logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter Two

Waktu menunjukan tepat pukul 20.00 saat ini, seperti biasa pada jam segini suamiku sudah berada di rumah. Setiap hari dia pulang pukul 5 sore dari kantor, karena jarak antara kantor dan rumah kami yang terbilang cukup dekat, pukul 6 sore biasanya dia sudah tiba di rumah. Itu pun jika dia tidak ada meeting atau pekerjaan tambahan lain di luar kantor yang membuat dia pulang terlambat.
Bisa dikatakan cukup jarang dia terlambat pulang. Sekali pun harus pulang telat, dia pasti akan mengabariku lebih dulu. Mungkin karena alasan dirinya begitu terbuka yang membuatku tak pernah meragukan kejujurannya selama sepuluh tahun pernikahan kami.
Kutemukan suami dan putra semata wayang kami, Raffa ... tengah asyik duduk di depan televisi seraya tangan mereka sibuk memegang stick game. Mereka sedang memainkan playstation, game Ninja Ultimate jika kulihat dari layar televisi di mana di sana memperlihatkan dua tokoh ninja sedang bertarung sengit.
“Yeee, aku menang. Daddy kalah!” pekik girang Raffa karena berhasil memenangkan permainan. Raefal, suamiku ... berpura-pura memasang wajah ingin menangis, sontak membuat Raffa tertawa terpingkal-pingkal melihatnya, terlihat begitu senang.
Kugelengkan kepala sejenak melihat tingkahlaku kedua orang itu, sebelum kuputuskan untuk ikut bergabung bersama mereka. Aku duduk di sofa tepat di belakang mereka yang memang duduk di atas karpet.
“Mommy, aku menang. Daddy kalah. Daddy payah ya?” ujar putraku disertai senyuman polosnya yang tak pudar. Aku tersenyum kecil menanggapinya.
“Siapa bilang Daddy payah?” sahut suamiku, berpura-pura tersinggung.
“Iya, Daddy payah soalnya Daddy kalah terus maen game-nya.” Dengan pintarnya putraku menyahut.
“Itu karena kamunya aja yang jago maen game, bukan karena Daddy yang payah.”
Raffa tertawa geli saat Raefal tiba-tiba menggendongnya, lalu dia memeluk erat Raffa. Sesekali dia menggelitik tubuh Raffa, sukses membuat putra kesayangan kami itu menggelinjang kegelian dengan tawa kencangnya yang membahana di seisi rumah.
“Sayang, udah. Kasihan Raffa.” Aku yang mengatakan ini, saat kulihat Raffa tertawa berlebihan seraya memegangi perutnya yang mungkin mulai kesakitan karena terlalu banyak tertawa, aku pun tak tega melihatnya.
Raefal tak mengatakan apa pun, dia memilih menuruti ucapanku tanpa bantahan apa pun, terlihat dari dia yang berhenti menggelitik Raffa dan melepaskan pelukannya.
“Ayo, Daddy, main lagi.”
“OK, Daddy pasti nggak akan kalah. Kali ini pasti Daddy yang menang,” ujar suamiku penuh semangat. Setelah itu permainan mereka kembali dimulai.
Sedangkan aku masih tetap setia duduk di belakang mereka. Sesekali kupandangi putraku yang tampak bersemangat memegang stick di tangannya, terkadang suara teriakan meluncur dari mulut mungilnya, mengundang kekehan untukku dan tawa untuk Raefal.
Sesekali pula aku memandangi punggung tegap suamiku, bagaimana dia tampak menikmati permainan game-nya bersama Raffa. Senyuman tak pernah luntur dari bibirku saat melihat pemandangan di depanku ini, tidak pernah ... sampai ingatan tentang kalung itu kembali menari-nari di kepalaku.
Kalung dengan liontin berinitial ZK yang telah kupastikan menghilang dari tas kerja Raefal. Mungkinkah sudah dia berikan kalung itu pada pemilik initial ZK itu? Aku tak tahu jawabannya karena aku sendiri tak berani untuk menanyakannya pada Raefal. Aku terlalu takut, takut jawaban yang kudengar nanti akan menghancurkan hatiku. Suara jeritan Raffa yang kembali memenangkan permainan kembali menyapa gendang telingaku, membuat semua lamunanku buyar seketika.
“Tuh, kan, Daddy emang payah. Lihat, aku menang lagi. Iya, kan, Mommy? Daddy memang payah?” Aku tersenyum lebar menanggapinya, lalu kuberikan anggukan sebagai bentuk persetujuanku. “Iya, Daddy emang payah ya. Kamu yang terbaik,” jawabku.
Raffa bangkit berdiri dari duduknya, dia melompat-lompat riang seraya tiada henti mulut mungilnya berteriak kegirangan. “Daddy payah, Daddy payah.” Begitu katanya berulang-ulang.
“Kamu kok bilang gitu sih, bukannya belain aku,” rajuk Raefal seraya menoleh padaku. Aku tak tahu harus bereaksi apa selain tertawa mengikuti tawa putraku yang belum reda.
“Ayo, maen sekali lagi. Kali ini Daddy pasti menang,” ajak suamiku yang langsung diangguki penuh semangat oleh Raffa.
Saat itulah aku melirik ke arah jam yang terpajang apik di dinding ruangan, membulatkan mata saat menyadari waktu sudah menunjukan pukul 9 malam sekarang. “Udah cukup mainnya ya. Waktunya Raffa tidur.” Aku yang mengatakan ini, aku beranjak bangun dari posisi duduk. Kuambil stick yang sedang dipegang Raffa.
“Yaah, Mommy, aku masih mau maen game sama Daddy,” rajuk Raffa, menolak saat aku merebut stick itu darinya.
“Besok lagi maen game-nya. Udah jam sembilan, waktunya kamu tidur. Ayo, cepat. Kita ke kamar kamu.” Raffa menoleh ke arah Raefal seolah meminta bantuan pada ayahnya untuk membujukku. Kupelototi Raefal ketika dia menatapku, membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Dia pun meringis begitu menyadari penolakanku melalui sorot mataku ini.
“Mommy ngambek tuh. Kamu tidur aja ya, besok kita maen game lagi,” ucap Raefal, akhirnya memilih membantuku membujuk Raffa.
“Yaah, tapi aku masih mau maen game.”
“Besok kita lanjutin ya, Daddy janji.”
“Harus ditepatin ya Daddy janjinya,” ucap Raffa sembari mengulurkan jari kelingkingnya pada Raefal. Raefal terkekeh melihat tingkah laku putra kami yang sangat menggemaskan ini, lantas tanpa ragu dia pun mengulurkan kelingkingnya. Jari kelingking mereka pun bertautan setelahnya. Aku hanya tersenyum kecil melihat pemandangan itu.
“Aku ke kamar Raffa dulu ya, nemenin dia tidur,” pamitku, yang langsung diangguki oleh Raefal.
Aku dan Raffa berjalan santai menuju kamar Raffa, tangan kami saling bergandengan disertai mulut kecil Raffa yang tak hentinya mengoceh. Raffa memang sumber kebahagiaan dan keceriaan dalam hidupku. Tanpa dia, entahlah ... aku tak tahu sanggupkah aku setegar ini saat hatiku tengah gundah karena kepercayaan pada suamiku yang mulai goyah.
Setibanya di kamar Raffa. Aku membantunya berganti pakaian dengan piyama tidur. Kuselimuti dia begitu tubuh kecilnya sudah berbaring nyaman di atas tempat tidur. Menepuk-nepuk pahanya pelan, suatu kebiasaan yang kulakukan setiap malam agar dia cepat tertidur.
Setelah 30 menit berlalu, dan setelah kuyakini Raffa sudah tertidur pulas. Aku pun keluar dari kamar putraku. Aku mengernyitkan dahi ketika mendapati suamiku masih duduk di depan televisi. Layar televisi tampak menayangkan sebuah film action hollywood, entah apa judulnya karena aku lebih tertarik untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan suamiku. Kepalanya tertunduk, terlihat jelas tidak tertuju pada layar televisi, melainkan tertuju pada layar ponsel dalam genggaman tangannya. Dari belakang, kulihat jemarinya begitu lihai menari-nari di atas keypad ponsel, bukti nyata bahwa dia sedang mengetik pesan yang akan dia kirimkan pada seseorang. Aku berdeham cukup kencang, tentu dia mendengarnya karena kini dia refleks menoleh ke arahku.
“Raffa sudah tidur?” tanyanya.
Kujawab dengan anggukan kecil, “Kamu lagi apa?”
“Nonton film. Sini, nonton bareng,” katanya sambil menepuk-nepuk karpet kosong di sebelahnya. Aku menggeleng, tak berminat untuk menonton film saat ini.
“Aku ngantuk. Mau tidur aja. Ini udah malam, mendingan kamu juga tidur. Besok pagi kamu harus kerja lagi lho.”
Dia tersenyum kecil mendengar jawabanku, “Belum ngantuk, filmnya seru. Ya udah, kamu tidur duluan. Bentar lagi aku nyusul.” Mendengar dia menjawab seperti itu, tak ada alasan lagi bagiku untuk tetap berada di sini, lantas aku pun melanjutkan langkah menuju kamar kami.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk tertidur lelap, banyaknya kegiatan hari ini cukup menguras tenaga. Aku benar-benar butuh istirahat.

Book Comment (21)

  • avatar
    AthallahAthif

    bagus

    25/08

      0
  • avatar
    Hamira Hamade

    Ceritanya berhasil buat aku emosi dan akhirnya tersenyum sendiri 😂

    02/08

      0
  • avatar
    gaming 20rafa

    oky

    25/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters