logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Suami Idaman

Suamiku Idaman
Dalam perjalanan pulang aku mampir ke toko buah, membeli beberapa buah, yang katanya bisa meningkatkan kesuburan rahim. Seorang teman menyarankan agar aku rajin mengkonsumsi avokad dan buah naga, menurutnya seorang kerabatnya, yang sudah sepuluh tahun menikah, dan belum dapat anak. Akhirnya hamil, setelah rajin makan dua jenis buah itu.
Harapan adalah tujuan, untuk sampai pada tujuan banyak pilihan jalan, yang harus ditempuh. Aku mengikuti setiap arah jalan, yang disarankan demi sampai pada tujuan. Avokad, dan buah buah naga--jalanku menuju harapan memiliki momongan. Selesai membeli buah, aku memesan taxi online untuk mengantarkan aku pulang ke rumah. Aku lirik jam, yang melingkar di tangan kiri. Pukul tiga sore, masih ada waktu untuk menyiapkan menu makan malam nanti.
Taxi online meluncur dengan kecepatan sedang, untuk menghilangkan bosan aku mengambil handphone yang tersimpan di dalam tas. Ada lebih dari sepuluh kali panggilan tidak terjawab, semuanya berasal dari nomor Tesla suamiku. Ya Tuhan ... aku lupa mengabarinya, ditambah pula ponsel aku atur silent selama proses ruqyah berlangsung.
"Halo, Sayang," sapaku pada Tesla di ujung sana.
"Kamu ada di mana?" tanyanya.
"Baru selesai ruqyah, Sayang. Ini sudah jalan mau pulang," jelasku.
Sebelum panggilan berakhir, Tesla berpesan agar aku mengabarinya setelah tiba di rumah. Tesla memang begitu, dia selalu mengecek keberadaanku. Banyak teman berkata aku beruntung bersuamikan Tesla, seorang penulis, yang tidak cuma puitis dalam merangkai kalimat, tetapi juga romantis dalam bertindak. Dia tidak sungkan merangkulku di depan banyak orang, seakan dia ingin berkata dengan bangga; "Ini adalah istri saya." Dia juga kerap memberikan buket bunga, mengirimi aku sekotak coklat, atau menuliskan puisi. Lalu, dimintanya mahasiswa membacakan untukku. Tesla seperti pangeran impian, yang ada di dunia nyata, dan aku sangat beruntung menjadi permaisurinya.
Masih teringat dengan jelas, bagaimana dulu ketika pertama kali kami bertemu Tesla langsung menyatakan, bahwa dia ingin menjadi kekasihku. Aku tertawa, menertawakan kepolosannya. Tentu saja pernyataannya itu aku anggap sebuah candaan, saat itu aku berpikir dia pastilah seorang lelaki pengobral cinta. Lalu, setelah itu mengalirlah pesan-pesan romantis, yang masuk ke ponselku. Aku mulai risih karena, jujur saja aku tidak pernah diperlakukan begitu, dan aku tidak terlalu suka dengan itu. Kemudian, aku berkata padanya: "Maaf Tesla, Amy tidak mau pacaran," ucapku. Jawaban darinya, yang aku terima sungguh di luar dugaan. "Aku juga tidak ingin menjadikanmu seorang pacar, kamu tidak pantas menjadi pacarku. Bagiku, wanita sepertimu lebih pantas dijadikan istri, bukan pacar."
Aku kembali tertawa, karena menganggap kata-katanya lelucon para pengobral cinta. Kemudian, Pak Handoko--seniorku mendatangi ayah, dan berkata kalau kedatangannya diutus oleh Tesla untuk meminangku menjadi istri lelaki itu. Rumah kami menjadi gempar, ibu, abang, dan adikku tidak menyangka. Kalau seorang Amy tiba-tiba ada yang melamar. Karena, yang mereka tahu selama ini. Amy tidak pernah dekat dengan lelaki, lebih dari sekedar teman. Aku berkata pada mereka, Tesla juga hanya teman biasa bagiku. Kalau akhirnya dia menjadi teman hidupku, itu pasti takdir,i yang dituliskan Tuhan untukku.
Singkat cerita, tanggal pernikahan kami ditentukan. Aku, dan Tesla bersanding indah di pelaminan. Teman, dan sahabat bersukacita merayakan pernikahan kami. Semua tidak menyangka, seorang Amy, yang tidak pernah punya kekasih akhirnya menikah juga. Hari-hari selanjutnya menjadi hari, yang sangat membahagiakan, aku menjadi ratu Tesla. Tesla memboyong aku ke rumah orang tuanya, karena Tesla anak tunggal aku seperti menjadi anak perempuan di rumah itu. Jika banyak orang mengeluh tinggal serumah dengan mertua, tidak begitu denganku. Bagiku mama mertua adalah sahabat, kami saling berbagi apapun. Aku juga tidak merasa, diperlakukan sebagai pelayan di rumah mertua. Karena suamiku, benar-benar memperlakukan aku layaknya seorang ratu.
Tesla tidak pernah menuntut, aku harus melakukan ini dan itu. Di rumah itu ada pembantu, yang mengerjakan semuanya. Makan tinggal makan, pakaian tinggal pakai. Kemudian aku sendiri yang memilih ingin mandiri demi kenyamanan hati. Dengan alasan aku ingin melayani suamiku di rumah sendiri, maka kami pun terpisah dari orang tua, dan mertua. Setelah empat tahun usia pernikahan.
****
"Kamu dari mana?" todong mama, saat aku baru sampai di rumah.
Entah sejak kapan beliau tiba, kulihat sudah duduk di kursi teras.
"Dari ruqyah, Ma." jawabku, sambil membuka kunci pintu.
"Ruqyah rahimmu itu?" selidiknya.
Aku tersenyum kecut, mama selalu begitu sejak setahun lalu. Bicaranya tidak lagi memikirkan perasaanku.
Padahal, dulu beliau tidak begitu saat aku baru-baru menikah dengan Tesla. Setelah tahun ketiga pernikahan, dan aku belum juga hamil sejak itu mama berubah. Jujur saja alasan kepindahan kupun karena perubahan sikap mama, beliau selalu saja bertanya kapan aku hamil, dan memberinya cucu. Mama kerap menyindir dengan bercerita tentang anak teman, sahabat, dan kerabatnya, yang sudah momong anak padahal baru menikah. Mama juga rajin bertanya setiap bulan, apakah aku datang bulan atau tidak? Bila aku jawab aku sedang datang bulan, maka wajah mama langsung berubah masam.
"Datang bulan terus, apa kau tidak bosan? Kapan rumah ini akan ada tangis bayi, kalau setiap bulan kau selalu datang bulan?"
Begitu tajam kata-kata mama, seolah dia lupa soal anak itu hak prerogatif Allah. Aku dan Tesla sudah berusaha, tetapi jika Allah belum percaya, maka kami bisa apa?
Kata 'sabar' seumpama tanaman, yang terus kupupuk sejak dua tahun lalu, 'sabar' menanti hadirnya janin di rahimku. Juga 'sabar' menghadapi sikap bawel mama, yang sudah melampaui ambang batas kewajaran.
"Terus apa hasilnya? kamu kerasukan kan? Teriak-teriak kepanasan?" selidik mama.
Seakan dia membayangkan tubuhku dipenuhi oleh jin dan setan. Tidak dia pikirkan kalau perkataannya itulah, yang kemungkinan merubah sikapku menjadi sejahat setan.
"Nggak Ma, Amy baik-baik saja," ucapku tenang.
Aku mempersilahkan mama masuk, di dalam mama kembali berkata.
"Masa sih, kalau nggak ada gangguan mengapa kamu belum hamil juga?"
"Kata peruqyahnya, mungkin Allah tengah menguji kesabaran kita, Ma," jawabku.
Aku masih mencoba bersabar dengan sikap mama, agar tidak pecah perang saudara. Bukankah sikap sinis akan menyulut api permusuhan, bila tidak segera disiram dengan tetes air kesabaran?
"Ah, itu cuma teori. Mana ada Allah menguji diluar batas kesabaran hambanya, kamu tahu? Tesla itu sudah gak sabar mau momong anak, aku juga sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Cuma kamu saja, yang terlihat santai seperti tidak ada beban," cercanya.
Aku seketika membeku mendengar kata-kata mama, bagaimanapun aku ini manusia. Hatiku juga bisa terluka, kesabaranku juga bisa sirna kapan saja. Apa yang akan terjadi kalau aku usir wanita itu sekarang juga?

Book Comment (74)

  • avatar
    IsmailHadi

    Bagus sekali ceritanya tapi sayang terlalu pendek padahal saya masih penasaran ayah biologis anak dari Amy itu sebenernya siapa. kalau bisa lanjut lagi. seru soalnya..

    12d

      0
  • avatar
    Oxs01Lucky

    seruuuu

    14/08

      1
  • avatar
    NaylaAlmeera

    bagus sekali

    09/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters