logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Kejamnya Fitnah

Kini akhir bulan, pekerjaan di kantor sedang begitu menumpuk. Banyak berkas laporan yang harus diperiksa, harus menyelesaikan closing bulanan. Tak mungkin kutinggalkan pekerjaan untuk pergi menemui Yasmin hari ini juga.
Hanya melalui ponsel ini saja bisa kucegah agar keretakan rumah tanggaku tak berlarut-larut. Kubalas pesan dari Yasmin.
[Aku harus bagaimana? Pekerjaanku sedang menumpuk, pikiranku ruwet. Apa yang kamu inginkan dariku, Yasmin?]
Tak lama, pesanku langsung terbalas.
[Kejadian itu membekas sekali dalam ingatanku, susah untuk kuterima. Butuh waktu hingga aku baru sadar mungkin saat itu Mas khilaf, aku pun sama. Sudahlah, kita bahas nanti saja. Maafkan aku jika menyakiti Mas dengan kepergianku.]
Maaf? Akhirnya kata itu terlontar duluan dari istriku. Kenapa tak terpikir olehku untuk meminta maaf padanya saat Yasmin akan meninggalkan rumah! Mungkin kata maaf juga yang ditunggunya dariku sejak aku menyuruhnya pulang di acara itu. Bod*hnya aku.
Rasa tenang sedikit menelusup di hati. Meski belum minta dijemput, setidaknya Yasmin sudah melunak hatinya. Istriku sudah kembali menjadi dirinya yang seperti biasanya.
"Pak Yudha, masih pagi sudah melamun?" Panggilan Pak Baskoro membawa anganku tentang Yasmin berlalu.
"Hehe, ini kebanyakan pekerjaan malah jadi suntuk. Ada yang akan kita bahas hari ini, Pak?" Aku mempersilakan rekan kerjaku itu duduk.
"Nanti sore kami mengundang Pak Yudha dan keluarga ke rumah. Kita bisa makan malam bersama, biar tidak suntuk karena pekerjaan akhir bulan."
"Wah, makasih undangannya. Tapi kebetulan istri saya sedang menengok ibunya di kota lama."
"Waduh, sayang sekali. Istri saya sudah siap untuk masak. Ya sudah, Pak Yudha sendiri saja ya gak apa biar kita punya waktu berbincang di luar kantor. Saya ada bisnis untuk Pak Yudha."
"Bisnis apa, ya, Pak?"
"Nanti sore saja kita bahas. Gak leluasa dibicarakan di sini. Saya permisi dulu."
Pak Baskoro meninggalkan ruanganku dengan wajah berbinar. Sepertinya tawarannya tadi tak bisa kutolak.
"Permisi, Pak. Bapak diminta ke departemen HRD." Pak Imam datang menemuiku dengan tergesa.
"Sekarang, Pak?" Tanyaku heran pada staf administrasiku itu, ada masalah apa ini.
"Iya, Pak." Pengganti Riani itu mengangguk sopan.
"Titip ruanganku, ya, Pak Imam." Kurapikan berkas dengan tergesa.
Aku turun ke lantai dua sambil coba menerka, rasanya tidak ada hal yang membuatku harus berhubungan dengan HRD saat ini. Ya ampun, aku baru ingat. Aku baru saja memindahkan Riani dari stafku. Apa panggilan ini ada hubungannya dengan hal itu?
"Silakan duduk, Pak Yuda."
"Baik, Pak. Ada hal penting yang berkaitan dengan pekerjaan saya?" tanyaku penasaran.
"Maaf ini, saya mau klarifikasi. Riani mengadukan bapak kepada kami."
"Mengadukan saya? Atas hal apa, ya?" tanyaku tak habis pikir, kami tak ada masalah selama bekerja bersama.
"Bapak memaksa Riani untuk pindah ke staf transportasi, saya pastikan lagi apa benar alasannya karena ingin ganti staf yang pria seperti permintaan bapak?"
"Saya sudah sampaikan itu kemarin kepada bapak lewat permohonan tertulis 'kan? Hari ini malah sudah langsung dipenuhi permintaan saya. Memang ada masalah apa, Pak?"
"Riani mengundurkan diri dengan alasan bapak memaksanya memanipulasi data penjualan, dia tidak setuju jadi bapak menukar posisinya dengan orang lain."
"Sungguh, Pak. Saya tidak melakukan itu. Apa ada buktinya saya memaksa memanipulasi penjualan? Saya ini sejak di kantor lama selalu bekerja dengan jujur. Tak mau anak istri saya makan dari hasil pekerjaan haram."
"Ini ada file data penjualan bulan lalu dari Riani, asli hasil dari rekapan penjualan di pasaran. Satu lagi file penjualan bulan lalu yang dilaporkan dan sudah persetujuan bapak. Dua laporan itu berbeda jauh nominalnya."
"Sebentar, saya lihat dulu. Bapak tak boleh langsung percaya pada Riani. Bisa jadi laporan rekapan yang dari pasar itu sudah di mark up sama dia untuk menjatuhkan saya."
"Makanya saya panggil bapak ke sini dulu sebelum ditangani team audit. Saya tak begitu saja menerima pengaduan Riani."
"Saya juga menyimpan kok data penjualan dari masing-masing supervisor yang bulan lalu. Sama persis dengan laporan akhir bulan yang saya laporkan, tak berani saya korupsi."
"Iya, Pak. Saya percaya."
"Kita panggil staf keuangan saya ke sini, dia yang menerima setoran penjualan. Kami tak ada merekayasa sedikitpun. Riani itu bikin sendiri laporan palsu. Dia sakit hati sama saya mungkin."
"Kata Riani, bulan ini dia menolak untuk manipulasi laporan seperti bulan lalu jadi dia dipindahkan sama bapak."
"Astaghfirullah, Pak. Itu fitnah! Saya akan buktikan kebenarannya. Tunggu saya ambil file dulu. Saya akan ke sini dengan staf keuangan saya."
Ada-ada saja! Kupikir Riani menerima mutasi kerjanya dengan paham, ternyata dia tega menfitnahku. Dia pasti sakit hati karena tak kutanggapi. Sudah untung kututupi sikap liarnya itu. Aku mencari nomor ponsel Riani bermaksud meneleponnya. Jangan! Nanti akan menimbukkan masalah baru, hatiku mencegah.
Pak Imam melihat kedatanganku saat kembali dengan rasa penasaran. "Tak ada masalah 'kan, Pak? Apa berita tentang bapak yang membuat bapak dipanggil ke HRD?"
"Berita tentang apa, Pak Imam?"
"Kata orang-orang, Riani menolak jadi simpanan bapak lalu dia dipindahkan. Riani bilang ke orang di kantor kalau Bapak kecewa dengan istri yang penampilannya kuno jadi Bapak menggodanya."
"Apa? Gila benar Riani itu! Dia sudah memfitnah saya, Pak Imam. Saya tidak seperti itu, justru Riani yang berusaha mendekati jadi saya menghindari godaannya. Astaghfirullah."
"Sabar, ya, Pak Yudha. Saya tidak percaya meski kabar itu sudah tersebar sejak pagi. Ini cobaan bapak dengan jabatan baru. Semakin tinggi jabatan ya seperti itu, Pak."
"Beraninya Riani menilai istri saya begitu." Aku berkata tak rela, meski aku pun kesal dengan penampilan Yasmin tapi dia istriku yang harus kujaga kehormatannya.
"Bu Yudha sepertinya orang yang sederhana. Saya lihat beliau waktu hadir di acara penyambutan Pak general manajer. Istri saya juga seperti Bu Yudha kok, pakaiannya lebar dan biasa saja."
Tak begitu kudengar lagi perkataan Pak Imam. Rasa kesalku pada Riani membuatku teringat kembali pada Yasmin. Andai istriku itu berpenampilan lebih baik, mungkin Riani tak akan berniat merebutku darinya. Riani pasti menganggap aku dan Yasmin tak serasi, dia melihat celah untuk mencoba menggodaku dengan penampilan sensualnya.
"Tolong panggilkan staf keuangan, saya perlu ke HRD dengannya."
"Baik, Pak."
"Makasih."
Aku menghempaskan diriku di sofa, membuang napas dengan berat. Benar kata orang, saat kita tak harmonis dengan pasangan maka datanglah banyak masalah menyertai hingga ketenangan akan terenggut dari hari-hari kita.
Apa yang sering diangankan oleh kebanyakan laki-laki tentang wanita yang bakal menjadi pendamping hidupnya? Cantik, kaya, dan baik pada suami. Inilah keinginan yang banyak muncul meski jarang ada wanita yang memiliki sifat demikian. Kebanyakan laki-laki lebih memperhatikan penampilan fisik, itu lah mengapa aku ingin laki-laki lain tahu jika aku pun memiliki istri yang cantik dan modis.
Aku juga mendamba memiliki istri yang pandai membawa diri, memberi ketenangan bagi suami dan tempat beristirahat dari ruwetnya kehidupan di luar rumah. Yasmin memiliki kriteria itu, hanya penampilannya saja yang kurang kusukai.
Sayangnya, sangat sulit bagiku dan Yasmin untuk bisa saling terbuka membicarakan hal yang tidak kami sukai. Protes atau komplain diantara kami seringnya berujung perdebatan yang berakhir dengan memendam kembali hingga bisa meledak di waktu lain lagi.
Staf keuangan menemaniku menjernihkan tuduhan Riani padaku, HRD pun memeriksa semuanya. Aku terbebas dari tuduhan Riani. Harusnya aku bisa menuntut dan mempidanakan dia atas laporan palsunya itu, tapi aku malas menambah beban masalah. Biar saja, semoga dia mendapat hidayah kebaikan dan Allah memberiku kebaikan juga.
***
"Ya ampun, Pak. Saya kaget waktu dengar gosip di kantor tentang bapak dan Riani." Pak Baskoro membuka percakapan saat aku jadi berkunjung memenuhi undangannya.
"Gosip yang mana nih, Pak. Kan ada banyak itu gosipnya." Aku terkekeh untuk menenangkan hati biar tak merasa kesal lagi.
"Ituuu yang katanya bapak menggoda Riani. Kaget dong masa istrinya sebaik Bu Yudha gitu masih mencari yang lain lagi." Pak Baskoro ikut terkekeh.
"Oooh, itu. Nasib jadi manajer muda dan ganteng ya gitu, mudah kena fitnah," kataku bercanda.
Pak Baskoro kembali terkekeh mendengar gurauanku.
"Bapak harus hati-hati juga sama godaan wanita, jabatan tinggi bisa menarik wanita untuk memikat bapak." Aku berujar sok menasehati.
"Saya mah gak berani macam-macam. Gaji saya itu istri yang kuasai, saya hanya boleh nyimpan sebagian." Bisik Pak Baskoro pelan, takut didengar istrinya.
Kami tergelak bersama. Benarkah Bu Baskoro seperti itu? Beruntungnya aku yang masih bisa leluasa mengatur uang gajiku dan memberi uang belanja Yasmin hanya sekiranya cukup menurutku.
"Oh iya, bisnis apa ini yang akan kita bicarakan?" tanyaku tak sabar pada rekan kerjaku itu.
Pak Baskoro membawaku dari ruang tamu ke teras sambil melirik istrinya yang masih menyiapkan makan malam di ruang tengah. Seolah tak ingin istrinya itu tahu.
"Kita bicarakan di luar saja, biar lebih santai," kata Pak Baskoro membuatku semakin penasaran.

Book Comment (128)

  • avatar
    123Mawan

    Bang. toapin. aku. bang

    3d

      0
  • avatar
    NurleliNunik

    keren menghayati banget

    6d

      0
  • avatar
    canwil

    yes

    17/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters