logo
logo-text

Download this book within the app

7

Bab 7 - Serangkaian Lensa
Aroma margarin memenuhi dapur, Salsha asyik membuat roti telur mata sapi kesukaan Reyan. Meskipun pria itu belum menampakkan dirinya, dan masih tertidur pulas setelah permainan panjang keduanya sampai jam tiga pagi tadi. Salsha tetap memasak, bodohlah nanti akan keburu dingin atau rasanya jadi kurang nikmat. Salsha sedang berlatih keras menjadi istri yang baik dan perhatian untuk suaminya yang kelelahan.
Reyan menggeliat di balik selimut, tubuh telanjang dadanya itu meringkuk lagi. Reyan tidak berniat bangun lebih awal atau lebih siang dari biasanya. Hanya ingin menikmati waktu bersantai bersama Salsha sebelum waktu turnamen menjadi orang ketiga lagi dalam hubungannya.
Sementara Reyan leha-leha di apartemen pribadinya, Razan di kediaman Zikya tengah membaca koran. Meski keduanya sudah punya seorang anak berusia lima tahun, Razan dan Zikya belum memutuskan untuk menikah. Keduanya masih asyik dengan dunia masing-masing. Razan sibuk dengan kampus, sedangkan Zikya sibuk dengan dunia tari.
“Zan, kau akan datang ke lokakarya itu?” tanya Zikya sembari menyuguhkan segelas kopi susu pada pria di hadapannya tersebut.
“Tidak tahu. Kenapa memangnya?” balas Razan menilik wajah Zikya yang anggun. Wanita itu tampak cantik meski belum mandi.
“Tidak apa-apa. Cantika akan ada pagelaran teater bersama anak-anak lainnya. Suruh Shiha datang, ya? Kau tak datang pun tak masalah jika sibuk,” ujar Zikya tertawa mengejek.
Tangan Razan terjulur pada pergelangan tangan Zikya. Ditarik lembut wanita itu pada pangkuannya. Razan menatap Zikya dengan saksama. Bibirnya tanpa sadar bergerak aktif memicu desah napas Zikya yang lembut nan manja. Zikya tak mau kalah, dipeluk erat leher Razan yang kokoh. Keduanya sama-sama menikmati sinaran mentari pagi mereka di antara gelora cinta yang padahal semalam sudah bermuara.
“Aku akan menikahimu kalau kau siap, Kiya. Aku masih akan tetap menunggu, sampai kau mau!” bisik Razan di sela-sela ciumannya.
“Aku masih sibuk mengurus sanggar, Zan. Cantika tidak pernah keberatan dengan statusmu sebagai kekasih ibunya, meski kau ayahnya.”
Razan menjewer telinga Zikya. “Wanita memang rumit. Baiklah, aku akan bergegas mandi, kurasa anak-anak sudah menunggu. Nanti akan aku kabari Shiha, berikan tiketnya padaku biar aku kirim padanya sekalian kirim paket bunga untuk mengenang hari kematian ayah juga ibunya,” kicau Razan seraya berjalan santai menuju kamar mandi dengan menenteng kaos dalam yang baru saja ditanggalkannya.
“Kita yang rumit, Zan.” Zikya tersenyum.
Pagi semakin tinggi, panasnya matahari membawa siang yang terik. Shiha di depan toko buku tengah mengatur meja bersama seorang wanita cantik tinggi semampai berpotongan rambut bob. Tampak banyak keranjang buku keduanya keluarkan dari toko kemudian ditata di atas meja, adapula yang disimpan di bawahnya.
Vania Maesya, kerap disapa Vania. Salah satu adik kelas Shiha jaman SMA dulu. Keduanya sama-sama dari Klub Bahasa. Saat itu Shiha adalah satu-satunya alumnus yang masih menjalankan tanggung jawab sebagai pengurus klub dan Vania saat itu duduk di bangku kelas 1. Vania mengangkat keranjang lainnya ke atas meja. Tampak bulir-bulir keringat hiasi dahi juga lehernya. Vania mendesah sambil menyeka wajah. “Kak Shiha, kenapa repot-repot mengeluarkan semuanya dari toko? Ada buku-buku baru yang akan masuk memangnya?” tanya Vania memanyunkan bibir merah jambunya.
Shiha menggelengkan kepalanya santai, wanita itu tampak tak indahkan pertanyaan Vania. Shiha sibuk menata papan kapur di depan pintu.
[Free today. Ambil buku apa pun yang kamu ingin baca]
“Vania, seperti ini bagus, kah?” tanya Shiha sembari mengamati permukaan papan tulis yang sudah dihias dengan berbagai kapur berwarna.
“Oh, akan dibagikan?” balas Vania dengan wajah mengerut heran.
“Iya, kenapa?” Shiha menyentuh kedua bahu Vania dengan lembut. “Ada yang salah? Ini tidak akan menghabiskan buku di dalam. Aku hanya mengeluarkan tiga keranjang.”
“Aku merasa seperti itu adalah hal yang buruk. Di tengah hari yang terik kita menata buku untuk orang-orang yang mungkin akan lewat tidak peduli. Anak-anak jaman sekarang mana suka baca buku, apalagi bukunya seperti buku-buku ini,” beber Vania sembari berkacak pinggang. Wajahnya berubah sebal, tatap dari matanya pun tampak celih.
“Aku menawarkan buku, bukan memaksa. Lagi pula aku tidak melakukan itu untuk orang-orang yang tidak mau. Aku hanya menyediakan buku bagi mereka yang tertarik. Jika anak-anak jaman sekarang tidak suka baca buku, aku yakin masih ada orang-orang seperti kamu atau Razan di dunia ini.”
Vania meneguk ludahnya, jawaban dari Shiha benar-benar bagaikan pedang yang tipis tetapi rasa tusukannya begitu menyakitkan. Vania sedikit mengikis jarak dari Shiha, berpura-pura bego atas apa yang baru saja dirinya debatkan. Terlihat seorang pria tangguh berpakaian santai dengan sisa-sisa cat di tangan mendekati toko buku.
“Wah, sedang beres-beres toko buku rupanya?” sapa pria itu berpendar pada buku-buku yang Shiha dan Vania tata.
“Eh, hai, Raka?” sahut Shiha menengakkan punggungnya berhadapan dengan Raka. Sosok pria yang bekerja sebagai seniman jalanan. Ia yang mendapat tugas memperindah dinding-dinding kota oleh pengurus setempat.
“Kau sedang bertugas? Tanganmu penuh dengan sisa cat,” ujar Shiha menunjuk tangan pria itu. Si empunya diri mengangguk pelan.
“Bersama Reksa, aku dan para remaja daerah dapat tugas lagi. Ada beberapa dinding yang catnya sudah usang, dan banyak juga yang harus ditambal sulam.” Raka tersenyum manis. Shiha di matanya, adalah sosok wanita yang begitu ia idamkan. Bertetangga sejak lama tak membuat Raka berani menyatakan cinta pada Shiha, terutama saat Teja masih hidup. Tak ada satu pun laki-laki yang sanggup mendekatinya.
Bagi Raka, Shiha adalah wanita yang istimewa dengan tindak tanduknya. Bersahaja dan ramah, berpendidikan juga peduli akan lingkungan. Mendedikasikan dirinya untuk tetap membuka toko buku, meski buku digital kini marak di pasaran. Shiha juga aktif mengajar tanpa upah untuk anak-anak jalanan yang tidak sekolah karena berbagai alasan. Shiha sempurna, tetapi tidak untuk Raka; ia sudah menjadi kepala keluarga kini.
“Boleh kubawa ke taman baca lagi? Kami baru dapat dua rak baru. Kami juga baru dapat kiriman cat dan berbagai peralatan seni lainnya,” ucap Raka antusias.
“Tentu boleh. Buku apa pun, sebanyak apa pun. Aku senang jika orang-orang mau membacanya, tidak, meski hanya menyentuh sampulnya saja. Aku senang.”
Raka mengangguk tak lama sesosok pria lainnya  datang. Ia Reksa, adik dari Raka, sama-sama seorang seniman.
“Re, bawa ini!” titah Raka padanya.
Shiha menyentuh dada, merasakan bagaimana hatinya melompat-lompat bahagia. Bisa berbagi perasaan bahagia lewat buku adalah hal yang menyenangkan. Jika Razan ada mungkin pria itu akan seantusias Raka bisa jadi lebih. Ia akan terus berkicau tentang para mahasiswanya yang bokek tak sanggup beli buku baru. Patungan untuk buku tugas, bahkan belusukan ke toko barang bekas hanya untuk mencari materi. Razan selalu berkata, aku beruntung Shiha, beruntung memiliki kamu dengan toko buku ini, mahasiswaku jadi lebih rajin. Dari situ pula, Shiha bertemu dengan Gentara lagi yang sejak pria itu duduk di bangku SMA sudah mengejar cinta Shiha.
Shiha tersenyum sambil mengedikkan kepalanya malu-malu kucing.
“Kita bawa bukunya, ya, aku yakin istriku juga akan senang. Pasalnya ada buku karya Yuval Harari di sini,” ujar Raka.
“Senang mendengarnya, Raka.”
“Aku pamit, Shiha.”
Shiha melambaikan tangannya dengan santun. Embusan napasnya lolos begitu lega.

Book Comment (20)

  • avatar
    MulyaniNanda

    cantik cerita nya

    02/08

      0
  • avatar
    AnggoroSatrio

    yaa mau masih

    19/07

      0
  • avatar
    NrllfbryyNndy

    bagus dan seru

    16/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters