logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Tragedi Masa Lalu

Tragedi Masa Lalu

Mak Halu


Chapter 1

"Kinara! Apa yang kamu lakukan di situ? Ayo, kita kembali! Hari sudah mau gelap," teriak seorang wanita pada seorang gadis muda yang sedang berdiri di bibir pantai.
Gadis berparas cantik itu lalu menoleh dan menyunggingkan senyuman. "Iya, Bi. Sebentar lagi aku akan ke sana," jawabnya.
Kembali, dia melihat ke arah langit yang mulai senja. Tampak burung camar beterbangan di atas hamparan laut yang terlihat teduh.
Angin sejuk dari arah lautan menyapu wajah cantik Kinara yang kini memejamkan mata. Dia sedang menikmati aroma khas laut yang membuatnya tidak ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Samar-samar, dia mendengar suara seseorang yang memanggilnya. Suara yang terasa asing di telinganya. Kinara menoleh. Dia lalu mencari asal suara yang kini menghilang.
"Nara, ada apa?" tanya wanita yang dipanggil bibi oleh Kinara. Wanita itu sudah berdiri di sampingnya.
"Ah, tidak ada apa-apa, Bi."
"Jangan melamun di tempat seperti ini. Apalagi di hari yang mulai gelap begini. Kata orang tua dahulu, kita bisa saja kesambet makhluk halus," ujar wanita itu.
"Iya, Bi. Aku tidak melamun, kok. Aku hanya ingin menikmati aroma laut yang sudah lama tidak aku hirup. Ah, rasanya ada sesuatu yang membuat aku suka untuk berlama-lama di sini."
Wanita itu menatapnya. Dia lalu menyentuh sudut wajah Kinara dengan lembut. "Apa kamu merindukan ayah dan ibumu?"
Kinara hanya diam. Namun, dia tidak bisa menyembunyikan kesedihan atas kematian orang tuanya.
Kinara Zahira, gadis berusia 24 tahun itu telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Ayah dan ibunya telah wafat dalam sebuah insiden kecelakaan yang merenggut nyawa mereka.
Sejak ayah ibunya meninggal, Kinara tinggal di sebuah panti asuhan hingga keluarga jauh dari ayahnya datang dan menjemputnya saat dia menginjak usia remaja.
Sejak tinggal bersama paman dan bibinya, Kinara mulai melupakan masa-masa kelam yang selalu membuatnya menangis. Paman dan bibinya itu sangat menyayanginya karena mereka belum dikaruniai anak. Karena itulah, kasih sayang mereka hanya diberikan pada Kinara saja.
Mereka tinggal di sebuah desa yang dekat dengan pantai. Mereka baru saja pindah ke desa itu beberapa tahun yang lalu setelah pamannya diberhentikan dari perusahaannya. Dan kini, pamannya hanya bisa mencari nafkah dengan cara mencari ikan di laut.
Bibi Mira, panggilan Kinara pada wanita paruh baya itu. Wanita yang sangat baik dan begitu menyayanginya. Kinara begitu menyayanginya karena wanita itu layaknya ibu baginya.
"Ayo, Nak. Hari sudah mulai senja. Sebaiknya kita pulang," ajak wanita itu.
"Iya, Bi. Aku akan segera pulang. Bibi pulang saja dulu. Aku masih ingin duduk di sini. Tidak apa, kan, Bi?"
"Ya, sudah. Kalau begitu, Bibi pergi dulu. Jangan terlalu lama di sini. Sebentar lagi sepertinya akan turun hujan."
Kinara mengangguk. Bibi Mira lantas pergi. Kinara kembali menatap hamparan laut. Di atas batu, dia duduk sambil memperhatikan langit senja yang begitu menarik perhatiannya. Pemandangan itu seakan tidak bosan ditatap olehnya.
Langit senja tampak begitu indah. Walau awan mendung mulai menutupinya, tetapi keindahan itu masih dapat terlihat jelas.
Kinara lalu berdiri. Dia kemudian menuju riak ombak yang bergulung di bibir pantai. Kakinya tampak basah saat tersentuh gulungan ombak yang bermain lincah.
Saat dia sedang berlari kecil, pandangannya tiba-tiba tertuju pada sebuah benda yang berkilauan di atas pasir. Karena penasaran, Kinara lantas mendekat.
Kinara menyibak butiran pasir dari benda itu. Dia terkejut saat melihat sebuah liontin berwarna zamrud yang terpasang pada kalung berwarna keemasan. 
"Kalung siapa ini? Apa jangan-jangan ada orang yang kehilangan kalung ini?" batinnya.
Suara petir seketika mengalihkan perhatian Kinara. Dia lalu bangkit sambil menyisipkan liontin itu ke dalam sakunya.
Setibanya di rumah, Kinara lalu memperlihatkan liontin itu pada paman dan bibinya.
"Wah, liontin ini sangat cantik. Kinara, lebih baik liontin itu kamu simpan saja. Lagi pula, warga di desa ini tidak akan mungkin memiliki perhiasan yang indah seperti ini. Bisa jadi itu adalah perhiasan dari zaman dulu. Lihat saja, modelnya juga sudah ketinggalan zaman," ucap Bibi Mira setelah memperhatikan liontin itu.
"Tidak bisa seperti itu, Bi. Bagaimanapun, liontin ini bukan milikku. Aku harus mengembalikannya."
"Lalu, kamu akan mengembalikannya pada siapa? Apa kamu pikir orang tidak akan menipumu? Bisa saja mereka mengaku-ngaku sebagai pemiliknya. Setelah itu, mereka pasti akan menjualnya."
"Jangan khawatir, Bi. Sekarang sudah zaman modern. Dengan teknologi yang sudah maju seperti sekarang ini, kita bahkan bisa tahu apa yang terjadi di masa lalu. Jaringan informasi sudah sangat luas dan kita bisa mendapatkan informasi dari mana saja. Jika memang ada yang berbohong, itu berarti sudah takdir kita untuk kehilangan liontin ini."
Bibi Mira hanya menganggukkan kepala. Sementara suaminya hanya mendengar percakapan mereka sambil sesekali meneguk secangkir kopi.
"Sudah jelas 'kan, Bu? Karena itu, Bapak lebih baik diam karena Bapak yakin Kinara tahu apa yang harus dia lakukan. Sekarang, percayakan saja padanya," ucap lelaki itu sambil tersenyum.
Di dalam kamar, Kinara memperhatikan kalung itu. Kalung dengan hiasan batu zamrud itu terlihat sangat indah.
Karena penasaran, Kinara lalu mencari informasi tentang liontin itu di internet. Setelah mencari, dia tidak menemukan satu pun informasi yang berkaitan dengan liontin itu.
Setelah lelah mencari informasi, Kinara akhirnya memutuskan untuk tidur. Liontin itu dia letakkan di dalam sebuah boks kecil dan diletakkan begitu saja di atas meja.
Sudah tiga hari Kinara berada di rumah paman dan bibinya itu. Dia sengaja datang berkunjung karena sedang mengambil cuti kerja. Keesokkan harinya, dia sudah harus kembali karena tuntutan pekerjaan.
"Kinara, apa kamu tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini? Ah, bilang sama bos kamu itu kalau kamu masih ingin tinggal dua hari lagi. Dia pasti mengerti," bujuk Bibi Mira yang sedih karena Kinara akan kembali ke kota.
"Tidak bisa, Bi. Aku harus segera kembali. Jangan khawatir, aku akan sering-sering menghubungi kalian. Paman dan juga Bibi jangan terlalu banyak bekerja. Kalau hanya untuk biaya hidup kalian, aku masih bisa menanggungnya. Karena itu, Paman jangan melaut lagi, ya."
Pamannya hanya tersenyum. Dia mengerti akan perhatian Kinara pada mereka. "Jangan khawatirkan kami, Nak. Kamu juga di sana jangan terlalu banyak bekerja. Kamu juga harus memikirkan kesehatanmu. Kalau kamu sakit, Bibi kamu ini pasti akan merengek minta pergi ke kota untuk menemui kamu."
Bibi Mira tersenyum dibalik kesedihannya. Kinara lantas memeluknya. "Aku akan baik-baik saja, Bi. Jangan menangis lagi. Toh, aku pergi untuk bekerja."
Wanita itu memeluk Kinara dengan erat. Begitu pun dengan sang paman yang hanya bisa melihat mereka dengan air mata yang tertahan.
Kinara lalu pamit dan meninggalkan rumah itu. Dari dalam mobil, dia melihat keduanya yang melambaikan tangan padanya. Kinara menyeka air matanya. Dia menunduk karena tidak ingin orang lain melihat kesedihannya.
Kinara bekerja di sebuah hotel bintang empat yang ada di kota itu. Sudah setahun dia bekerja sebagai Housekeeping dan menjalani rutinitasnya setiap hari.
Setibanya di hotel, Kinara langsung bergegas untuk menjalankan tugas seperti biasanya. Dia harus membersihkan ruangan kamar hotel yang akan ditempati ataupun yang baru saja ditinggalkan oleh penyewa.
Bersama seorang temannya, Kinara lantas membersihkan sebuah ruangan yang baru saja ditinggalkan oleh penyewa yang sudah tiga hari menginap di kamar itu.
Mereka adalah pasangan pengantin baru yang baru saja menikah beberapa hari yang lalu. Mereka pasangan yang begitu romantis dan serasi di mata pegawai hotel lainnya.
"Sepertinya kita akan memiliki bos baru. Yang aku dengar, bos kita nanti adalah putra kedua dari bos besar yang sekarang berada di Amerika. Ah, semoga saja lelaki itu tidak akan menindas kita. Sepertinya dia mempunyai perangai yang berbeda dari ayahnya," ucap gadis yang sementara melipat seprai dan meletakkannya di dalam keranjang.
"Apa maksudmu? Apa mungkin dia lebih tegas dari bos besar?" tanya Kinara yang mulai khawatir.
"Sepertinya begitu. Karena itu, kita harus bekerja dengan lebih baik lagi kalau tidak ingin dipecat olehnya."
Kinara tersenyum kecut. Bagaimana tidak, dia sendiri sudah bekerja dengan sangat giat, tetapi dia masih saja terlihat salah di mata sang manajer.
Lelaki yang tidak pernah tersenyum di depan pegawai hotel itu selalu saja membuat Kinara ketar-ketir. Tatapan matanya bisa membuat Kinara tidak berkutik. Mengingatnya saja, Kinara bergidik.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Kinara ke ruangan yang khusus disediakan untuk para Housekeeping beristirahat. Kinara duduk sembari memperhatikan liontin yang selalu dibawa olehnya.
"Liontin yang sangat cantik. Apa kamu baru membelinya?" tanya salah seorang temannya sembari duduk di sampingnya.
"Tidak, aku tidak membelinya. Aku menemukannya di pesisir pantai saat berkunjung ke rumah pamanku kemarin. Ah, aku penasaran dengan liontin ini. Tidakkah liontin ini terlihat mewah?"
Gadis yang bernama Riana itu mengangguk sembari memperhatikan liontin itu. "Memang benar. Liontin itu sangat indah dan mewah. Lalu, apa yang akan kamu lakukan pada liontin itu? Apa kamu akan menjualnya? Sepertinya itu kalung emas," ucap Riana.
"Tidak, tapi aku akan menyimpannya. Jika ada yang mengaku liontin ini sebagai miliknya, maka aku akan mengembalikan padanya."
"Kalau begitu, kamu pakai saja. Siapa tahu ada pemiliknya yang melihat. Sini, aku bantu pakaikan!"
Riana lantas mengambil liontin itu dari tangan Kinara dan memakaikannya pada leher Kinara yang jenjang.
"Coba lihat, tidakkah liontin ini sangat indah di lehermu? Sepertinya liontin ini memang ditakdirkan untukmu. Lihat saja, kamu terlihat sangat cantik," puji Riana yang begitu mengagumi kecantikan temannya itu.
"Kinara, apa kamu tidak berpikir untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan wajah cantikmu itu? Misalnya, menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahan besar atau menjadi istri seorang CEO? Ah, kenapa kamu malah memilih menjadi pembersih kamar hotel yang sama sekali tidak dihargai?"
Mendengar ocehan temannya itu, Kinara hanya tersenyum. "Mungkin takdirku hanya bekerja seperti ini. Apa wajah cantik bisa menjamin kebahagiaan seseorang? Tidak, kan?"
"Baiklah, aku menyerah jika berdebat denganmu. Ayo, kita bekerja lagi daripada nanti akan dimarahi oleh Pak Yunus."
Kinara mengangguk sembari mengikuti Riana yang sudah pergi terlebih dulu. Baru saja mereka membicarakan sang manajer, lelaki itu sudah memperhatikan mereka dari tempatnya berdiri.
"Apa yang kalian lakukan? Ayo, cepat kemari!" teriak lelaki itu.
Kinara dan Riana mempercepat langkah. Keduanya kini berdiri tepat di depan lelaki itu.
"Kalian dari mana saja? Bukankah kalian belum menyelesaikan pekerjaan kalian?"
"Maaf, Pak. Semua sudah kami kerjakan. Memangnya, apa ada sesuatu yang kami lupakan?" tanya Riana dengan perasaan cemas.
Lelaki itu menatapnya. Dia lalu mengalihkan pandangan ke arah Kinara. "Apa kalian sudah membersihkan kamar 102? Apa perlu aku jelaskan lagi apa tugas kalian?"
Kinara dan Riana saling memandang. "Kamar 102? Bukankah besok baru wanita itu keluar?"
"Tidak jadi. Dia baru saja cek out setengah jam yang lalu. Sekarang apa kalian hanya berdiri saja di sini?"
Kinara dan Riana lantas bergegas pergi ke kamar yang dimaksud. Baru saja mereka selesai membersihkan kamar itu, tiba-tiba wanita itu kembali. Tak sendiri, dia kembali bersama dua orang petugas keamanan.
"Maaf, ada apa, ya?" tanya Riana yang melihat wanita itu menyelonong masuk dan membongkar seprai yang baru mereka pasang.
"Sepertinya dia kehilangan perhiasannya. Apa kalian menemukan sebuah kalung yang mungkin tercecer di kamar ini?" tanya salah satu petugas keamanan.
"Tidak ada. Kami tidak menemukan perhiasan ataupun apa pun di kamar ini," jawab Riana.
"Betul, Pak. Tidak ada perhiasan di kamar ini. Kami sudah membersihkannya dan tidak ada apa-apa di sini," jelas Kinara yang mencoba menguatkan alibi Riana.
"Tidak mungkin! Apa kalian bersekongkol untuk menyembunyikan perhiasanku itu? Jika kalian tidak memberikannya padaku, aku akan melaporkan kalian pada polisi," ancam wanita itu.
"Maaf, tapi memang benar kalau kami tidak menemukan apa pun di kamar ini. Apa mungkin perhiasanmu jatuh di tempat lain? Itu bisa saja terjadi, kan?" Kinara tetap membela diri karena dia tidak merasa kalau telah mengambil kalung itu.
Wanita itu tampak kesal. Dia lalu maju dan menghampiri Kinara. Dia menatap dengan tatapan yang membuat Kinara bergeming.
"Apa kamu pikir bisa lolos dariku jika kamu ketahuan mencuri perhiasanku? Aku bisa menuntutmu dan memasukanmu ke dalam penjara. Apa kamu tidak takut?"
"Kalau aku tidak salah, untuk apa aku harus takut? Apa kamu sendiri sudah yakin kalau perhiasanmu jatuh di kamar ini? Jika tidak terbukti, apa kamu tidak takut aku menuntutmu atas tuduhan palsu?"
Wanita itu terdiam. Dia lalu tersenyum sinis. Dia begitu kesal dengan Kinara yang berani mengancamnya.
"Kalau begitu, apa kamu bisa tunjukkan padaku kalung di lehermu itu?"
"Apa maksudmu? Apa kamu pikir kalung itu milikmu? Apa kamu tidak salah?" tanya Riana yang tampak kesal.
"Kenapa? Apa kamu takut untuk mengakui kejahatan kalian?"
Karena kesal, Riana seketika menamparnya. Wanita itu meringis menahan panas di bekas tamparan Riana. Tidak terima, dia lalu melaporkan kejadian itu pada pihak kepolisian.
Di kantor polisi, Riana dan Kinara duduk bak orang pesakitan. Sementara wanita itu tampak angkuh tanpa sedikit pun merasa bersalah.
"Apa ini kalungmu?" tanya petugas pada wanita itu. Dengan tegas, dia mengakui kalau kalung itu adalah miliknya.
"Apa tidak salah? Apa buktinya kalau kalung itu milikmu?" tanya Riana yang tidak terima dengan pengakuan wanita itu.
"Sudah-sudah! Biar kami yang menyelesaikan perkara ini." Petugas itu menengahi perdebatan mereka.
"Apa kamu juga punya bukti kalau kalung itu milikmu?" tanya petugas pada Kinara.
"Aku tidak punya bukti karena kalung ini baru aku temukan kemarin saat berkunjung ke rumah pamanku di desa. Lagi pula, kalaupun kalung ini adalah barang curian, lalu untuk apa aku memakainya? Bisa saja aku menyimpannya di tempat yang tersembunyi ataupun menjualnya. Itu lebih menguntungkan bagiku," jelas Kinara.
Alibi yang dilontarkan Kinara membuat petugas kepolisian menjadi bingung karena keduanya sama sekali tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan liontin itu.
"Apa hebatnya liontin ini? Apa mungkin karena batu zamrud ini?" Salah satu petugas melihat kalung itu. Dia memeriksa satu per satu bagian kalung itu, hingga dia terkejut saat seorang wanita tua yang tiba-tiba datang dan memperhatikan liontin itu.
"Kembalikan kalung itu padaku! Kalung itu adalah milikku!" teriaknya. Sontak, semua mata tertuju padanya.
To Be Continued ...

Book Comment (190)

  • avatar
    Jemris

    novel ini adalah salah satu novel terbaik selama saya membaca di NOVELAH. Alur ceritanya rapih tidak tumpang tindih, setiap alur cerita mampu menggugah pembaca. Terimakasih "Mak Halu" buat karya yang satu ini👍

    06/03/2022

      5
  • avatar
    adhityakeefa

    makasih jj

    2d

      0
  • avatar
    SantosoAgung

    keren

    8d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters