logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

2. Always Together Forever

Bawa aku kedalam hatimu,
Bawa aku kedalam jiwamu.
Ulurkan tanganmu untukku sebelum aku menua.
Tunjukkan padaku apa itu cinta?
Tunjukkan padaku bahwa keajaiban cinta bisa menjadi nyata.
Rivat & Rania
*****
"Ya Allah... semoga ini jawaban istikharah ku." lirih Rania.
"Ya Allah... semoga ini jawaban istikharah ku." lirih Rivat
----------
Heru menemani Rivat ke toko perhiasan ternama.
"Ide lo mengkhitbah Rania sangat jenius " ucap Heru. " Lo mengikat Rania dengan tali yang tak tampak, efisiensi lo patut di puji. "
"Gue emang jenius. " Rivat tersenyum.
"Secara tidak langsung lelaki lain tak bisa mendekati Rania karena dia terikat hukum khitbah bersama lo. "
Rivat kembali tersenyum, dia memberikan sebuah nota kepada seorang karyawan di toko perhiasan itu, mata Heru melotot membulat sempurna melihat nominal di nota itu.
"Lo gak salahkan beli cincin tunangan segitu mahalnya? Kalo khitbah lo di tolak gimana? Kan sayang cincin berlian nganggur."
Rivat masih tersenyum, bertepatan karyawan tadi memberikan sebuah kotak.
Rivat tangsung membuka kotak beludru berwarna merah, ditatap nya dua cincin satu polosan dan satu bermata indah.
Rivat mengeluarkan kedua cincin itu dan melihat dengan teliti tulisan yang terukir di dalam kedua cincin Rivat & Rania.
Heru merebut cincin yang polos, dan ikut melihat ukiran di dalam cincin.
"Romantisnya, sungguh di sayangkan kalo khitbahnya di tolak, gue butuh waktu puluhan tahun untuk nabung biar bisa beli cincin semahal ini. "
Rivat memakai cincin polosan di jari manisnya, senyum terkembang.
"Gue sangat yakin jika Rania memang jodoh gue. "
Rivat segera beranjak dari toko perhiasan itu. Lanjut ke parkiran.
"Bagaimana lo bisa yakin kalo Rania jodoh lo, apa ada tanda-tandanya? "
"Setiap gue menatap wajahnya mata gue langsung memberi respon ke jantung dan hati gue, lalu di teruskan ke otak, nah saat di otak langsung dapat jawaban, Rivat Irham dia.... jodohmu."
Rivat terkekeh saat melihat wajah Heru yang mendengar ocehannya dengan serius.
"Oh kalo begitu jodoh gue banyak dong, gue selalu merasa begitu saat lihat wanita berwajah cantik. "
"Bukan begitu, kalo itu nafsu namanya, gue juga dulu lihat mantan gue biasa aja malah risih, tapi saat melihat Rania di taman sekolah itu, ada sesuatu yang berbeda, yang tak bisa di uraikan dengan kata-kata, hanya bisa di rasa oleh dada. "
"Oh begitu ya " Heru manggut-manggut seakan mengerti.
"Tapi... mimpiku setelah sholat istikharah kemarin malam sangat jelas, aku bermimpi tentang Rania, semoga itu petunjuk dari Allah untukku. "
"Aamiin, semoga saja. " Heru menepuk bahu Rivat. " Aku ikut bahagia untuk mu."
Mobil telah masuk di garasi rumah Rivat. Heru terus mengekori Rivat masuk kedalam rumah.
"Jika Rivat tidak dapat penanganan segera, nyawanya bisa dalam bahaya. " suara dokter Rizky terdengar menusuk telinga Rivat dan Heru.
"Kita harus segera mendapatkan donor hati untuk Rivat, sebelum sirosis itu berkembang ke seluruh hatinya dan semuanya memburuk. "
"Bagaimana hasil tes hati kami berdua dan anggota keluarga kita yang lain ? " tanya ummi.
"Semuanya tidak cocok"
"Astagfirullah...! " tangisan ummi makin kuat.
"Lalu bagaimana dengan beberapa donor yang sudah kita dapat kemarin dari kantor PMI ? " tanya abi dengan nada cemas.
"Semuanya juga tidak ada yang cocok, hati Rivat berbeda, sangat sulit dicari yang cocok belum lagi sirosis nya terus berkembang."
Rivat membeku, napasnya tercekat, begitu pula Heru tampak syok seperti Rivat.
"Sirosis, bagaimana mungkin? " lirih Rivat.
Rivat berjalan tergesa kearah sumber suara, di ruang keluarga.
Tampak ummi Nessa yang sedang menangis terisak, abi tampak menutup wajah dengan kedua tangannya, dokter Rizky memijid kepalanya, Daffa dan Leo tak jauh berbeda, Leona dan Alin pun sama kusutnya. Kertas-kertas catatan medis berserakan di atas meja.
"Tolong jelaskan ada apa ini? "
Suara Rivat mulai berat, melihat keadaan disekitar, tidak mungkin dokter Rizky sedang bercanda dan tidak mungkin juga dia salah pendengaran.
"Tolong ummi jelaskan padaku yang sebenarnya. " Rivat berjongkok di depan umminya, dan memegang tangan umminya yang mengepal di atas paha. Tetesan air mata ummi membasahi tangan Rivat.
"Rivat anakku. " tangis ummi pecah dia membelai kepala Rivat. "Kau akan baik-baik saja Rivat. " ummi terisak.
" Ummi dan Abi akan mencarikan donor hati untukmu, nak. " Ummi menarik napas panjang, tetesan air mata kembali menetes ketangan Rivat.
"Walau ke ujung dunia ummi akan cari untukmu hiks... hiks... Ya Allah kenapa harus Rivat, kenapa anakku yang Engkau pilih, kenapa bukan aku saja yang lebih tua?"
"Ummi tenang, yang sabar. " Abi beringsut mendekat dan memeluk istrinya.
"Donor hati...! " lirih Rivat pelan.
'Kemana harus mencari donor hati, donor yang paling sulit dicari, dan tidak ada satu hati anggota keluarga pun yang cocok dengan hatinya.'
"Ya Allah...! cobaan apa lagi ini? " desah Rivat memegang dadanya dan ikut menangis pilu. Abi Hendrawan berjongkok dan memeluk Rivat, Rivat menangis sejadi-jadinya di pelukan abinya.
"Kenapa abi... kenapa kenyataan ini baru terungkap saat Rivat sudah mengkhitbah Rania, kenapa...? Kenapa kalian merahasiakan nya dariku, kenapa? "
"Maafkan abi, nak! Abi tidak ingin kau frustasi, dan abi juga tak tahu kalo malam itu kau mau mengkhitbah Rania, maafkan abi. "
"Apa yang harus aku katakan padanya, abi, apa...? "
"Tenang Rivat, kita bicarakan baik-baik dengan Rania. "
"Tidak abi, aku mohon jangan beritahu Rania. " air mata Rivat mengucur, " Dia tidak boleh tahu keadaanku, dia... dia akan sangat menderita. " suara Rivat bergetar menahan tangis.
Bayangan Rania saat menangisinya dirumah sakit mulai memasuki kepala Rivat.
"Melihatku di ruang ICU saja dia sudah sangat menderita abi, apalagi kalo aku benar-benar meninggalkan dunia ini. "
"Kau akan selamat Rivat. " ucap ummi separo membentak, mengguncang tubuh Rivat, yang mulai lemas di pelukan abinya.
"Ummi akan carikan donor untukmu, semua orang di dunia ini akan ummi minta tes hatinya untukmu hiks... hiks... Ummi akan terus mencari sampai dapat."
Semua wajah sudah basah kuyup oleh air mata, begitu juga Heru.
Dada Rivat seakan di tikam belati, dadanya sesak, pandangannya kosong, pikirannya melayang.
'Ya Allah... jika ini memang ujian darimu untukku hamba ikhlas, tapi hamba mohon, beri Rania kebahagian di dunia ini  tolong jaga dia, lindungi dia, berilah dia lelaki yang lebih sempurna dari aku, hamba mohon'  tetesan air mata Rivat ikut luruh diakhir doa nya saat sholat tahajjud.
Di tempat yang berbeda Rania melakukan sholat istikharah nya dengan penuh kebahagiaan dan suka cita.
--------
Tiga hari Rivat tak keluar kamarnya, bahkan untuk sekedar makan dan minum dia lakukan di kamar. Sejak malam itu juga Rivat mematikan HP nya.
Rivat sungguh tak sanggup untuk mendengar suara Rania, hatinya sangat sakit jika mengingat senyum Rania saat terakhir dia lihat di malam itu.
Rivat memandang cincin berlian milik Rania, masih di kotaknya.
"Ra! Maafkan kakak, aku membawamu kedalam keadaan rumit ini. " air mata menetes di pipi Rivat dibiarkan nya begitu saja.
"Seharusnya ini cobaan untukku saja, tapi... sekarang menjadi kacau." Rivat mendesah.
"Seharusnya kita tidak pernah bertemu, jika perpisahan kita amat menyakitkan sepeti ini. "
"Maafkan kakak, Ra! Maaf! "
"Seharusnya kau tidak usah bilang wajahku seperti tabung reaksi, seharusnya kau tidak usah tersenyum padaku, seharusnya kita tidak pernah nyanyi berdua. " Rivat tertawa kecil di tengah tangisnya.
"Seharusnya kau langsung lari saat melihatku, seharusnya kita tidak makan brownies bersama, seharusnya kau tidak usah menolongku saat itu, seharusnya kau biarkan aku mati saja, agar rasa sakit perpisahan ini tidak kita rasakan berdua."
"Aku mencintaimu, Rania Salsabilla, sangat mencintaimu. " tangis Rivat pecah, digenggam nya erat-erat kotak cincin merah itu.
--------
Heru mengetok pintu kamar Rivat, tapi tak ada jawaban, Heru langsung masuk saja, dilihatnya Rivat hanya diam melamun, cuma tetesan air mata yang tampak. Makanan dan obat tampak utuh di tempatnya.
"Lo harus semangat Rivat, jangan cengeng begini, gue sakit hati ngeliatnya." ucap Heru tegas. "Kemana semangat seorang Rivat Irham, sahabat gue yang pantang menyerah. Ayo cepet makan gue suapin terus minum obat " Rivat memalingkan wajahnya menolak.
"Ingat motto kita, tak ada kata menyerah."
"Atau lo mau gue bilang ke Rania keadaan lo sekarang," Heru mengancam. "Biar lo ada temennya, kalian bisa nangis berdua." Heru makin kesal.
Rivat tetap diam saja. Melirik pada Heru pun tidak.
"Ummi, abi , dokter Rizky dan semuanya sedang berusaha cari donor hati buat lo, jadi lo harus sehat oke. "
"Sayang sekali hati gue gak cocok buat lo, sekali lagi gue gagal, gue selalu gak bisa nolongin lo, Rivat, maafin gue. " akhirnya setelah ditahan berapa hari tangis Heru ikut tumpah.
Heru beranjak dari duduknya,
"Gue akan kerumah Rania sekarang, cuma dia yang bisa buat lo semangat. "
Rivat menoleh pada Heru.
"Gue mohon Heru, jangan bilang apapun pada Rania, gue gak mau melihatnya menangis, di saat terakhir hidup gue, biarkan senyuman terakhirnya malam itu jadi kenangan terindah gue bersamanya. "
"Oke gue janji, asal lo mau makan dan minum obat ya. " rayu Heru sambil mengambil foto Rania yang sedang tersenyum sangat cantik saat malam khitbah.
"Makan atau lo kehilangan senyuman itu. "
Rivat mengambil foto Rania dan membelai dengan lembut, air mata luruh kembali.
"Maafkan kakak, Ra! Lupakan kakak ya, hiduplah dengan bahagia tanpa aku. "
"Astagfirullah...! " Heru menarik napas dalam-dalam. "Kok jadi seperti ini sih."
"Semangat Rivat... Semangat... " Heru memeluk sahabatnya erat. "Gue gak mau kehilangan sahabat seperti lo. "
"Tolong jaga Rania untukku, tolong pastikan  dia hidup bahagia, tolong pastikan dia dapat lelaki yang terbaik, Heru lo harus janji sama gue. "
"Gak... Gue gak mau janji, karena semua itu hanyo lo yang akan lakuin nya, hanya lo lelaki yang terbaik untuk Rania, hanya lo Rivat Irham."
"Gue sudah gak bisa ngelakuin itu, sebentar lagi gue akan mati,"
"Makanya lo harus makan sekarang dan minum obat, biar sembuh. "
"Gue mohon, Ru! Tolong penuhi permintaan gue, ini permintaan terakhir gue ke lo, sahabat gue. Tolong... "
"Iya... gue janji ama lo bakal jagain Rania, tapi sekarang lo harus makan ya dan minum obat."
Rivat memakan makanan nya sambil menyeka air mata, begitu juga Heru.
--------
Rivat mendatangi keluarganya yang sedang berdiskusi di ruang keluarga, sungguh Rivat tak ingin mendengar obrolan masalah donor hati yang belum di dapat juga.
"Bawa Rivat pergi dari sini sekarang juga, Abi"
"Tenangkan dirimu Rivat " ucap dokter Rizky " Paman dan tim dokter sedang mencari donor untukmu. "
"Aku sudah tidak bisa menunda lagi paman, sebentar lagi Rania pasti tau keadaanku, dan aku tak mau dia melihatku sekarat dan meregang nyawa di depannya."
"Kau kuat anakku, kau pasti sembuh. "
"Lebih baik kau bicara pada Rania. " ucap Leo " Dia akan sangat membenci mu jika kau pergi tanpa penjelasan. "
"Jangan sampai dia tahu, biar saja dia membenciku asalkan dia tidak melihatku sekarat dan meninggal di depan nya. Dia akan lebih menderita. "
"Rivat..." lirih ummi pilu.
"Rivat mohon, kabulkan permohonan terakhir Rivat, bawa Rivat pergi dari sini jangan sampai keluarga Rania tau termasuk Heru. "
Abi hanya mendesah panjang.
"Baiklah... kita berkemas sekarang! "
*****
Ember heran melihat penampilan Rania di pagi hari minggu sudah rapih, dilihatnya jam di dinding baru pukul sembilan, biasanya Rania belum bangun kalo belum jam sepuluh.
"Mau kemana lo, pagi-pagi udah rapih, cie... cie... pake sepatu couple pula 'husband wife ' jadi ngiri gue.
" Mau nemuin kak Rivat" Rania tersenyum malu-malu. "Gue mau bilang kalo gue nerima khitbah dia. "
"Lo yakin? "
"Sangat yakin, udah tiga kali gue sholat istikharah dan mimpinya selalu ke kak Rivat."
"Waah... ikut seneng gue ngedenger nya."
"Tapi kenapa gak lo telepon aja suruh dia yang kesini, mau bikin surprise ya... "
"Bukan begitu, HP mereka gak ada yang aktif, kak Rivat, ummi, abi, bahkan kak Heru juga, gue khawatir Ember. "
"Masa sih? " Ember memencet nomor buaya busuk di HP nya. Lama tapi nomor Heru tetap tak aktif.
"Iya lo bener, sangat mencurigakan. "
"Ayo sana cepet ganti baju, temenin gue. Hari ini pak Udin demam, jadi lo yang nyupir. "
Rania duduk di depan laptop Ember menulis beberapa file yang di kunci dengan kode rahasia, hanya Rania yang tau kode itu, sesekali dia tersenyum saat mengetik.
"Lo nulis apa? "
" Surat rahasia, cuma gue yang bisa buka, ingat Ember lo harus berikan surat ini ke gue di saat yang tepat. "
"Serem bener neng " Ember hanya terkekeh,
Keduanya meluncur ke ruang tamu. Disana ada mama Nina dan keluarga pak Hendrawan, lengkap.
"Mau kemana kamu, Rania? " tanya mama Nina, Rania duduk di sebelah mamanya.
"Mau... kerumah kak Rivat. "
"Jangan terlalu sering bertemu kalian belum muhrim, apalagi dengan adanya kata khitbah yang sudah diucapkan Rivat.
" Aku pergi dengan Ember kok paman. "
"Emm... Apa kau sudah punya jawaban untuk khitbah Rivat, dia mau ke Amerika beberapa hari lagi? " tanya pak Hendrawan lagi.
"Alhamdulillah... sudah paman. "
"Apa jawabnnya?" tanya Farhan bersemangat.
"Alhamdulillah.. Jawabannya iya aku menerima khitbah dari kak Rivat." Rania merasa semakin malu, wajahnya memerah.
"Alhamdulillah...! paman senang mendengar nya, Rivat anak yang baik. "
"Ya dia lelaki yang tepat untuk mu, Rania! " Farhan ikut bersuara. " Cuma Rivat yang mampu menghadapi gadis judes dan manja seperti mu. " Farhan terkekeh.
Rania hanya mendelik sebal pada Farhan.
"Ayo kita berangkat, kakak ikut. Kakak ingin lihat gimana Rivat loncat jingkrak-jingkrak karena kegirangan, pasti seperti topeng monyet. "
Rania mengabaikan ucapan Farhan. Dia langsung mencium tangan ummi, pak Hendrawan dan bibi Fauza.
---------
Mereka sampai di rumah Rivat, keadaan sepi, pagar pun terkunci, satpam yang biasa jaga pun tak ada, Rania berulang-ulang menelepon HP Rivat tapi tetap tidak aktif.
"Kita kerumah Heru. " ucap Ember. Ketiganya langsung berlari karena rumah Heru hanya kelang dua rumah dari rumah Rivat.
Ember langsung saja menerobos masuk. Heru yang kebetulan akan keluar rumah tampak kaget melihat ketiganya.
'Ya ampun kenapa mereka bertiga harus kesini sih, apa yang harus aku katakan pada Rania '
"Mana kak Rivat? Kak Heru pasti tau kan kemana mereka semua? " Rania langsung bertanya dengan tegas.
"Rivat... Rivat... ada dirumah nya, dia sedang....sakit sudah tiga hari. "
"Jangan bohong... " ucap Ember, " Pagar rumah mereka di kunci, HP mereka semua gak aktif.
"Benarkah? " Heru kaget, "Oh no... Rivat" Heru berlari sekencangnya meninggalkan ketiganya, dia langsung ke rumah Rivat.
Heru memegang gembok besar yang mengunci pagar.
"Kemana Rivat dan keluarganya? " Heru berpikir panik.
"Rumah sakit, pasti mereka membawa Rivat kerumah sakit. " ucap Heru separuh yakin.
"Kita kerumah sakit sekarang. " ucap Rania lebih panik daripada Heru, " Ember langsung duduk di kursi sopir, Heru duduk di depan. Rania dan Farhan di kursi penumpang.
"Kenapa kakak tidak bilang padaku kalo kak Rivat sakit? " lirih Rania, matanya mulai memanas.
"Maafkan aku Rania, Rivat melarang ku memberitahukannya padamu, dia tak ingin kau sedih melihat keadaannya, dia mencintaimu Rania, dia tak inggin kau mengkhawatirkan nya. "
"Akan terasa lebih menyakitkan jika seperti ini, aku ingin berada di dekatnya, menemaninya. "
"Rivat Irham kenapa kau jahat sekali padaku, bukankah kau berjanji padaku always together forever, kenapa kau tidak bisa menepati janjimu padaku."
Rania mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam dan menghidupkan video di HP nya, dan berusaha senyum secantik mungkin.
" Kak Rivat... " Rania tersenyum " saat kakak buka video ini segera kabari aku ya, aku menunggu kabar darimu, jangan buat aku cemas, kak... aku menerima khitbahmu, kau dengar, aku menerima khitbahmu. Tunggulah sampai aku lulus oke, jadi kakak sekarang harus kuat, bertahanlah untukku, setiap saat aku akan selalu bersamamu, aku akan menemanimu dalam semua suka dan duka, aku sayang kamu Rivat Irham ", air mata Rania mengalir dengan sendirinya.
"Sial... Macet lagi. " gerutu Ember sambil memukuli setir nya.
"Macet...! Aku turun disini saja, aku akan berlari. " Rania memasukkan HP nya ke dalam tas kecilnya.
"Masih jauh Rania. " ucap Farhan.
"Aku tidak akan  melewatkan sedetikpun untuk menemani kak Rivat." Rania membuka pintu mobil dan berlari.
Heru dan Farhan ikut berlari menemani Rania.
"Tunggu aku kak Rivat. " ucap Rania ditengah larinya " Aku akan selalu menemanimu, every time, every where. Bertahanlah sebentar lagi aku sampai. "
"Setelah itu rasa sakitmu akan hilang selamanya."
Rania tak menghiraukan panasnya sinar matahari, berkali kali dia mengusap keringat di keningnya, Rania mengusap air matanya yang membuat pandangannya kabur.
"Semangat Rania, sedikit lagi sampai." bayangan saat Rivat tersenyum malam hari saat di taman rumahnya mulai datang. " Aku sayang kamu, kak Rivat " Air mata menetes.
Satu belokan lagi Rania tak melihat lampu merah yang telah berubah menjadi hijau...
"Tiin... Tiin... "
"Aaaaa....Allahhuakbar!!!" Jeritan Rania melengking tinggi, dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Shiiiitttt.... " sebuah mini bus berusaha mengerem paksa mobilnya.
"Bruugghhh... " suara tubuh terpelanting beberapa meter dan terhempas kejalan.
"Rania....!!! "
*****'
Huaaa.... hiks... hiks... hiks...
Rivat & Rania apakah bisa bersama...
Apakah cinta mereka menuju keabadian...

Book Comment (117)

  • avatar
    TelenggenNelson

    buku ini sangat manfaat

    7d

      0
  • avatar
    Momz Brio

    bagus cerita nya

    07/06

      0
  • avatar
    setyopaparwawan

    mantap

    30/05

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters