logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Wanita Penggoda

Briefing pagi di kantor hampir saja berantakan, aku kehabisan kata saat memberi pengarahan singkat kepada jajaran divisi-divisi di bawahku. Pikiranku buntu, masih tertambat pada Yasmin, Yasmin dan Yasmin.
Rencana kerja harian yang sudah kuevaluasi untuk progress kerja, hari ini kusampaikan dengan kacau, bahkan tak sadar aku marah-marah saat staf divisi memberiku alasan atas evaluasi pekerjaan mereka.
Aku meninggalkan ruang meeting tanpa banyak sapa diikuti para staf dengan pandangan heran karena biasanya aku akrab dan ramah pada mereka.
"Pak, ini laptopnya tertinggal." Tampak Riani menghampiriku, diletakkannya di atas meja laptopku yang ketinggalan di ruang meeting tadi.
"Bapak sedang tidak enak badan?" Riani bertanya dengan nada takut. Gadis yang menjadi staf administrasiku itu menawarkan akan meminta secangkir kopi ke office boy untukku.
Bukan tidak enak badan! Tapi jiwaku yang sedang sakit ... aku meracau sendiri dalam hati.
"Gak usah, makasih. Aku tidak minum kopi sebelum sarapan." Kutolak tawaran Riani.
"Bapak ingin dipesankan sarapan dari kantin mungkin?" tanya Riani lagi.
"Jangan urusi yang bukan pekerjaanmu! Kembali ke ruanganmu, mulailah bekerja saja." Tegas kuminta Riani menjauh dari ruanganku, sebelum dia semakin menjadi sasaran luapan amarahku.
"Maaf, Pak, saya hanya ingin membantu. Dengan senang hati lho saya akan lakukan apa saja yang bapak perintahkan." Gadis itu membungkukkan badan dari depan mejaku.
Aku hanya mengangkat dagu, memberi tanda agar Riani meninggalkanku. Bikin aku semakin merasa terpuruk saja jika diperhatikan olehnya seperti itu, seolah aku ini sedang kurang kasih sayang.
Fokus! Banyak pekerjaan harus diselesaikan, lupakan dulu tentang kepergian Yasmin. Aku pun mulai membuka laptop dan memusatkan pikiran pada pekerjaan.
Dua jam sudah aku berkutat dengan kesibukan saat Yasmin mengirim pesan WA.
[Alhamdulillah, berkat doamu kami sudah sampai, Mas.]
Pesan dari istriku itu mengusik hatiku, Yasmin begitu yakin aku mencemaskan perjalanannya hingga mendoakannya. Dia seolah menganggapku sebagai lelaki bertanggung jawab terhadap anak dan istri.
[Alhamdulillah. Nuna gak rewel?]
[Gak, Nuna ceria saja itu.]
Yasmin mengirim foto Nuna sedang dipangku neneknya sambil tertawa riang.
[Apa ibu bertanya kenapa kalian datang tanpa aku?]
[Iya.]
[Lalu?]
[Ibu sudah menebak jika Mas sibuk dengan pekerjaan sebelum aku menjawab pertanyaannya.]
[Syukurlah. Aku tak ingin ibu mengira kita sedang bertengkar.]
[Jangan khawatir, Mas, ibu tak akan tahu.Tolong selama aku disini, renungkan apakah aku masih tepat mendampingi Mas atau tidak.]
[Yasmin? Kita baik-baik saja bukan?]
[Renungkan saja, Mas, alasan kamu menyuruhku pulang saat acara itu.]
[Apa yang salah?]
Yasmin tak juga membalas pesanku hingga berpuluh menit kemudian.
"Assalamu'alaikum, Pak Yudha." Pak Baskoro sudah berdiri di depan ruanganku sambil mengetuk daun pintu yang sudah terbuka.
"Silakan masuk, Pak," kataku sambil berdiri dari tempat duduk.
Pak Baskoro tersenyum lalu duduk di sofa minimalis di sudut ruanganku, aku menghampiri lalu duduk di sebelahnya.
Kami membahas rencana budget anggaran produksi untuk bulan depan. Sebagai manajer area aku yang memetakan besaran rencana target produksi yang harus dicapai, sedang Pak Baskoro sebagai manajer produksi akan meninjau ulang sebelum mengeksekusi rencanaku.
"Aku sudah dengar kinerja bapak di kantor lama, pasti doa dan dukungan dari Bu Yudha yang membuat karir bapak cepat menanjak." Pak Baskoro memujiku.
Pujiannya membuat hatiku berdesir ngilu, seolah sedang menjadi tersangka karena tak ingat kelebihan istriku itu.
"Emm, iya alhamdulillah." Aku menjawab lirih seperti seorang pecundang.
Ingatanku melayang pada sosok Yasmin, dia selalu melepasku berangkat kerja dengan ucapan doa dari lisannya. Dia juga yang selalu mengingatkan agar aku jujur dalam membuat laporan penjualan dan tidak memanipulasi anggaran kantor.
Bayangan nasihat Yasmin pun membuatku tak berani mengambil sisa uang jika ada anggaran lebih, saat dana anggaran tersisa setelah realisasi budget anggaran. Itu bukan hakku, Yasmin selalu mengingatkan untuk menjauhi yang subhat dan mengembalikan yang tidak halal.
Saat ada audit keuangan, divisiku dulu selalu menjadi yang paling real laporannya dan mendapat predikat divisi yang terbaik. Itu yang membuatku dipromosikan menjadi manajer lebih cepat.
"Gimana nih, kapan keluarga kita bisa saling berkunjung. Sudah tak sabar rasanya mendekatkan istriku lebih akrab sama Bu Yudha, biar gak hanya gaul saja sama teman gengnya hahaha." Pak Baskoro berkata sambil tertawa.
"Eh, tapi jangan-jangan nanti istriku ngajak Bu Yudha gabung sama gengnya, ya. Waduh jangan sampai itu terjadi." Kembali Pak Baskoro tertawa nyaring.
Aku ikut tertawa meski belum begitu paham maksud pembicaraannya. Kenapa pula memangnya dengan geng istri Pak Baskoro itu?
"Ya sudah lah, Pak. Gampang nanti aku kabari kalau mau berkunjung ke rumah bapak, ya. Aku mau lanjut lihat produksi dulu." Pak Baskoro bangun dari tempat duduknya.
"Siaap, Bos. Aku tunggu kabarnya." Aku menjawab dengan ragu, berharap semoga saat kedatangannya nanti Yasmin sudah ada di rumah lagi.
Bunyi riak lambung di perutku tak bisa kuabaikan lagi, belum terisi dari pagi hingga menjelang siang membuat pandanganku sedikit kabur. Terpaksa kupanggil Riani lewat sambungan telepon kantor.
Riani datang tergopoh menghampiriku yang duduk bersandar di kursi sofa.
"Iya, bapak?" tanyanya lembut.
"Tolong pesankan nasi soto dari kantin, sama minta office boy untuk bawakan secangkir teh hangat."
Aku ingat pesan dari Yasmin untuk mengisi makanan dengan menu yang berkuah hangat jika terlambat makan dan perut kosong.
"Saya 'kan tadi sudah mengingatkan untuk makan dulu sebelum bekerja, bapak jadi pucat begitu bisa pingsan lho." Riani berkata dengan suara mendayu.
"Riani! Cepat pesankan!" Aku menegakkan tubuhku sambil menatapnya tajam.
Gadis itu kembali tergopoh meninggalkan ruanganku. Ada-ada saja, dia harus tahu jika orang kesepian yang sedang lapar bisa hilang kesabarannya berlipat-lipat.
[Salat dzuhur dulu sebelum bertambah sibuk, Mas]
Pesan WA dari Yasmin, dia masih mengingatkanku seperti biasanya. Jika biasanya aku kadang bosan membaca pesan serupa itu, tapi kali ini aku senang karena Yasmin tetap perhatian meski hubungan kami sedang tak baik.
Aku tak akan membalas pesan itu, ingin tahu apa reaksi Yasmin jika kuabaikan pesannya. Biar saja! Aku ingin dia merasa cemas dan bertanya-tanya apakah aku mengindahkan perhatiannya.
Riani datang dengan dua mangkuk soto dan dua cangkir teh. Apa dikiranya aku selapar itu hingga harus menghabiskan dua porsi soto yang sudah dilengkapi nasi?
"Aku 'kan hanya pesan satu porsi?"
"Emm, satunya punya saya, Pak." Riani mengambil dari nampan dan menaruh dua porsi soto dan teh itu di atas meja.
Aku melongo melihat gadis manis itu dengan santainya duduk di sofa sebelahku. Dia akan makan di sini bersamaku?
"Saya temani, ya, Pak. Kebetulan saya juga suka makan soto."
Ingin menyuruhnya pergi saja, tapi kok sepertinya kasar sekali. Apalagi dia sudah mulai mengaduk sotonya dan mulai menikmati makanannya itu.
Huft, aku menggeser dudukku menjauh dan mulai mengisi perutku. Harusnya tadi aku salat dzuhur dulu saja seperti kata Yasmin, Jadi aku bisa makan di kantin setelahnya karena mushola ada di lantai bawah berdekatan dengan kantin. Sekarang aku terjebak harus makan berdua dengan Riani.

Book Comment (128)

  • avatar
    123Mawan

    Bang. toapin. aku. bang

    3d

      0
  • avatar
    NurleliNunik

    keren menghayati banget

    6d

      0
  • avatar
    canwil

    yes

    17/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters