logo
logo-text

Download this book within the app

Eric Part 4

“Eric.” Terdengar sebuah suara dari arah pintu dan muncullah seorang wanita paruh baya memasuki kamar ini. Eric jadi itulah nama hantu ini.
“Ayahmu memanggilmu.”
“Apa dia akan memarahiku lagi, Bu?” Terlihat raut sedih di wajah wanita itu yang baru ku ketahui merupakan ibu dari Eric.
“Ibu tidak tahu, semoga saja tidak. Temuilah ayahmu.”
“Iya, Bu.” Eric beranjak bangun dari duduknya dan berjalan mengikuti ibunya. Tentu aku pun berjalan mengikuti mereka.
Sesampainya di depan sebuah ruangan, terlihat seorang pria paruh baya sedang duduk di sofa dengan sombongnya.
“Ayah memanggilku?” tanya Eric dengan terdengar nada takut pada suaranya.
“Bagaimana dengan nilai-nilaimu? Aku harap tidak mengecewakan. Kau harus ingat Eric, kau itu anak laki-laki satu-satunya. Kau harus mendapatkan nilai yang sempurna. Jangan sampai kalah dengan saudara-saudara perempuanmu. Jangan membuatku menyesal karena sudah membayar mahal biaya kuliahmu. Kau mengerti kan? Aku tidak akan pernah memaafkan sebuah kegagalan.”
“A-aku mengerti, Ayah.”
“Pergilah, lanjutkan belajarmu.” Pria itu yang tidak lain ayah Eric beranjak bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan Eric begitu saja. Eric tetap berdiri mematung dengan tatapannya yang sedang tertunduk. Meskipun dia sedang menunduk, aku bisa melihat dengan jelas matanya berkaca-kaca yang menandakan dia sedang menahan tangisannya.
Sekelilingku tiba-tiba berputar, aku tahu ini tanda aku akan melihat kenangan yang lain. Benarlah dugaanku ketika sekarang aku sedang berada di sebuah kamar. Tapi aku tahu betul ini bukan kamar Eric yang tadi aku lihat. Mungkinkah aku sedang berada di kamar Asrama Eric? Kurasa dugaanku tepat jika melihat ada tiga tempat tidur di sini.
Sekali lagi aku melihat seseorang sedang duduk di atas tempat tidur, aku tahu itu Eric. Aku menghampirinya, aku terkejut ketika melihat wajahnya sudah dipenuhi air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya. Dia menangis sambil menatap sebuah kertas yang dia pegang. Aku memberanikan diriku menatap ke arah kertas itu. Jika melihat coretan-coretan yang terdapat di kertas itu, aku rasa itu nilai hasil ujiannya. Aku rasa aku juga tahu penyebab Eric menangis, Eric mendapatkan nilai yang tidak bagus dalam ujiannya dan jelas hal itu akan membuat ayahnya sangat marah padanya.
Eric meremas kertas itu dan berjalan menuju meja belajarnya. Lalu ... dia mengeluarkan sebuah buku dan pena. Dia pun terlihat mulai menuliskan sesuatu pada kertas itu. cukup lama dia menulis, hingga akhirnya dia merobek kertas yang sudah dipenuhi tulisan tangannya lalu memasukkannya ke dalam sebuah amplop. Dia pun menyelipkan amplop itu ke dalam sarung bantalnya. Entah apa yang akan dia lakukan setelah ini? Jawabanku terjawab ketika ku lihat dia berjalan menghampiri tasnya yang tergeletak di meja. Dia mengeluarkan sebuah benda yang sukses membuat kedua mataku membulat sempurna.
Benda itu tidak lain merupakan sebuah tali. Sekarang aku tahu apa yang akan dia lakukan. Dengan menggunakan kursi sebagai alasnya berpijak, dia mengikat tali itu pada celah ventilasi di pintu dan membuat lingkaran di ujung talinya yang sesuai dengan ukuran kepalanya. Dia memasukkan kepalanya ke dalam lingkaran tali itu dan menendang kursi pijakannya dengan kakinya. Aku menutup mataku serapat mungkin karena aku tidak sanggup menyaksikan detik-detik ketika Eric menghembuskan nafas terakhirnya.
Sekelilingku kembali berputar-putar, ku buka mataku perlahan dan kini kegelapan lah yang memenuhi penglihatanku. Meskipun disini gelap tapi aku masih bisa melihat sosok melayang itu tepat di depanku. Ya, itu sosok hantu Eric. Sepertinya aku telah kembali ke dunia nyata dan aku sedang berada di kamar Asrama Eric seperti sebelum aku pergi ke dunia kenangan Eric.
Mataku yang sudah mulai terbiasa dengan kegelapan dapat melihat dengan jelas tangan hantu Eric yang menunjuk ke arah suatu tempat. Tempat yang ditunjuk oleh tangannya itu, aku yakin itu sebuah tempat tidur. Aku pun menyadari maksudnya.
“Kau ingin aku memberikan surat itu pada orangtuamu?” tanyaku pada hantu Eric dan dijawabnya dengan sebuah anggukan.
“Baiklah, aku akan membantumu memberikan surat itu pada keluargamu. Tolong kau buka pintunya.”
Cklek!
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, kemudian aku mendengar derap langkah kaki beberapa orang memasuki kamar dan menghampiriku.
“Leslie, kau baik-baik saja?” Pemilik suara itu bertanya dengan panik. Tentu saja aku tahu pemilik suara itu adalah Sean.
“Aku baik-baik saja, Sean. Tolong kau nyalakan lampunya.”
“Lampu di kamar ini sudah mati,” jawab seseorang yang sepertinya penjaga Asrama ini.
“Sean, mana sentermu?” Sean memberikan senternya padaku. Setelah itu dengan diterangi cahaya senter aku berjalan menuju tempat tidur yang tadi ditunjuk oleh hantu Eric. Ku buka sebuah sarung bantal yang tergeletak di tempat tidur itu. ku rasakan sebuah kelegaan tak terkira ketika sebuah amplop jatuh dari dalam sarung bantal itu.
Surat ini ... ya, inilah penyebab hantu Eric belum bisa kembali ke alamnya. Dia belum merasa tenang sebelum surat ini diberikan kepada keluarganya. Sekarang tugasku lah untuk memberikan surat ini pada keluarga Eric.
***
Aku menceritakan semuanya pada Sean dan penjaga Asrama. Penjaga Asrama itu terlihat tidak mempercayai ucapanku namun ketika dia melihat surat yang ada di tanganku, dia pun tidak memiliki pilihan lain selain mempercayaiku.
“Kita harus mengantarkan surat itu,” ucap Sean dan tentu saja aku menyetujui ucapannya. Tapi yang menjadi permasalahannya bagaimana caranya kami bisa mencari alamat keluarga Eric.
“Kalian bisa pergi ke perpustakaan dan carilah buku profil mahasiswa dari setiap angkatan. Di sana tertulis semua biodata mahasiswa yang pernah menuntut ilmu di kampus ini.” Perkataan ini berasal dari penjaga Asrama. Berkatnya aku dan Sean pun bisa menemukan cara untuk menemukan alamat keluarga Eric. Tanpa membuang waktu lagi, aku dan Sean pergi ke perpustakaan.
Beruntung di kampus kami meskipun hari minggu, perpustakaan masih tetap buka. Aku dan Sean menuju ke rak di mana menyimpan file-file tentang Profil mahasiswa.
Setelah berkeliling di Perpustakaan kampus kami yang cukup luas ini, akhirnya kami pun menemukannya. Di sepanjang rak itu memang berderet file profil mahasiswa dari setiap angkatan.
“Sean, Eric bunuh diri tiga atau empat tahun yang lalu, bukan?” tanyaku pada Sean yang sedang berdiri di sampingku.
“Ya, aku dengar dari rumor begitu.” Aku segera mengambil file yang di sampulnya tertulis angka tahun sekitar 3 dan 4 tahun yang lalu.
Pertama aku membuka file mahasiswa angkatan 3 tahun yang lalu. Ku buka lembar demi lembar dengan hati-hati, ku perhatikan nama mahasiswa dan fotonya dengan seksama. Namun, aku sedikit kecewa ketika tidak menemukannya meskipun aku sudah membuka sampai lembar terakhir.
Kini aku beralih membuka file mahasiswa angkatan 4 tahun yang lalu. Seperti tadi, aku pun membuka lembar demi lembar dengan hati-hati. Ku baca dengan seksama nama mahasiswa di setiap lembar dan ku perhatikan foto mahasiswa itu. Gerakan tanganku terhenti dan mataku membulat dengan sempurna ketika akhirnya ku temukan profil tentang Eric. Ya, aku yakin ini profil tentang Eric jika aku lihat dari nama dan foto mahasiswa di kertas itu.
“Aku menemukannya,” ucapku dengan riang. Sean dengan cepat mengetik alamat rumah keluarga Eric di handphonenya.
“Ayo, kita pergi ke sana sekarang,” ajak Sean yang kutanggapi dengan anggukan.
Dengan menaiki motor Sean, aku dan Sean pergi menuju alamat rumah Eric yang letaknya cukup jauh dari kampus. Waktu sudah sangat siang membuatku sempat khawatir kami akan terlambat kembali ke Asrama. Namun, kuabaikan pemikiran itu karena yang terpenting saat ini adalah membantu hantu Eric agar segera kembali ke alamnya.

Book Comment (190)

  • avatar
    AbayXy

    semangat

    07/07

      0
  • avatar
    Surya Gung

    500

    26/06

      0
  • avatar
    H.ThimbuatSendi

    👍🏼

    13/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters