logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part 7

Aku melenguh pelan. Rasa sakit yang tidak tertahankan segera menyerang kepalaku. Rasanya seperti habis dibenturkan dengan kencang. Aku mengerang dan mencoba untuk membuka mataku perlahan. Beberapa detik kemudian akhinya aku bisa menangkap beberapa cahaya yang menulusup masuk lewat bulu-bulu mataku.
“Argh.” Suaraku terdengar serak.
Mataku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka dengan sempurna. Tunggu, aku tidak kenal ruangan ini.
Mataku menyapu sekeliling ruangan tanpa jendela yang berukuran empat kali tiga meter ini. Dua buah lemari buku usang. Beberapa vas bunga retak. Bahkan ada yang hancur sama sekali. Lalu ada sebuah grand piano penuh debu. Lengkap dengan tumpukan partitur yang sudah menguning.
Aku terbatuk beberapa kali. Rasanya, tenggorokanku kering dan sakit. Aku juga merasa nyeri di pergelangan kakiku. Aku raba dan melihat di tempat sakit itu berasal. Ada lebam dan guratan bekas tali yang mengikat kakiku. Jelas sekali kakiku diikat dengan sangat kencang sampai meninggalkan jejak luka di sana.
Aku mencoba bangun dari posisiku yang meringkuk di sebuah sofa apek. Persedianku rasanya kaku semua. Aku seperti sudah tidak bergerak selama lebih dari dua puluh empat jam.
Kriet
Pintu terbuka!
“Well, bangun juga cewek ini.”
Aku terperanjat bukan main. Suara sengau laki-laki yang baru masuk itu membuatku terjatuh ke samping sofa tempat aku tadi tertidur. Aku menatap waspada.
Dia masih muda. Mungkin umurnya tidak beda jauh denganku. Ada banyak tindik di wajahnya dan beberapa tato yang menyembul dari balik jaketnya. Bahkan sampai ke pangkal leher.
Aku menyeret tubuhku mundur. Walau aku tahu, aku tidak akan bisa bergerak jauh. “Lo siapa?” seruku dengan suara bergetar.
Si cowok menyeringai. “Kita enggak bakalan jadi teman, jadi enggak perlu berkenalan. Oke?” Dia terkekeh sebentar kemudian menyalakan sebatang rokok.
Dia terlalu muda untuk menjadi seorang penculik. Apa dia sedang iseng? Apa ini sebuah lelucon?
“Gue di mana? Kenapa lo bawa gue?” tanyaku lagi dengan penuh emosi. Dia pikir dia siapa bisa menculik orang sembarangan? Apa dia tidak tahu kalau tindakannya ini melanggar hukum?
“Jangan banyak nanya. Gue bukan google.” Dia mendengkus kesal lalu melangkah ke arahku. Dia meneliti sekitar kemudian melihatku dengan tatapan menilai. “Kayak gini aja pacarnya Jace?”
Jace?
“Lo temennya Jace?” Aku bertanya lagi yang aku pastikan dia juga tidak akan memberikan jawaban. Seperti dua pertanyaanku sebelumnya.
“Heh?! Lo bisa diem enggak? Apa mau gue bius lagi supaya lo diem?!” gertaknya. Aku menciut mendengar ancamannya.
Ada suara ribut dari luar. Kemudian pintu terbuka dengan terburu-buru. Aku dan laki-laki di depanku menengok ke arah pintu bersamaan.
“Gi, dia udah di depan,” lapor laki-laki yang baru saja membuka pintu itu. Dia terengah-engah seperti habis berlari.
Aku melirik cowok di depanku. Dia menyeringai senang. Sepertinya, apa yang sedang dia tunggu-tunggu akhirnya datang.
Si cowok itu menghisap dalam-dalam rokoknya kemudian membuang dan menginjak sisanya. “Sendirian?”
“Keliatannya sendirian. Tapi...,” Si cowok yang baru datang itu tampak berpikir sebentar. Kemudian melihat ke arahku dengan ragu. “Kita jaga-jaga aja.”
Cowok itu berjalan ke sisi kanan ruangan. Berjongkok di depan sebuah tas hitam kotor yang sudah robek di sana-sini. Dia membuka resleting tas itu dan mengeluarkan sebuah benda yang membuatku ingin menjerit ketakutan.
Dia bawa celurit? Situasi macam apa ini sehingga aku harus satu ruangan dengan celurit?
Cowok di depanku menyeringai. Dia tampak setuju untuk ikut membawa senjata. Dia mendekati tas itu dan mengeluarkan beberapa benda. Ada rantai sepeda, gir motor, pisau berkarat dan tongkat pemukul base ball.
“Gue bawa ini aja,” putusnya sambil mengacungkan tongkat pemukul base ball. Entah kenapa aku sedikit lega. Padahal kalau dipukul pakai itu, akan tetap membawamu ke rumah sakit.
“Ayo,” serunya. Temannya mengangguk dan mengekor menuju pintu ke keluar. Lalu sepi.
Aku baru sadar kalau dari tadi aku menahan napas. Aku terengah dan diserang rasa panik. Siapa mereka? Mau apa mereka dengan barang-barang tadi?
Belum selesai aku bertanya-tanya tentang apa yang terjadi, pintu terbuka dengan kencang. Seseorang terhuyung masuk dan hampir tesungkur di depanku. Sepertinya, dia habis di dorong dengan kencang.
Tunggu, aku kenal laki-laki ini.
“Jace?” Aku memastikan apa yang aku lihat.
Jace tidak menjawab. Dia mematung ketika melihatku di sofa dengan tangan terikat. Seketika matanya menggelap dan tangannya mengepal kencang. Aku tidak mengerti apa hubungan Jace dengan penculikanku ini, tapi aku melihat kemarahan di sorot matanya.
Jace memalingkan wajahnya setelah melihatku. Lalu berbalik menghadap dua cowok yang tadi menyekapku.
“Gue udah disini. Lepasin dia!” geram Jace dengan nada rendah yang menakutkan.
“Geledah!” perintah si cowok bertindik pada temannya.
Yang di perintah segera mendekat ke tempat Jace berdiri. Seluruh badan Jace di raba dan di periksa dengan sangat tidak sopan. Jace membiarkan semua barang yang ada di saku jaketnya dilempar oleh teman si cowok bertindik. Dompet, handphone, rokok dan koreknya, termasuk satu bungkus utuh tusuk gigi. Cowok yang menggeledah itu sedikit bingung kenapa Jace membawa tusuk gigi sebanyak itu. Namun, dia memilih tidak peduli karena merasa itu bukan ancaman serius.
“Bersih,” lapor cowok itu ketika selesai memastikan Jace tidak membawa barang-barang yang berbahaya.
Si cowok bertindik menyeringai dan mulai melakukan panggilan di handphone-nya. Dia berbalik ke arah pintu dan melangkah keluar sambil bicara dengan kencang pada sambungan telepon.
“Si Kunyuk udah disini, Bos,” ucapnya sambil tertawa senang pada orang di seberang sana. Kemudian dia menoleh ke arah temannya. Memberi tanda untuk mengikutinya dengan anggukan kepala.
Mereka keluar dan pintu dikunci dari luar. Kini aku dibiarkan berdua dengan Jace di ruangan sempit dan berdebu ini.
“Siapa mereka?” Akhirnya aku membuka suara.
Jace menoleh kearahku. Dia menatapku dengan sorot mata yang masih gelap. Kemarahan dan penyesalan terlihat jelas di sana. Dia menghela napas dalam-dalam sebelum berjongkok untuk meraih tanganku dan membuka ikatannya. “Maaf. Ini semua salah gue.”
“Jawab dulu, mereka siapa dan apa hubungan semua ini sama gue?” Aku menuntut.
Ikatan telah terbuka sempurna. Kebas yang menyerang telapak tanganku berangsur pulih karena akhirnya darah bisa mengalir dengan lancar ke sana. Aku menyentuh luka akibat ikatan yang terlalu kencang di kakiku. Sudut mataku melihat tangannya bergerak hendak menyentuh luka itu. Namun, dia segera menarik tangannya kembali ketika aku bergerak menjauh.
“Dia salah satu murid yang sekolahnya terlibat tawuran sama anak-anak dari sekolah kita,” jawabnya pelan. Dia bergerak gelisah sebelum akhirnya duduk di sofa tepat di sampingku.
“Tawuran?” Aku sedikit bingung. “Terus apa hubungannya sama gue?”
“Sepertinya mereka salah orang. Mereka kira, lo itu cewek gue,” ucap jace sambil menatap ke bawah. Dia pasti sangat menyesalkan hal ini terjadi padaku.
“Kok, bisa?” Aku makin tidak mengerti.
Jace meliriku sebentar sebelum kembali memandang pintu di depan kami. “Salah satu dari mereka lihat gue anterin lo pulang sambil hujan-hujanan waktu itu.”
Aku mengerutkan kening mencoba menyusun semua informasi itu menjadi sesuatu yang bisa aku mengerti. “Kenapa mereka mau nyulik pacar lo?”
“Mereka dendam karena kalah tawuran...,” Jace diam sebentar. “Ada murid dari sekolah mereka yang kena bacok sama salah satu temen gue.”
“Jadi korban meninggal karena tawuran itu teman mereka?”
Jace mengangguk pelan lalu menghela napas panjang. “Sorry, bikin lo masuk ke dalam masalah gue,” ujar Jace tulus. Aku tahu dia benar-benar menyesal sudah membuatku ikut jadi korban dari masalah antar dua sekolah ini.
Aku menunduk. Tidak tahu apakah aku harus marah pada Jace atau tidak. Atau marah pada orang yang membacok temannya si cowok bertindik itu.
“Tapi seragam korban pembacokan itu mirip dengan sekolah kita? Gue dan Sheryl sempat berpikir kalau itu adalah lo,” ungkapku setelah kami beberapa saat diam.
“Logonya memang mirip,” paparnya sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.
Aku mengangguk paham. Setelah dipikir-pikir, logonya terlalu mirip untuk dua sekolah yang berada di wilayah yang berbeda.
“Tapi mereka lebih mirip preman ketimbang anak SMA. Memangnya sekolah mereka ngijinin muridnya bertato?” Aku menarik kedua lututku ke dada dan memeluknya erat.
Jace menoleh ke arahku lalu tersenyum kecil. “Gue bertato.”
“Tapi tato lo enggak terlihat. Kecuali lo pakai baju tanpa lengan ke sekolah,” kilahku.
“Si irgi memang udah lulus dua tahun yang lalu. Tapi, dia selalu ikut dalam tawuran kita. Dulu dia ketuanya.”
Jadi namanya Irgi, pikirku.
Menit demi menit berlalu tanpa ada lagi yang bicara. Jace memejamkan matanya di sampingku. Walau dia berusaha bersikap tenang, tetapi aku tetap melihat gurat tegang pada wajahnya. Aku tidak ingin bertanya lebih lanjut tentang kemungkinan terburuk apa yang bisa mereka lakukan pada kami. Aku mencoba tetap tenang dan berpikiran positif.
Tiba-tiba pintu di depanku terbuka dengan kencang, seperti biasa. Aku jadi penasaran, apakah mereka tidak tahu gunanya gagang pintu? Mereka selalu menendangnya untuk bisa membuat pintu itu terbuka.
Irgi dan temannya masuk sambil tersenyum penuh kemenangan. Kemudian seseorang menyusul masuk dengan langkah pelan. Seorang cowok berdiri di depan kami. Dia pakai jaket army dengan banyak tempelan bendera pada bagian lengan. Aku menduga, pasti dia yang tadi dipanggil Bos di telepon.
“Jace Ashad,” seru cowok si jaket army itu sambil merentangkan kedua tangannya.
“Gue udah disini. Biarin cewek ini pulang sebelum orang tuanya laporin kalian ke polisi,” gertak Jace dengan nada tertahan. Dari tinjunya yang mengepal erat, aku tahu dia sedang menekan amarahnya.
Cowok itu malah terkekeh mengejek. Dia mengerluarkan sesuatu dari jaketnya dan melemparnya ke arah kami. “Mereka enggak akan lapor polisi.”
Aku mengerutkan kening dan mencari tahu benda apa yang dia lempar.
Itu handphone-ku. Mereka mengambilnya saat aku pingsan dan mengirimkan pesan pada ibuku. Aku menyesal handphone-ku tidak diberi kata sandi.
‘Ma, aku nginep di rumah teman.’
Bunyi pesan yang diketik cowok sialan ini pada ibuku. Anehnya, ibuku hanya membalas dengan ’Oke’. Semudah itu dia mengijinkan anaknya untuk tidak pulang ke rumah.
“Berdiri!” perintah si Jaket Army sambil melangkah mendekat. Irgi dan temannya ikut mendekat.
Beberapa saat Jace tetap bergeming. Rahangnya mengeras dan nadi menyembul di dahinya. Lalu dia melirikku dengan tatapan yang menyiratkan kekhawatiran. Namun, akhirnya dia berdiri menuruti perintah si Jaket Army.
Aku reflek ikut berdiri dan bersembunyi di balik punggung Jace.
“Lo maju, dan cewek lo mundur sejauh mungkin,” perintahnya lagi. Jace tidak bergerak.
“Lo enggak denger? Maju tolol!!” Irgi membentak dan menendang betis Jace agar dia bergerak. Membuat Jace hampir tersungkur. Namun, dia kembali berdiri tegak.
Jace menyeret kakinya beberapa langkah ke depan, sedangkan aku tetap diam di belakangnya. Sekarang ada jarak antara aku dengan Jace, itu membuatku merasa tidak aman.
Aku tidak bisa melihat wajah Jace, tetapi aku yakin dia juga sama tegangnya denganku. Bedanya, aku tegang karena tidak tahu apa-apa. Sedangkan Jace tegang karena tahu sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi padanya.
Kemudian sesuatu yang buruk itu benar-benar terjadi. Benar-benar buruk sampai aku tidak bisa bernapas.
Si Jaket army mendekati Jace. Dia menyeringai, tetapi tidak menghilangkan ketegangan di wajahnya. Semua gerakan berlangsung terlalu cepat. Semua begitu tiba-tiba ketika aku menyadari ada darah yang tumpah di sana. Erangan kesakitan memenuhi telingaku. Kemudian tubuh Jace ambruk tepat di depan mataku. Jace bersimbah darah dengan sebuah pisau menancap di perutnya.
Aku membeku.

Book Comment (109)

  • avatar
    AndriyanGalih

    godd jobb ceritanya asikk😍😍👌🏻

    18/08

      0
  • avatar
    VerzaDavin

    kena banget

    06/08

      0
  • avatar
    MunirMunir

    hmm

    21/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters