logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Mengubah Penampilan

Perlahan aku beringsut turun dari batu yang sedang kami duduki. "Tunggu Alia!" Azwar menarik tanganku yang hendak melangkah.
"Mau ke mana?" Ia bertanya setelah melepaskan tangannya dari lenganku.
"Pulang yuk!" ajakku sambil tersenyum agar ia tahu aku memang mau pulang bukan menghindarinya karena pernyataan barusan.
"Loh, yang tadi belum dijawab." Azwar masih bersikukuh menunggu jawaban. Ia tersenyum mengucapkan hal itu, tetapi pandangan matanya ke arah lain. Mungkin dia malu. Lucu jadinya.
"Azwar, ini persoalan hati. Aku tidak bisa memberikan jawaban sekarang. Perlu dipikirkan matang-matang. Beri sedikit waktu, ya?!" ucapku lembut tetapi tegas agar dia mengerti urusan yang satu ini bukanlah persoalan main-main.
"Apakah waktu enam bulanan ini tidak cukup bagimu untuk mengenalku, Alia?" Dia masih menuntut jawaban saat ini juga.
"Bukan masalah enam bulan atau enam tahun atau pun enam jam Azwar. Tetapi, sekali aku menjawab 'iya' maka aku ingin bersamamu untuk enam puluh tahun kedepan atau bahkan jika mungkin untuk enam ratus tahun lamanya." Kembali kusunggingkan senyum meyakinkan Azwar agar ia tidak lagi mendesak.
***
Kami duduk berhadapan di dalam angkot yang membawa kami pulang. Sebenarnya ini bukan kali pertama kami pulang bersama dengan angkutan umum. Sering malah, tetapi baru kali ini aku memperhatikan wajahnya dengan seksama.
Ia duduk tenang dengan mata melihat jalanan di luar sana. Sesekali tatapan kami beradu saat ia juga ikutan mencuri pandang ke arahku, yang kemudian secepatnya ia alihkan lagi ke luar jendela angkot. Aku yakin, Azwar tahu jika sedari tadi mataku terus menatapnya dalam diam.
Saat dia terlebih dahulu turun dari angkot untuk kemudian naik angkot lainnya dengan jalur menuju rumahnya, mataku tetap mengawasinya sampai angkot yang membawaku kembali bergerak setelah juga menurunkan beberapa penumpang lainnya.
Apakah aku harus menerima dia? batinku mulai menerawang. Secara fisik dia lumayan, bahkan mungkin bisa dikatakan di atas rata-rata jika saja penampilan cupunya itu diubah. Sikapnya pun pasti membuat banyak orang tua mendambakannya menjadi menantu. Lalu, apa lagi yang kurang?
Cinta? Ah, dia bisa hadir sendiri seiring sering bersama bukan? Hati milik kita, bukan kita yang dimiliki oleh hati, jadi kurasa hati akan mudah ditaklukkan.
Baiklah, diterima saja, suara hati mulai sepakat. Eh, jangan dulu. buat dia berjuang sedikit lagi. Ego mulai ikut-ikutan bersuara membantah hati.
***
Seminggu berlalu, hampir setiap hari Azwar mempertanyakan jawaban untuk pernyataan cintanya. Perlahan tapi pasti aku pun mulai menyukainya. Tetapi, tetap saja aku memilih mengulur waktu. Setidaknya aku ingin melihat sedikit lagi keseriusannya.
"Alia ....!" Terdengar suara teriakan dari belakang saat aku hendak menuju kantin. Hari ini jadwal kelasku di jam pertama, aku belum sempat sarapan sebelum masuk kelas pagi tadi. Sekarang perutku lapar bukan main.
Saat berpaling ke balakang mencari tahu siapa yang telah berteriak mencegat langkahku, aku melihat Azwar berlari tergopoh menuju ke arahku.
"Aku dapat beasiswa," ucapnya dengan napas tersengal-sengal.
"Alhamdulillah, Selamat ya!"
Aku kembali melanjutkan langkah menuju kantin. Azwar ikut berjalan beriringan.
"Kamu tidak masuk kelas?" Setahuku ia ada jadwal kuliah di jam kedua ini.
"Enggak." Ia menggeleng.
"Dosennya berhalangan hadir," ucapnya tersenyum senang.
Memang hal yang paling membuat mahasiswa bahagia adalah dosen yang berhalangan untuk datang mengajar. Meski dari rumah buru-buru supaya tidak terlambat masuk kelas, tetapi begitu tiba di kampus mendengar dosennya tidak masuk, seharusnya kesal karena sudah capek-capek berjibaku agar cepat sampai, tetapi justru kegirangan yang terasa. Begitulah mahasiswa.
"Alia, ini!" Azwar menyodorkan amplop warna coklat panjang ke arahku.
"Apa ini?" Kuhentikan suapan makanan ke mulut, dan menatapnya sambil menautkan alis meminta penjelasan.
"Nafkah pertama untukmu," jawabnya cengengesan.
"uuhhuukk ... uuhuuk ... "
Aku tersedak. Secepat kilat aku meneguk minuman yang disodorkan Azwar, meminimalisir batuk tersedak dan sekaligus juga agar tidak menjadi tontonan banyak pasang mata di kantin ini.
"Kamu kalau makan pelan-pelan!" Azwar kembali menyerahkan tisu.
"Ini uang beasiswa yang kamu ceritakan tadi?" tanyaku setelah reda keterkejutan tersebut.
Azwar mengangguk. "Buatmu semuanya," katanya lagi kembali mendorong amplop yang masih tergeletak di atas meja lebih mendekat ke arahku.
Aku tahu, Azwar juga bukan anak orang kaya. Sama sepertiku, kami berasal dari keluarga yang sederhana saja. Tidak kekurangan, juga tidak terlalu berlebihan.
"Seharusnya uang ini untuk biaya kuliah, bukan untukku." Aku mendorong kembali amplop itu ke arahnya.
"Aku bukan istrimu, tidak ada kewajibanmu untuk menafkahiku," ucapku tegas.
"Dan, perlu kamu tahu Azwar, orang tuaku masih sanggup memberikan uang jajan dan membiayai hidupku." Kali ini suaraku terdengar sedikit ketus. Pertanda, jika aku kurang suka dengan cara dia ini.
"Alia, maaf. Aku tidak bermaksud menghinamu dengan pemberian ini. Aku hanya ingin membuktikan padamu, bahwa aku serius ingin menjadikanmu calon istri," ujar Azwar pelan dan terdengar sendu seperti merasa bersalah.
"Tapi, bukan begini caranya ... "
"Harus bagaimana lagi, Alia? Sudah hampir dua minggu aku menunggu kesediaanmu." Azwar cepat memotong kalimatku yang belum selesai.
"Aku bukan perempuan matre yang bisa kamu sogok dengan uang." Meski pelan, tetapi nada suaraku terdengar geram.
"Tidak pernah sekali pun terlintas di benakku bahwa kamu perempuan matre. Justru karena itulah, aku semakin yakin memilihmu untuk menjadi ibu dari anak-anakku kelak." Azwar masih terus saja mendesakku agar memasukkan amplop itu ke dalam tas.
"Baiklah, aku terima kamu. Tapi, berjanjilah untuk tidak akan pernah meninggalkanku apa pun yang terjadi nanti dalam hidup kita di masa depan!" ucapku dengan ketegasan yang pasti dipahami Azwar.
Seketika ia berdiri dari duduknya. Dengan senyum lebar, ia mengangguk kuat. "Aku berjanji Alia." Tegas suaranya, dengan sorot mata yang sangat meyakinkan.
"Ayo kita belanja!" Aku ikutan bangkit dan melangkah keluar kantin. Semua uang ini akan aku pergunakan untuk merubah penampilan dia yang cupu itu. Lihat saja, sebentar lagi Azwar akan kuubah menjadi lelaki paling tampan di fakultas ini.

Book Comment (782)

  • avatar
    Mohd AmirAhda Suhada bt Mohd amir

    I so like the story

    1d

      0
  • avatar
    TatiHartati

    bagus

    3d

      0
  • avatar
    Naufal

    semoga dapat

    5d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters