logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Masa Lalu Tertinggal

Masa Lalu Tertinggal

Tika Windrian


1. Rananta Ratimaya

Rananta Ratimaya, seorang wanita berumur 29 tahun yang masih nyaman untuk melajang. Ia sama sekali tidak terganggu ketika sebagian teman kantornya membicarakan perang semalem dengan pasangan masing-masing. Ya, perbincangan seperti itu memang bukan hal tabu lagi bagi Rana dan teman-temannya.
Seperti saat istirahat ini, Rahmani, teman kantor Rana yang sedang hamil besar tengah berbagi ilmunya.
"Katanya tuh kalo hamil gede gini harus sering-sering nganu, buat ngebuka jalan gitu."
Wanita yang sering disapa mbak Rahma ini masih asik dengan nasi semur tahu bekalnya hari ini.
"Posisinya aman tuh mbak? Kan lagi gede gitu?"
"Aduuh.. Jemin Radiandra, please deh ya, kamu tuh belum boleh sampe situ ilmunya sayang.."
Kali ini Rana ikut bicara menyudahi perbincangan yang mulai menjurus agak dalam. Mengingat Jemin adalah laki-laki yang baru gede dan paling muda diantara semuanya.
"Kan lumayan mbak Rana, dapet ilmu gratis. Nanti kalo kita udah nikah baru deh prakteknya." Jemin mengeluarkan cengirannya yang disambut tarikan pada pipinya oleh Rana.
"Eh, brondong, serius lo mau sama Rana? Secara beda 7 tahun." Wenda menyomot tahu yang ada disemur Rahma.
"Guenya si nggak masalah mbak Wen, tinggal mbak Rana nya deh mau nggak sama brondong."
"Lo si ganteng, Je, cuma kalo buat Rana kayaknya lo kurang pengalaman." Kata Prasetyo, mantan Rana di kantor yang akan segera menikah.
"Gue yang udah mateng aja ditolak sama dia."
"Justru itu mas, saya mau nyari pengalaman. Kalian kan pasti pengalamannya macam-macam."
"Jangan gitu ah, Rana tuh cuma takut lo patah hati, lo masih muda masih banyak cinta yang lain."
"Yes, kecup basah buat mbak Rahma. Ntar kalo ada apa-apa sama anak orang gue nggak mau disalahin."
"Eh, Je, mau tau nggak kenapa si Pras ngebet kawin?" Tanya Wenda.
"Kenapa emang mbak?"
"Ditolak nikah dia sama Rana. Dia kesel terus ngelampiasin sama yang mau dinikahin."
"Waah.. Jahat lo mas."
"Gara-gara siapa gue begitu?"
"Tuh, pasti nyalahin gue. Makanya gue nggak mau lo juga begitu ke gue."
Makan siang mereka memang selalu ceria. Walaupun tanggal tua dan hanya berbekal nasi dari rumah masing-masing mereka selalu berbagi. Terkadang Rahma yang paling tua diantara semuanya akan membawakan masakan yang ia masak dari rumah untuk dimakan bersama-sama.
"Eh, denger-denger Pak bos seminggu lagi ya otw Korea." Wenda menyudahi makannya dan langsung meminum air putih yang berada ditempat minum miliknya.
"Iya, dan besok bos baru akan resmi menduduki tahtanya. Anak keduanya pak Wibrata kan?" Pras kali ini menyusul Wenda.
"Iya, ganteng loh Rana, ya umurnya mungkin nggak jauh beda sama lo."
"Tau dari mana si kalo ganteng?"
"Lo ngeremehin ilmunya emak-emak sih. Eh biasanya kalo bapaknya ganteng, anaknya lebih ganteng."
"Iya deh iya. Ilmunya emak-emak emang gak ada yang ngalahin. Lah tapi, apa hubungannya sama gue mbak?"
"Lo umur udah mateng, karir lumayan bagus. Nunggu apa lagi?"
"Belum kepikiran mbak." Rana beranjak dari tempat duduknya menuju toilet. "Duluan ya, mau ke toilet. Wen lo ikut nggak?"
"Yuk deh, gue juga udah." Wenda pun mengekori Rana dan meninggalkan Rahma, Pras dan juga Jemin.
*
Setelah pulang kantor Rana memang selalu langsung pulang ke apartemennya. Hidupnya yang sudah terbiasa sendiri membuat Rana sudah berteman baik dengan kesendirian itu. Sendiri itu nyaman untuknya, sendiri itu ia bebas melakukan apa yang ia mau.
Rana sudah tidak memiliki Ayah ataupun Ibu. Saat Rana memasuki jenjang SMP ibunya meninggal ketika melahirkan calon adiknya. Parahnya lagi, calon adik yang diperjuangkan sang ibu sampai menghembuskan napas terakhir juga ikut meninggal. Sampai SMA sang ayah membesarkannya, hingga suatu kejadian membuat sang ayah terkena serangan jantung dan meninggal setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.
Sejak saat itu Rana berjuang sendiri untuk menghidupi hidupnya. Bermodal tabungan, juga pensiunan dan asuransi mendiang ayahnya. Rana kuliah sambil bekerja.
Dan disinilah ia sekarang. Hidupnya saat ini sudah cukup untuknya.
Rana memang menjual rumahnya yang dulu ia tinggali dan membeli sebuah apartemen untuk ia tinggali sendiri. Rumahnya adalah salah satu saksi bisu ia menghadapi hari-hari dimana ia bahkan tidak ingin mengingat-ingat kembali. Bukan berarti ia tega menjual kenang-kenangan dulu ia dengan keluarganya. Lagi pula, rumah itu cukup besar jika untuk ia tinggali sendiri.
Masa lalunya adalah hal yang ingin sekali Rana hapus. Kerena memang itulah masa paling sulit dan berat yang pernah ia rasakan dalam hidupnya.
Rana menghempaskan tubuhnya ditempat tidur setelah ia selesai membersihkan tubuhnya. Diluar sedang hujan, alasan Rana langsung membersihkan tubuhnya karena sebagian tubuhnya basah akibat ia menerobos hujan.
Salahnya menolak ajakan Rahma yang akan memberikan tumpangan gratis. Rahma memang selalu dijemput sang suami dengan mobil mereka, dan sering memberikan tumpangan untuk Rana juga Wenda. Biasanya Wenda akan menumpang sampai stasiun karena memang wilayah rumah mereka tidak sama. Alasan Rana menolak adalah karena Rahma dan suami akan ke dokter untuk memeriksa kandungan dan ia tidak mau mereka terlambat karena mengantarnya lebih dulu.
Rana beralih dari kamarnya dan menuju dapur untuk memasak makanan untuk makan malamnya. Mie rebus dengan telur adalah menu pilihannya kali ini. Cocok dengan cuaca diluar bukan?
Rana menyantap menu makan malamnya sambil menonton TV. Keseriusannya terganggu saat ponsel disebelahnya berbunyi, tanda panggilan masuk.
Jemin Radiandra
"Halo.."
'Halo, mbak Rana.'
"Iya kenapa, Je?"
'Hujan dari tadi belum berhenti. Mbak Rana udah di rumah? Tadi pulang sama siapa?'
"Udah sampe, pulang sendiri. Kamunya lembur terus si."
'Iya nih mbak. Oh iya tadi aku kirim file ke emailnya mbak Rana, tolong dicek ya mbak.'
"Oke nanti aku cek abis makan ya.."
'Capek mbak, rasanya mau nikah aja.'
"Ngomongnya kaya anak perawan kebelet kawin. Pulang sana anak kecil, istirahat."
'Iya mbak. Mbak Rana lagi makan ya?'
"Iya dong, mie rebus pake telor. Mantab kan.."
'Cocok banget sama suasananya.'
"Yaudah jangan lupa pake jas hujannya ya.."
'Iya makasih mbak, aku tutup ya..'
"Oke. Hati-hati di jalan."
'Oke mbak'
Rana dan Jemin memang sangat dekat. Pasalnya Rana adalah tutornya Jemin saat ia masih menjadi karyawan magang disana.
Rana meneruskan makannya dan menghabiskannya. Ia lalu beranjak untuk membereskan alat makan yang tadi ia gunakan. Setelah ini ia langsung berniat untuk tidur dan tanpa sengaja melupakan pesan dari Jemin. Rana memang malas membahas pekerjaan kalau sudah di rumah. Baginya waktu di kantor adalah waktu bekerja dan di rumah adalah waktu istirahat.
*****

Book Comment (126)

  • avatar
    Deti Putri

    bagus banget

    09/07

      0
  • avatar
    Danicha Saputra

    Baguss

    15/05

      0
  • avatar
    CantikNabila

    ceritanya sangat bagus

    17/01

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters