdas dan selalu penasaran dengan semua hal di sekelilingnya. 
"Kak, Mama kenapa sayangnya pas aku masih di dalam perut? Sekarang mama gak sayang sama aku. Apa karena aku udah gak di perut mama lagi?" ketus Vidi protes pada Kak Dina. 
"Ada hal yang kamu belum ngerti dan belum waktunya untuk kamu tahu semuanya," ucap Dina bijak. 
Vidi duduk di sebelah Kak Dina lalu  memeluknya dengan mata terpejam. Raut wajah antara bingung dan sedih sulit dibedakan saat itu. 
Kak Dina mengajak pulang ke rumah karena hari sudah mulai sore. Dia seketika ingat kalau Vidi ada jadwal les melukis. Dari kecil Vidi sudah senang kegiatan menggoreskan kuas ke atas kanvas itu.
Vidi menuntun sepedanya dengan lesu  bersandar di pagar rumah. Seketika semua terasa gelap dan... 
Brukk...!
"Vidi, bangun! Vidi! Vidi!"
Kak Dina panik mengguncang tubuh Vidi berkali-kali. Vidi sama sekali tidak bergerak dan merespon. Dia berusaha menggendong Vidi masuk ke dalam rumah. 
"Ibu.... Ibu..... Ibu....!" teriakan Dina menggema di seluruh rumah.

Book Comment (44)

  • avatar
    gerandongFebrian

    mantap

    17/07

      0
  • avatar
    Siti Umayah

    sangat keren

    05/07

      0
  • avatar
    FaaAmelia

    bgs

    27/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters