logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 4

Diksi hanya menggerakkan bibir tanpa suara, sehingga kedua orang tuanya tak paham apa yang dikatakan. Namun, wanita paruh baya itu tahu karena menilik wajah putrinya yang kesakitan dan air matanya yang menetes di pipi.
"Diksi, jangan banyak bergerak dulu, Nak! Kamu habis kecelakaan dan operasi, istirahatlah dulu!" kata Hesti seraya menyambut uluran tangan Diksi dan bergerak lebih dekat. Air mata hampir saja lolos dari kelopak mata. Hati pun tak tega, sang anak menahan sakit dengan mata terpejam dan gigi menggigit bibir bawah. Diksi menggenggam tangan ibunya kuat, hingga terlihat otot hijau pada jari-jari.
Waktu berjeda beberapa saat, menunggu hingga Diksi berdamai dengan rasa sakitnya. Hanya butuh beberapa menit, lalu ia membuka mata.
"Bu, kenapa sakit sekali? Apalagi dari panggul sampai kaki. Apa yang sebenarnya terjadi?" Diksi bertanya dengan suara serak dan pelan.
"Minum dulu ya, Nak!" Hesti meraih botol air minum dan memberikan pada anaknya. Kemudian dia sadar, Diksi tidak bisa minum secara langsung lewat botol. Hesti segera mencari sedotan untuk memudahkan anaknya minum air. Beruntung apa yang ia cari ada dalam plastik wadah botol, bapak penjual di kantin yang berinisiatif memberi sedotan ketika Herman membeli.
Tenggorokan Diksi yang kering terasa lebih ringan setelah minum beberapa teguk air. Kemudian dia menolehkan kepala ke arah ibunya secara perlahan, sedikit saja tubuhnya bergerak ia merasa sakit sekali. Dari tatapan mata, Diksi meminta penjelasan dari ibunya.
"Kamu mengalami kecelakaan, Diksi, mobilmu menabrak pohon dan kakimu terjepit," jelas Hesti perlahan dan pelan.
Seketika terlintas dalam ingatan Diksi saat sebelum kejadian. Ia memang menyetir dalam keadaan sedikit emosi sehingga kuat menginjak pedal gas. Ketika ingin mengurangi kecepatan ia panik karena pedal rem tidak berfungsi dan akhirnya mobilnya menabrak pohon di samping jalan lalu ia tidak ingat apa-apa.
"Katakan bagaimana kondisi tubuhku sekarang, Bu! Aku merasa ada yang tidak beres di kakiku," desak Diksi pada ibunya.
Hesti memandang suaminya, ia tak kuasa jika harus menceritakan kondisi Diksi sekarang. Kerlingan mata Hesti bagai perintah bagi Herman untuk menjawab pertanyaan putrinya.
"Ka-kamu mengalami pa-pa-patah tulang kedua kaki dan … dan …." Tenggorokan Herman tercekat tak mampu melanjutkan kata.
"Dan apa, Pak?" tanya Diksi. Hesti pun ikut mendesak dengan menyenggol lengan suaminya menggunakan sikut.
"Dan patah tulang panggul."
Diksi sontak melebarkan bola mata dan kabut tipis mulai menyelimutinya. Ia tahu apa resiko dari patah tulang yang dialaminya karena sering membaca buku kedokteran dari kekasihnya dulu.
"Jadi, Diksi sekarang lumpuh dan tidak bisa punya anak?" tanya Diksi diiringi isakan dan deraian air mata di pipinya. Pun dengan kedua orang tua di ruangan itu mulai terdengar isakan dari mulutnya.
"Sementara, Nak. Dokter bilang kamu bisa jalan kembali jika rutin terapi," ucap Hesti di sela isakan. Tangan kirinya mulai mengelus pucuk kepala Diksi. Ia mencoba mencurahkan kasih sayang dan mentransfer energi positif lewat belaian tangannya.
"Tapi Diksi tak bisa punya anak, Bu! Bagaimana nanti dengan Mas Leon? Ia pasti tidak bisa menerima," kilah Diksi. Kali ini ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi wajahnya. Ia tak memedulikan tubuhnya yang kesakitan saat tangannya bergerak.
"Diksi, kamu masih punya Allah dan kami orang tuamu. Jika Leon tak bisa menerimamu, kami akan senang hati menggantikannya. Apapun kondisimu kamu tetaplah Diksi, anakku." Kali ini Herman berucap menggebu dan to the point. Ia masih sanggup jika harus merawat anaknya kembali bila kelak suaminya tak menginginkan lagi.
Malam pun berlalu dengan diam disertai isakan bergantian. Karena lelah dan mengantuk satu per satu mulai terlelap ke alam mimpi, tak terkecuali Diksi.
Keesokannya Hesti dan Herman terbangun saat azan Subuh berkumandang. Secara bergantian mereka menunaikan salat, sementara Diksi masih terlelap dalam tidurnya.
"Pak, apa sudah ada kabar dari Leon?" Hesti bertanya sambil melipat mukena.
"Tadi malam belum kucek karena baterainya habis, sebentar aku lihat dulu!" Herman pun segera melihat isi pesan di ponselnya dan lanjut berkata, "Leon sudah membalas, nanti dia akan langsung ke rumah sakit setelah pulang dari luar kota, Bu."
"Syukurlah kalau ia akan segera datang, Pak. Kasihan putri kita harus melewati musibah ini tanpa didampingi suami," sesal Hesti sambil menatap putrinya yang masih menutup mata.
Herman pamit pulang untuk mengambil baju ganti dan membawakan makanan nanti. Jadilah hanya Diksi dan ibunya yang ada di kamar. Tak lama dua perawat datang memperkenalkan diri sekaligus mengecek kondisi pasien.
Pemeriksaan selesai bersamaan dengan pintu diketuk, saat terbuka muncullah Leon dan segera masuk dengan penampilan kusut khas orang baru pulang dari bepergian jauh. Ia mencium tangan ibu mertuanya yang sedang duduk di sofa dan pucuk kepala istrinya.
"Maaf aku sedang di luar kota kemarin, Bu, dan di sana sangat susah sinyal."
"Tak apa, Leon, yang penting kamu sudah sampai sini dengan selamat."
"Lalu bagaimana kondisi Diksi, Bu?"
"Seperti yang kamu lihat, Leon. Lebih jelasnya kamu tanya perawat saja mumpung masih di sini!"
Perawat yang bernama Sinta pun menjelaskan kondisi Diksi pada Leon. Jika nanti dirasa kurang jelas bisa menemui dokter untuk penjelasan lebih lanjut. Setelah selesai kedua perawat pamit undur diri hendak melanjutkan pekerjaan. Namun, pemandangan aneh dilihat oleh Sinta saat menutup pintu. Ia melihat Leon tersenyum sambil menyeringai jahat saat menatap istri yang berbaring di hadapannya.
***

Book Comment (52)

  • avatar
    MursalinAhmad

    sungguh menakjubkan

    15d

      0
  • avatar
    Zhuelforce

    sangat memuaskan

    23d

      0
  • avatar
    Riyuzii

    ini sangat bagus

    13/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters