logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 INDI #2

Indi menguap untuk yang kesekian kalinya dalam lima belas menit terakhir kuliah Dokter Tuty. Mikrobiologi sebenarnya mata kuliah favoritnya, tapi untuk hari ini matanya seakan nggak mau kerjasama. Bangun agak kesiangan gara-gara mikirin laki-laki cakep yang sudah mengajaknya jalan malem minggu kemarin dan terburu-buru pergi ke kampus tanpa sarapan. Walhasil sekarang matanya separuh merem saking ngantuknya.
Winda menyenggol siku Indi dan gadis itu tergeragap. "Apaan sih?"
"Kamu niat nggak lulus mata kuliah ini ya?" sergah Winda galak.
"Nggak lulus ya ngulang," sahut Indi santai.
Winda cemberut mendengar jawaban Indi.
"Zangrandi yuk," bisik Indi. "Panas banget hari ini."
Wajah Winda berubah cerah. "Ayooo ..."
"Patungan ya?"
"Beres," Winda nyengir.
Zangrandi, jam 2 siang ...
"Eh, itu Camar ya?" tunjuk Winda dengan dagunya ke arah sepasang muda mudi yang berada di pojokan.
Indi mengikuti arah pandangan Winda. "Yep. Sama gandengannya yang baru. Primadona Fakultas Ekonomi. Si Yoan."
"Perasaan dulu kan dia sama si Elvi ya? Yang anak Psikologi?"
"Itu dulu, Win. Sekarang udah beda lagi."
"Wao ... canggih juga ya? Ganti pacar kayak ganti baju," komentar Winda. "Nggak heran sih, kalau lihat modelnya Camar kayak gitu. Siapa juga yang nggak naksir?"
"Kamu naksir juga?" tanya Indi iseng.
Winda tertawa. "Enggaklah. Bukan tipeku."
Indi menyuapkan sesendok besar es krim vanilla ke mulutnya. "Kayak rumah saja, pake tipe segala."
"Kamu sendiri gimana? Tetanggaan sama dia dari bayi, emang nggak naksir juga?"
"Nggak tega, " sahut Indi cuek. "Justru karena udah kenal banget sih, tahu semua kebiasaannya, jadi ilfeel deh."
Winda ngakak. "Trus, kalau ternyata nih ya, Camar mendadak naksir kamu gimana dong?"
"Terus jadi salah satu koleksinya? Aku malah mau ngajukan diri jadi petugas pendaftaran buat cewek-cewek yang naksir dia."
"Lho ... bisa saja kaan ..."
Indi mengelap mulutnya dengan tisu. "Kita mau bahas Camar atau langsung cabut cari buku nih?"
"Ayo deh," Winda bangkit berdiri, tapi gerakannya terhenti saat ada seseorang yang mendekati meja mereka.
"Hai In ...kamu disini juga nih, " sapa Camar ceria. Seorang gadis cantik menggamit mesra lengannya.
Indi meraih tas ranselnya dan bangkit berdiri. "Iya nih. Ngademin otak abis kuliah."
"Kamu mau kemana?" tahan Camar.
"Nyari buku nih. Udah lama nggak cuci mata. Yuk, Win. Cam ... kami pergi dulu ya? "
"Sebentar. Ntar malem jadi kan?" Camar menatap Indi.
Belum sempat Indi menjawab, gadis disamping Camar bersuara. "Ntar malem? Kamu janjian sama dia?" suaranya yang merdu terdengar tajam.
"Ehm ... iya. Aku dapat undangan dari teman. Dia launching kafe-nya yang baru di Pakuwon. Karena Indi suka ke kafe, jadi aku ngajak dia ..."
"Can't believe it! Kamu mau ngajak gadis yang samasekali enggak metropolis ini ke kafe? Kamu nggak malu??" Yoan, gadis cantik itu, memandang ke arah Indi dengan sikap meremehkan.
Camar berbalik menghadap Yoan dan melepaskan tangan gadis itu. "Indi temanku. Aku mengenalnya sejak kami masih kanak-kanak dan aku sama sekali nggak malu jalan sama dia!" tegas Camar. "Kamu, jangan pernah lagi berkata seperti itu padanya!"
Yoan terperangah, nggak mengira tanggapan Camar. Suasana menjadi sedikit tegang. Hening sesaat.
"Selesaikan masalah kalian deh. Kami pergi dulu, " ujar Indi datar dan menggamit tangan Winda.
" Nanti malem, In," tegas Camar. "Aku jemput kamu."
"Apa??" desis Yoan tak percaya.
" Lihat nanti saja deh, " sahut Indi tawar. Matanya menatap Camar tanpa ekspresi. "Aku balik dulu."
Camar masih akan mengatakan sesuatu, tapi Indi sudah keburu menyeret Winda keluar dari Zangrandi.

Malam itu Indi sedang menyalin catatan kuliahnya sembari mendengarkan Dave Koz, saat didengarnya ketukan dipintu kamarnya. Wajah Nina, teman satu kosnya, menyembul dari balik pintu.
" Ada Camar tuh, " Nina melongokkan kepala. "Lagi sibuk ya?"
Indi melepas headset-nya. "Enggak. Lagi nyalin catetan. Makasih ya, " Indi menyenyumi Nina. Gadis itu balas tersenyum, lalu meninggalkan kamar Indi.
Indi mengembuskan nafas letih. Duh, ngeyel amat tuh cowok ya? Nggak kapok gara-gara udah berantem sama ceweknya, eh sekarang masih nekat ngajak dia ke launching kafe temannya. Dengan malas Indi membereskan bukunya dan menatanya dengan rapi di rak. Gadis itu memakai sandal rumahnya dan berjalan menuju ruang tamu.
"Lho, belum siap, In?" Camar memasukkan ponselnya ke saku celana.
Indi mengangkat bahu. "Yakin nih, tetap mau pergi?"
"Yakin."
Indi menimbang sejenak, berpikir selama beberapa saat. "Oke. Dengan satu syarat."
"Apa?"
"Kalau kau bisa menjamin bahwa kita nanti nggak bakalan dikeroyok bodyguard-nya Yoan ..."
Camar menatap Indi dengan pandangan serius. "Nggak akan! Aku jamin."
"Oke. Tunggu sebentar ya?"
"Dandan yang cantik ya?" usil suara Camar.
Indi berdecak. "Cuma pergi sama kamu doang pake acara dandan? Please ..."
Camar terbahak mendengar jawaban Indi. Ngobrol dengan gadis itu amat menyenangkan. Sikapnya yang bersahaja dan nggak neko-neko membuat Camar merasa nyaman. Atau mungkin karena sudah kenal lama, jadi sudah kayak saudara sendiri.
Tadi siang, setelah Indi dan Winda keluar dari Zangrandi, Camar juga ikut keluar dari tempat itu. Ia dan Yoan bertengkar hebat. Yoan terlalu posesif dan amat pencemburu. Nggak bisa lihat ia bergaul dengan teman dan selalu harus laporan padanya tiap lima menit. Gila! Apa-apaan ini? Maminya saja nggak segitu protektifnya.
Camar masih menatap ponselnya dengan kesal. Lebih dari sepuluh panggilan tak terjawab Yoan, lima belas sms bernada marah dan merajuk, tapi Camar samasekali tak tergerak untuk membalas. Cowok itu malah mematikan nada dering ponselnya dan saat ia sibuk menatap layar ponsel, Indi keluar dari dalam. Jemarinya masih sibuk mengikat rambut panjangnya di belakang tengkuk saat Camar memandangnya tak berkedip.
Camar menatap Indi seakan ia baru pertama kali melihat gadis itu. Dengan balutan rok jeans dan blus bunga-bunga, Indi nampak amat berbeda dimata Camar. Sepasang Converse warna biru laut dan tas cangklong yang berwarna senada dengan roknya, membuat penampilan Indi amat enak dilihat. Sekali ini, Camar baru menyadari kalo Indi memiliki garis wajah yang sulit dilupakan. Cantik.
Camar menenangkan jantungnya yang mendadak jungkirbalik. Cowok itu sampai lupa menutup mulutnya.
Indi menggoyangkan jarinya di depan wajah Camar.
"Halo ... ada orang?"
Camar tersadar dan mendadak salah tingkah. "Eh ..."
"Jadi berangkat nggak? Oh iya aku lupa tanya, kita naik motor apa angkot?" Indi merapikan blusnya.
"Mobil dong," jawab Camar.
"Oh."

"Ini mobil punya Mas Elang ya?" Indi sibuk membuka dashboard, mencari kaset lagu-lagu. Mungkin saja ada Kitaro atau Vanessa Mae nyangkut disitu. Hah ... cuma ada musik bernuansa jazz dan rock. Rock? Mas Elang suka musik rock?
"Iya lah ... aku kan belum mampu beli mobil sendiri, In. Papi nawarin sih, tapi aku males. Lagian, mobil ini nganggur juga kok," Camar meringis.
"Memangnya Mas Elang nggak pernah pakai mobil ya?"
"Yaa ... pernah sih."
"Tapi kamu yang maksa buat tukar motormu sama mobil ini?" tebak Indi.
Camar tertawa. "Ya dong. Cewek-cewek sekarang kan sukanya cowok yang bawa roda empat. Jadi mumpung ada yang kurampok, ya kenapa enggak?"
"Mas Raja kan juga udah punya mobil?"
Camar bersungut. "Maksudmu, Hardtop yang lebih cocok dibawa ke Bromo daripada ke mal? Gaun pesta cewekku bisa sobek dong."
"Apa yang terjadi dengan prinsip hidup apa adanya?" tanya Indi geli. "Kamu mentingin gengsi banget ya?"
"Kalau bukan kamu yang ngomong, sudah kujitak beneran nih. Ngomong soal gengsi," Camar mendengus. "Aku kan cuma kepingin cewek-cewek naksir aku."
Indi mengubah posisi duduknya dan menghadap Camar. "Kau tahu sesuatu, Cam?"
Camar menoleh sekilas ke arah Indi. "Apa?"
"Kau istimewa. Kau punya semua yang mampu bikin cewek-cewek naksir sama kamu. Dengan atau tanpa mobil ini," Indi menatap Camar dengan serius. "Jadilah dirimu sendiri, Cam."
"I will," sahut Camar sederhana.
"Terus, Mas Elang yang bawa motormu ya?"
Camar tertawa. "Enggaklah. Motor sport merah itu punya dia sendiri. Itu motor kesayangannya, In. Kamu kan tahu kalau Mas Elang juga suka touring ..."
"Oh ya? Ikut club juga?"
Camar mengangkat bahu. "Terakhir setauku iya, cuma kadang karena kesibukan, jadi jarang kumpul sama komunitasnya. Lagian, ngapain kita jadi ngobrolin soal kakakku sih?"
"Iya deh, ganti topik ya. Sudah absen ke Yoan?"
Camar tambah merengut. "Putus."
Indi menepuk bahu Camar. "Kita nikmati malam ini, oke? Bawa mobil ini dengan selamat menuju Pakuwon."
Camar tak menyahut, hanya tersenyum tipis dan melajukan mobil ke arah salah satu mal di kawasan Pakuwon.
Indi masih mengamati dekorasi kafe yang bernuansa Italia saat dilihatnya Camar masih asik ngobrol dengan Andre, sang pemilik kafe. Sial si Camar, begitu sampe kafe dan menu sekian banyak ini sudah terhidang, cowok itu malah kabur. Ketemu teman sekampus, sekaligus dirubung cewek-cewek yang genit main mata ke arah Camar.
Indi menggerutu sedikit, lalu memutuskan untuk cuek. Maka ia mengamati lebih detil nuansa kafe, termasuk hidangan yang menggugah selera di depan hidungnya. Menunya serba Itali, mulai dari es krim sampai pizza yang full modifikasi. Termasuk es berwarna-warni yang sekarang di depannya. Indi memotret sebentar dengan kamera ponselnya, lalu mencicipi rasanya. Sial, ia lupa membawa Eos 700d-nya. Indi kembali konsentrasi ke minuman di depannya. Ada sedikit campuran rasa soda disitu. Nama minumannya Glitter Night. Indi mengangguk-angguk. Boleh juga tampilan minuman ini. Bisa untuk inspirasi, batinnya. Kemudian gadis itu mengeluarkan ponselnya dan mulai membuka game. Sesaat kemudian, benda itu berbunyi. Indi melihat sekilas layar ponsel dan bibirnya menyunggingkan senyum ceria.
"Mas Elang? Hai ..."
"Nona? Lagi repot ya?"
"Enggak. Ini lagi di kafe. Diajak Camar ke launching kafe temannya, Mas ..."
"Ohh ..."
"Mas nggak terbang?"
"Sejam lagi. Nih masih ada waktu buat ngopi sebentar. Camar ada di situ? Aku ganggu ya?"
"Ganggu apa ... aku malah seneng Mas telpon aku. Camar lagi mojok tuh, sama yang punya kafe. Ngobrol mulu dari tadi."
"Kamu dicuekin nih ceritanya. Lagi apa tadi, pas aku telpon?"
"Main game, " Indi meringis.
Terdengar suara tawa lunak Elang di seberang sana. Indi senang sekali mendengar suara Elang.
"Mas ..."
"Apa?"
"Mas harus sering-sering tertawa ..."
"Oh ya? Kenapa?"
"Suara Mas enak kedengarannya di telinga Indi, " jawab Indi lirih.
Jawaban Indi justru membuat Elang tertegun. Hening sejenak. Indi menggigit bibir. Suasana mendadak canggung.
"Mas ... maaf ya ..."
"Apa yang perlu dimaafin, Nona?" lembut suara Elang terdengar. "Kamu main game apa tadi?"
"Bubble Shooter?"

Elang tertawa. "Aku pamit, Nona. Pesawatku mau berangkat nih."
"Lho ... bukannya kalau nggak ada Mas, pesawat nggak akan berangkat ya? Kemana lagi nih sekarang?"
"Cina, dear. Jadwalku rute Asia, kali ini. Mau oleh-oleh apa?"
"Apa aja deh. Oleh-oleh nggak penting. Yang penting Mas selamat dan bisa nelpon aku lagi. Berapa lama Mas terbang?"
"Kalau rute Asia biasanya satu bulan. Doanya ya dear. Ya, aku pasti telpon kamu lagi. Janji!"
"Dah, Mas ... hati-hati. Jaga diri baik-baik."
"Dah ..."

Camar menghempaskan tubuhnya di depan Indi dengan setengah hati. Raut wajahnya merengut.
"Kenapa? Ada masalah ya?" tanya Indi.
"Enggak!"
"Cam?" Indi menatap Camar dengan sepasang matanya yang bening. Gadis itu menyentuh tangan Camar sekilas. "Ada apa?"
"Kamu dapat telpon dari siapa?"
Indi sedikit rileks. "Ohh itu ... Mas Elang telpon aku. Dia mau terbang, katanya, " Indi tersenyum manis.
Camar cemberut. "Ngapain sih kakakku sekarang mendadak suka telpon kamu?" dengus Camar.
Kening Indi mengernyit. "Apa yang salah? Kalian semua sudah kayak keluarga buat aku. Jadi ya biasa ajalah kalau Mas Elang telpon. Nggak ada bedanya kayak kita pergi sekarang kan?"
Camar melengos. Ucapan Indi ada benarnya juga. Lagipula kenapa ia harus marah-marah lihat Indi tertawa-tawa ceria di telpon, sementara ia sedang ngobrol dengan Andre? Baru juga ditinggal ngobrol sebentar ...
"Cam?"
"Tapi kenapa sih harus telpon kamu? Nggak ada perempuan lain apa, yang bisa dia telpon?" gerutu Camar. Raut wajahnya masih nggak enak dilihat. Alisnya menyatu ditengah dan bibirnya membentuk garis lurus.
Indi tertawa melihat gaya Camar. "Masih mau cemberut terus nih? Aku pulang saja lah kalau gitu. Kita kan disini mau fun, eh kamu-nya malah merajuk begitu. Nggak lucu!"
"Kamu sih ..."
"Kamu tuh ... sama kakak sendiri kok marah-marah."
"Siapa yang marah," elak Camar. Gengsi juga dia, ketauan kalau cemburu sama kakaknya sendiri. Heh? Cemburu? Diam-diam Camar menelan ludah dengan susah payah. Sialan, padahal sebelumnya nggak pernah kayak gini. Diliriknya lagi Indi yang sedang memasukkan ponselnya ke dalam tas dan dengan santai menikmati pertunjukan musik di panggung mungil yang terletak agak ke sudut. Pelan Camar mengembuskan nafas dan menyendok es krimnya dengan setengah hati.

Camar menghentikan mobilnya di depan rumah kos Indi. "Jumat besok pulang?" Camar mematikan mesin mobil.
"Iyalah. Kasihan Papa sama Mama kalau aku nggak pulang. Mereka pasti kangen aku, " Indi meringis.
"Bareng aku nggak nih?"
"Trus hari Senin aku bareng kamu lagi? Aku ada kuliah super pagi lho, langsung ke kampus."
"Beres, ntar aku anterin ..."
"Boleh deh kalau gitu. Lumayan ngirit bensin motor ..."
"Aku pulang dulu ya? Sudah ditunggu sama Ganang."
"Kalian mau keluar?"
"Iya. Biasalah cowok, " Camar cengengesan. "Ganang punya gebetan baru."
"Wah...Ganang ngajak kamu kerumah gebetannya?Taruhan, pasti si cewek naksir kamu, " Indi membuka pintu mobil.
"Ogah, " sahut Camar. "Mendingan naksir kamu."
"Ogah," balas Indi. Suaranya terdengar geli. "Mendingan naksir kakak kamu."
Camar tersenyum masam. "Serakah kamu ya? Kakakku dua-duanya kau taksir?"
Indi tergelak. "Astaga, Cam. Kenapa kamu jadi oversensitif sih? " Indi mengibaskan tangan. "Aku masuk dulu. Makasih banyak."
Masih terdengar sisa tawa Indi saat gadis itu masuk ke dalam rumah kosnya. Camar masih mematung sebelum ia memutar kunci dan menghidupkan mesin mobil. Indi pasti bercanda kan? Nggak mungkin gadis itu naksir kakaknya. Mas Raja kan kabarnya sedang didekati cewek anak Bosnya. Sedangkan Mas Elang kan seorang laki-laki dewasa yang berstatus duda. Pasti nggak mungkin, pikir Camar optimis. Eh, lagipula, sejak kapan ia ribut dengan Indi dan urusan pribadinya?
Tapi yang jelas, ia yang punya kesempatan punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama Indi. Bukan Mas Raja, atau Mas Elang. Tapi dia. Dengan pemikiran seperti itu, akhirnya Camar bisa tersenyum lagi dan melanjutkan perjalanan menuju rumah Ganang.
Suara dering telepon sayup-sayup membangunkan Indi. Gadis itu meraba-raba kasurnya, mencari ponselnya yang berdering.
"Halo, " sapa Indi dengan suara serak. Matanya separuh terbuka dan melirik jam di dinding. Jam empat pagi.
"Nona? Maaf, kamu masih tidur ya? " tanya suara lunak dari seberang sana.
Indi langsung terduduk. "Mas Elang?"
"Iya. Di sana jam berapa? Maaf ya? Aku bangunin kamu nih ... "
"Nggak apa-apa, Mas. Udah mau subuh juga. Mas dimana? Selamat sampe Cina?"
"Berkat doamu, ya, aku membawa pesawat dengan selamat sampai Cina. Oh ya, aku punya sesuatu buat kamu. Tunggu aku pulang ya?"
"Pasti. Jaga diri baik-baik, Mas," suara Indi terdengar lembut di telinga Elang.
"Kamu juga. Sampai ketemu lagi ..."
Sambungan terputus. Indi menutup ponselnya dengan hati berbunga. Mas Elang mau pulang dan apa katanya tadi? Laki-laki itu membawa sesuatu untuknya? Indi merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memeluk gulingnya yang berbentuk boneka Garfield. Indi ingat, guling itu juga kado dari Elang saat ulang tahunnya yang ke empat belas. Sejak itu, kemanapun Indi pergi guling itu selalu bersamanya.
Sementara itu di suatu tempat di Bandar Udara Internasional Beijing, Cina. Seorang laki-laki dengan postur jangkung atletis dan berpotongan cepak sedang duduk sendiri, menikmati secangkir kopi dan sepiring roti yang mulai dingin. Jasnya tersampir disandaran kursi, sementara tasnya tergeletak begitu saja disampingnya.
Tangannya menimang sebentuk cincin dan gelang dari batu giok. Cincinnya sederhana dan unik, memiliki desain yang sama dengan gelangnya. Gelangnya dari tali berwarna merah dan ada hiasan batu giok yang berwarna hijau agak tua, sementara cincinnya juga dari tali merah yang bisa diatur besar kecilnya lingkaran jari dan berhias batu giok mungil. Kata si penjual, tali cincin dan gelang itu memang khusus untuk aksesoris giok, jadi nggak mudah putus dan aus dan sekarang laki-laki itu sedang terpekur menatap kedua barang itu, hingga tak menyadari ada seseorang yang menepuk bahunya dari belakang.
"Mas ... mana yang lain?" sapa Tio, co-pilotnya. Laki-laki yang dua tahun lebih muda itu menghempaskan tubuhnya didepan Elang. "Wow ... apa itu, Mas?"
Elang berdeham-deham, agak sedikit salah tingkah. "Eh ... "
Tio memajukan tubuhnya, mengamati barang yang di tangan Elang. "Cincin giok ya? Sama gelang? Wah, bagus banget, Mas. Pasti mahal nih. Buat siapa?"
"Aku lupa harganya. Yang penting bagus ..."
Tapi Tio seperti nggak mendengar ucapan Elang. "Nggak mungkin buat Erika, kan? Atau ...," Tio menggantung pertanyaannya dan menatap Elang dengan sangsi.
"Bukan. Bukan buat Erika. Aku sudah nggak ada apa-apa sama dia. Ini buat ... eh, adikku, " jawab Elang.
Tio meringis. "Ngapain juga bohong sama aku, Mas. Aku percaya kalau kamu sudah nggak ada apa-apa sama Erika, karena terakhir aku dengar ia sedang menjalin hubungan dengan pengusaha asal Medan ..."
"Stop! Aku nggak mau tahu soal kabar Erika, " sahut Elang tegas.
"Itu maksudku. Mas bisa bersikap tegas soal Erika dan salah tingkah waktu aku tanya soal cincin dan gelang ini?" Tio berdecak. "Adik yang mana? Bukannya adik Mas cowok semua? "
Tio menahan tawanya. Elang tersenyum masam.
"Kenapa kelihatan ragu-ragu begitu, Mas?"
"Yah ... karena harusnya ia kuanggap adik ..."
Tio mengangkat sebelah alisnya. "Tapi?"
"Tapi gadis itu sekarang ia sudah dewasa, dan ..."
"Cantik?"
Elang mendesah pelan. Terbayang sosok Indi yang cantik dengan kulit sewarna gading, tinggi dan ramping, gayanya lincah, serta senyumnya yang secerah matahari pagi. Tidak, Indi tidak cantik. Indi luar biasa cantik dan istimewa.
"Sempurna, " jawab Elang sederhana.
"Well ... kalau memang seperti itu, berjuanglah Mas. Aku mendukungmu, " Tio menepuk bahu Elang dan bangkit berdiri. "Pesawat kita mau berangkat. Ayo kita bawa penumpang pulang dengan selamat."
Elang meneguk kopinya, memasukkan gelang dan cincin giok itu ke dalam kotaknya, menyambar jas dan tasnya, lalu bergegas mengikuti langkah-langkah Tio.

Book Comment (117)

  • avatar
    WicaksanaWira

    okk

    21/08

      0
  • avatar
    Zakihanan

    bagus

    13/08

      0
  • avatar
    GabrielaFelicia

    SGT seru ceritanya

    07/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters