logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Terapis Untuk Inka

Setelah satu bulan menjadi guru les calistung Inka, Rachel merasa kewalahan. Bukan karena sikap dan perilaku anak kecil itu, melainkan karena kemampuan kognitifnya yang rendah. Istilah sederhananya Inka lamban dalam mencerna pengajaran akademik. Padahal anak itu menjalani les seminggu dua kali selama satu setengah jam per sesinya. Jadi sudah delapan kali pertemuan dengan total pembelajaran seratus dua puluh jam! Namun kemampuan calistungnya hanya maju sedikit dibandingkan waktu pertama kali datang ke rumah Rachel.
Guru muda itu kemudian memberi masukan pada ayah sang murid. Jonas dengan sabar mendengarkan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut sang guru.
“Selama satu bulan ini saya melihat perkembangan Inka dalam calistung lambat sekali, Pak Jonas. Padahal jelas terlihat putri Bapak sudah berusaha mencerna apa yang saya terangkan. Tapi kelihatannya dia masih bingung juga. Saya jadi merasa kasihan. Takutnya kepercayaan diri Inka menurun karena susah memahami apa yang saya ajarkan. Mumpung belum berlarut-larut, bagaimana kalau saya kenalkan Bapak dan Inka dengan terapis sensori integrasi yang sudah bertahun-tahun melatih adik saya? Namanya Miss Rossy. Orangnya baik, telaten, dan ahli di bidangnya. Dia bisa datang ke rumah Bapak untuk melatih Inka. Selain di rumah, kalau diperlukan Miss Rossy bisa mengajak Inka berlatih di taman komplek. Hal itu biasa dilakukannya terhadap adik saya juga.”
Ayah Inka manggut-manggut saja. Pria itu merasa pendapat guru anaknya ini benar juga. “Baiklah, Miss Rachel. Sesuai kesepakatan di awal waktu Miss menerima anak saya sebagai murid, saya tentu saja bersedia diperkenalkan dengan terapis jika memang dibutuhkan. Tapi seandainya Inka diterapi oleh Miss…siapa tadi?”
“Miss Rossy.”
“Oya, Miss Rossy. Nah, kalau anak saya diterapi oleh dia, lalu bagaimana les calistung dengan Miss Rachel?”
“Kalau Bapak tidak keberatan, Inka bisa terapi dulu dengan Miss Rossy selama 1 bulan. Tapi terapinya harus rutin seminggu lima kali dengan porsi satu jam setiap sesinya ya, Pak. Setelah itu di bulan kedua bisa dikurangi menjadi seminggu tiga kali, dan sisanya bisa les calistung dengan saya lagi. Bagaimana?”
“Oh, jadi cuti les dulu selama satu bulan ya, Miss?”
“Betul, Pak. Biar daya konsentrasi dan kemampuan motorik Inka dibenerin dulu sama Miss Rossy. Saya menganjurkan terapi seminggu lima kali karena anak Bapak sudah berumur enam tahun dan tahun depan sudah mau masuk SD. Jadi harus dipersiapkan benar-benar, Pak. Kalau sekarang diajari calistung saja, hasilnya tidak akan maksimal. Perkembangannya sedikit dan ujung-ujungnya…ehm…maaf…bisa diam di tempat. Saya tidak ingin hal itu terjadi pada Inka. Kasihan anak Bapak. Sebisa mungkin dia mendapatkan yang terbaik, bukan?”
“Seperti adik Miss Rachel….”
Sang guru mengangguk mantap. “Betul, Pak Jonas. Velove bisa berkembang seperti sekarang ini karena mendiang ibu kami dulu berjuang mati-matian demi kemajuannya. Beliau menjadi panutan saya dalam memberikan yang terbaik pada Velove setelah orang tua kami tiada. Saya harap Inka juga mendapatkan hal serupa dari orang tuanya.”
Jonas mendesah pelan. Tersirat luka mendalam dari sorot mata pria tampan itu. “Saat ini saya berjuang sendirian dan membesarkan Inka, Miss,” ujar Jonas malu-malu. “Mamanya Inka sudah tidak peduli. Bahkan sejak dulu dia sebenarnya tidak mampu menerima keadaan putri kami yang berkebutuhan khusus. Untung Inka mempunyai pengasuh yang baik dan menyayanginya setulus hati. Yah, Mbak Marni yang biasa nungguin Inka les di sini itu, Miss. Dulu dia sempat saya berhentikan lho, waktu bisnis saya sedang kena musibah. Untung Mbak Marni mau saya panggil kembali untuk mengasuh Inka begitu saya dan istri berpisah….”
Giliran Rachel yang manggut-manggut mendengar pernuturan ayah muridnya. Gadis itu setuju pengasuh Inka menyayangi anak itu dengan sepenuh hati. Perempuan sederhana berambut ikal pendek di atas bahu itu begitu lembut memperlakukan momongannya, baik dari sikap maupun kata-kata.
Yang kerap mengherankan Rachel, anak-anak berkebutuhan khusus entah kenapa selalu ada saja yang menyayangi dengan tulus. Kalau bukan orang tuanya sendiri ya bisa jadi kakek, nenek, guru, terapis, pengasuh, atau sopirnya. Barangkali itu adalah bukti dari cinta kasih Tuhan kepada anak-anak spesial. Pertanda bahwa mereka mendapat tempat khusus di hati Sang Pencipta.
“Jadi kapan saya dan Inka diperkenalkan dengan terapis itu, Miss Rachel? Biar masalah Inka ini saya selesaikan dulu, sehingga saya bisa fokus mengurus bisnis.”
“Oh, iya, Menurut Mbak Marni, Pak Jonas buka toko kue, ya?”
“Betul, Miss Rachel. Saya pemilik Imanuel Bakery Café di Surabaya Barat. Barangkali Miss belum pernah dengar karena letaknya jauh dari sini.”
Rachel terkesiap. Dia pernah sekali mampir di kafe tersebut bersama Velove tahun lalu. Toko kue yang eksterior dan interiornya cantik sekali dan bernuansa Eropa. Dinding bagian depan bangunan dua lantai tersebut berbentuk garis-garis horizontal berwarna hijau tosca. Kisi-kisi jendela dan pintu dicat warna peach yang manis. Perpaduan dua warna segar nan lembut itu membuat bangunan kafe mencolok di antara bagunan-bangunan sekitarnya.
Memasuki pintu kaca bertuliskan Imanuel Bakery Café, pengunjung dimanjakan dengan pemandangan interior yang indah dengan kombinasi warna tosca, peach, dan putih. Lantainya dilapisi parket warna coklat muda yang menambah keanggunan ruangan. Meja dan kursi yang terhampar di lantai satu dan dua pun warnanya kombinasi putih, tosca, dan peach. Seakan-akan warna-warna itu menjadi favorit pemilik Imanuel Bakery Café.
Produk-produk tempat itu terdiri dari kue kering, roti, puding, dan cake yang beraneka macam. Pun bentuk-bentuknya menggugah selera. Waktu itu Rachel dan Velove memesan rainbow cake dan Japanese cheese cake, yang merupakan produk-produk andalan Imanuel Bakery Café.
Kelembutan tekstur rainbow cake dengan krim yang manis sungguh memanjakan lidah Rachel dan Velove. Mereka belum pernah menikmati cake warna-warni selezat itu. Disambung dengan Japanese cheese cake yang super moist dan ringan di lidah, benar-benar membuat kedua gadis itu bagaikan berada di surga bakery.
Jonas yang melihat guru les anaknya tercengang selama beberapa waktu lalu berkomentar, “Sepertinya Miss Rachel pernah berkunjung ke kafe kue saya….”
Rachel mengangguk berkali-kali. “Pernah sekali, Pak. Tahun lalu bersama adik saya. Waduh, kami suka sekali berada di sana. Tempatnya bagus dan nyaman. Terus kue-kuenya juga enak sekali. Saya dan Velove waktu itu makan rainbow cake dan Japanese cheese cake. Enak sekali, Pak. Pantas jadi signature cakes Imanuel Bakery Café.”
Jonas nyengir mendengar komentar positif gadis di hadapannya. “Saya merasa tersanjung Miss Rachel dan Velove suka kafe saya. Sayang sekali beberapa bulan yang lalu tempat itu mengalami kebakaran akibat korsleting listrik. Mungkin Miss pernah mendengar tentang musibah itu….”
“Tentu saja, Pak,” jawab Rachel cepat. “Berita itu menyebar kemana-mana, bahkan sampai muncul di Tiktok dan aplikasi sejenis. Tapi setahu saya sudah dibangun kembali kan, Pak?”

Book Comment (14)

  • avatar
    ContessiaAnnatasa

    seru banget !!

    10/07

      0
  • avatar
    Abby Azarinah

    👍🏻👍🏻

    02/07

      0
  • avatar
    KotoRisniyati

    semangat terus yah

    12/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters