logo
logo-text

Download this book within the app

3

Bab 3 - Kenangan dan Hujan
Baik Shiha ataupun hujan masih belum mau beranjak. Hujan yang mengguyur sebagian besar wilayah ibu kota menggenangi jalanan. Bagi Shiha, hujan hanya membawa luka. Kenangan itu menggenangi diri juga jiwanya. Membawa rasa sakit yang tiada tara, membuat seluruh tubuhnya seakan ditebas berbagai mata pedang yang sangat tajam. Perlahan-lahan air mata wanita itu leleh di pipi. Shiha menenggelamkan kepalanya ke dalam tumpukan buku. Toko saat ini tutup lebih awal dan lebih siang, padahal baru pukul dua, tetapi hawanya seperti pukul sepuluh malam.
[Razan Kaku]
Online
Kau di mana? Aku akan singgah ke tokbuk, jadwal mengajarku hari ini tidak terlalu padat.
14:15
[Razan Kaku]
Online
Aku datang selepas reda, ya?
14:16
Shiha hanya mampu membacanya, tidak enak untuk membalas bahwa dirinya enggan berjumpa Razan. Rasanya baru kemarin bertemu di perjamuan makan malam yang tak jelas ujungnya. Shiha pulang seorang diri sebab Kaisa ingin pulang lebih awal karena rewel tidak karuan. Jam tantrumnya masih sering melonjak sewaktu-waktu. Ditambah Reyan mengingkari janjinya pada Razan untuk mengantar pulang, dengan dalih akan pemotretan. Rasanya Shiha masih marah. Semenyebalkan itu keadaannya di mata mereka. Menyedihkan.
Shiha memeluk lututnya sambil sesegukan di atas kursi kayu yang ia duduki. Kepalanya tertunduk tak kuasa membendung rasa sakit yang mengeruk dasar hatinya. Shiha menggeram saat kenangan itu menyusup warasnya. Namun, tiba-tiba tangis itu berhenti saat kepalanya disentuh. Shiha mendongak dengan mata melotot.
“Eh ... ka-m-mu?” tanya Shiha terbata-bata. Kaki wanita itu lekas turun dari kursi, bangkit Shiha dengan wajah yang dipaksakan tersenyum, walaupun sisa tangisnya kentara melekat di wajah ayunya.
“Kamu menutup tokonya, tapi tidak dengan pintunya. Kamu lupa menguncinya?”
Sejenak ... beberapa jenak Shiha terdiam sambil memandang pria di hadapannya dengan tatap sendu. Wajah tegasnya, sorot mata kelabunya, juga senyum yang begitu teduhnya membuat Shiha kembali terduduk dengan pikiran kosong. Bayu Gentarasaka, ia yang selalu disapa dengan nama Gentara. Pria dua puluh satu tahun itu setia tersenyum, berdiri di depan meja Shiha dengan gagahnya. Gentara mendekatkan dirinya semu membungkuk, condong wajahnya pada wajah Shiha.
“Kamu sudah makan siang, Shiha?” tanya Gentara membelai pusat kepala Shiha dengan mesra. “Kita makan bersama, yuk. Kebetulan aku sedang libur tugas.”
“Aku pikir kamu datang untuk pinjam buku seperti biasanya,” ucap Shiha sederhana. Senyumnya perlahan naik.
“Apa aku ini tidak boleh mengajakmu makan bersama? Apa kedatangannya hanya boleh disandingkan dengan kegiatan pinjam meminjam buku, Shiha?”
Shiha tertawa renyah. “Tidak boleh.”
Gentara mendaratkan bibirnya di kening Shiha. Kecupan ringannya berbuah air mata yang membanjiri wajah Shiha. Tangis kembali pecah. Rasanya Shiha ingin menutup diri dan dunianya selagi hujan masih merinai. Shiha benci mengingat rasa sakit yang terus mengusik warasnya. Shiha ingin menghentikan dunia, Shiha tak ingin pergi lebih jauh untuk mengejar cinta, termasuk cinta yang Gentara berikan selama tiga tahun terakhir ini. Shiha tak benar-benar mencintai orang lain selain dunianya sendiri. Shiha kesulitan menggapai apa itu cinta. Shiha takut melukai Gentara.
“Lho, kok, kamu menangis?” Gentara terkejut bukan main. “Ah, baiklah, aku mengalah. Kita batalkan makan siangnya. Mari nikmati hujan di sini sambil membaca buku!” seru Gentara menatap lincah.
Shiha menyandarkan kepalanya di dada Gentara sambil mengatur napasnya. Wanita itu memeluk erat tubuh Gentara yang bidang berisi dengan otot-otot yang masak nan seksi. Tubuh gagahnya yang dibalut kemeja itu memberikan sensasi hangat dalam dada Shiha. Titik tenang pun wanita itu dapatkan saat bibir Gentara kembali mendarat di keningnya.
“Kamu akan segera lulus kuliah, 'kan?”
Gentara tercekat, pria itu meneguk ludahnya. Bola mata kelabunya bergulir. Pertanyaan Shiha seperti bom, meledak tiba-tiba buat jantungnya terus berdebar-debar. Gentara mengangguk dengan yakin. “Emm, satu setengah tahun lagi? Mungkin aku akan jarang pinjam buku setelah lulus nanti. Ah, akan sulit bertemu denganmu, Shiha.”
“Apa aku egois?”
“Tidak sama sekali.”
Shiha menundukkan kepalanya. Rasa takut menyusuri bilik-bilik di dada. Gentara masih setia menunggu jawaban Shiha. Akan tetapi, sulit menerima kenyataan jika usia Shiha sendiri delapan tahun lebih tua dari Gentara. Meski Gentara jauh lebih dewasa.
Suara langkah kaki berhenti di depan pintu. Terlihat Razan yang kuyup berdiri di sana dengan senyum canggung. Bias rona merah muda di pipinya buat Shiha terperanjat, begitupun dengan Gentara. Keduanya lekas melepaskan pelukan masing-masing. Shiha segera berlari ke belakang toko, sebuah handuk kecil dirinya bawa untuk Razan. Pria itu tertawa saat Gentara menutup wajahnya dengan buku super tebal sambil membelakangi dirinya. Tampak punggung Gentara yang melengkung itu bergetar gugup. Razan menepuk punggung Gentara, berbalik pria itu menatap kikuk.
“Iya?” tanya Gentara ketar-ketir. Senyumnya goyah, bola matanya tidak fokus.
“Aku akan mengajak Shiha makan di luar. Mau ikut?”
Gentara bergeming, pria itu hanya mendesah pelan. Sial! pekik Gentara  dalam hatinya. Razan mungkin sudah melangkah lebih jauh darinya. Pantas saja selalu bolak-balik toko buku, rupanya ia juga mengincar cinta Shiha, kelit Gentara, kepalanya tidak mau berhenti bicara. Razan menjentikkan jemarinya di depan wajah Gentara.
“Ikut tidak?”
“Tidak, aku ada kelas dadakan rupanya!” ucap Gentara membenahi buku-buku secara asal. “Aku pinjam ini, ya, Shiha!”
Tidak ada pamitan, tidak juga dengan basa-basi lainnya, Gentara pergi begitu saja meski hujan masih belum reda sepenuhnya. Razan sendiri tidak heran dengan sikap Gentara jika ketahuan berduaan dengan Shiha, muridnya itu memang menaruh separuh hatinya pada Shiha. Walaupun di kampus tidak pernah mengakui, tetapi sorot matanya setiap kali datang ke toko ini selalu berkata bahwa ia benar-benar mengharapkan Shiha bisa membuka hati dan dunianya untuk dibagi bersama. Razan tahu betul bagaimana orang-orang mencintai Shiha dengan cara mereka masing-masing.
Razan memandang Shiha yang berdiri di balik rak buku, menyeka air mata yang masih terus berjatuhan layaknya hujan detik ini. Razan menghampiri, dipeluk erat tubuh Shiha sambil dikecup pusat kepalanya. Tumpah ruah kasih sayang Razan menggetarkan seluruh tubuh Shiha hingga terjatuh lemas Shiha ke lantai. Wanita itu mendorong tubuh Razan menjauh darinya membentur rak sebabkan jajaran buku berjatuhan. Razan terkejut, Shiha tak seperti biasanya.
Razan mencoba memeluk Shiha lagi, sayangnya gagal. Shiha memeluk dirinya sendiri sambil sesegukan. “Jangan sentuh aku, Zan. Tinggalkan aku sendiri hari ini, bisakah?” tanya Shiha dengan lirih.
“Ada masalah apa, Shiha? Ada sesuatu yang menganggu dirimu?” Razan mencoba bertanya dengan suara lembut.
“Aku hanya tidak enak badan. Aku harap kau mengerti.”
“Kalau ada yang menganggu dirimu, berbagilah denganku seperti biasanya. Aku tak ingin kau menanggungnya sendirian.” Razan masih bicara dengan suara lembutnya.
Shiha menggelengkan kepalanya putus asa. Melihat itu, Razan nekat memeluknya meski Shiha meronta-ronta. Razan tak mau Shiha terluka. Razan membelai rambut Shiha, wanita itu tenang walaupun bersisa sesegukannya. “Atur napasmu, Shiha. Ada aku di sini, ada aku, Shiha,” bisik Razan membuat Shiha semakin tenang.
“Aku tidak bisa menerima cinta Gentara, Zan. Aku tidak bisa, dia seperti adikku sendiri. Aku mana bisa menerima lamarannya. Aku tidak layak untuknya, dia terlalu muda dariku. Dia seperti muridku sendiri!” Shiha memaki dirinya sendiri, tangan wanita itu meremas rambutnya frustrasi.
“Tenang dulu, Shiha. Atur napasmu.”
“Zan, aku tidak bisa!”
Razan memegangi kedua bahu Shiha. Pria itu membantu Shiha mengatur napasnya yang berhamburan. Sorot mata cokelat moka Razan menatap dalam, buat bahu Shiha turun tak berdaya. Shiha mendesah.
“Aku masih menggantung cintanya, Zan.”
Razan mengacak-acak rambut Shiha kemudian merapikannya dengan belaian lembut. “Kau bebas menolaknya tanpa harus merasa tidak enak. Cinta itu, kan, antara diterima atau ditolak. Kalau diterima artinya bersambut, kalau tidak diterima artinya belum berkesempatan.”

Book Comment (20)

  • avatar
    MulyaniNanda

    cantik cerita nya

    02/08

      0
  • avatar
    AnggoroSatrio

    yaa mau masih

    19/07

      0
  • avatar
    NrllfbryyNndy

    bagus dan seru

    16/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters