logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Menyelam Kenangan Kelam (part2)

Sudah hampir seminggu lebih Anna terkurung di rumah sakit, bagaikan burung dalam sangkar. Dan selama itu pula dirinya dilanda kebosanan yang sangat luar biasa.
Kegiatan yang dilakukan oleh Anna kali ini hanya mengintip ke arah luar melalui jendela ruangannya. Berulang kali Anna dibuat menunggu dengan keadaan cemas bukan main. Kesendiriannya membuat rasa kesedihan menusuk tepat di jantung Anna.
"Tuhan, kapan ayah datang menjenguk aku seperti dulu?" gumam Anna bertanya menatap ke atas langit di balik jendela.
"Apa karena ayah belum ikhlas dengan masa lalunya, membuat ayah enggan untuk bertemu dengan aku?" lanjut Anna bergumam sambil menerawang kilas balik masa lalunya di kepalanya.
Jari jemari yang sangat kecil milik Anna bergerak gelisah mengukir sebuah nama tepat di kaca jendela yang ada di hadapannya.
"Kalau kamu mau balas dendam sama aku. Tolong, jangan siksa aku seperti ini. Lebih baik kamu ajak aku pergi untuk selamanya," bisik Anna yang entah mampu di dengar pada sosok yang raganya sudah hilang tertimbun tanah.
Tok ... Tok ... Tok ...
Suara ketukan pada pintu membuat tubuh Anna menegang. Buru - buru Anna mengusap air matanya yang membasahi kedua pipinya. Dengan secepat mungkin Anna merubah raut wajahnya yang awalnya sedih mejadi ceria. Meskipun semuanya hanya palsu atas kepura - puraan.
"Masuk!" teriak Anna dengan suara seraknya menyuruh orang itu masuk ke dalam.
Tubuh jangkung dan juga kekar yang dibalut sebuah kaos sederhana dan celana jeans kini memasuki ruangan inap Anna.
"Bagaimana keadaan kamu, Anna?" tanya orang itu setelah benar - benar masuk ke dalam ruangan inap Anna.
Anna spontan memutar tuas kursi roda yang dipakainya untuk menghadap langsung ke arah orang itu. Sebuah senyuman manis nan lembut terukir jelas di bibir pucat Anna. Kedua mata Anna pun sampai menyipit hanya demi sebuah kepura - puraan.
"Kakak sudah sangat tahu keadaan aku. Rumah sakit sudah menjadi rumah kedua bagi aku, maka dari itu keadaan aku sangat baik - baik saja dari sebelumnya," jawab Anna penuh kebohongan seraya membawa kursi rodanya menuju ke arah Rayhan.
Ya, sosok yang hadir untuk menjenguk Anna adalah Rayhan, kakak kandung dari Anna.
Sangat jelas sekali Rayhan melihat raut kesedihan yang tertutupi senyuman manis nan lembut dari Anna. Tanpa banyak waktu lagi Arsen menjatuhkan lututnya ke lantai yang dingin. Memerangkap tubuh kecil Anna di kursi rodanya dengan kedua tangan Rayhan yang menjadi penyekat.
"Kamu lagi enggak bohong, kan? Kamu enggak perlu takut untuk berkata jujur. Kakak akan selalu membantu kamu meski dalam keadaan sulit pun," ucap Rayhan penuh pengertian pada Anna.
Senyuman manis nan lembut milik Anna berubah menjadi getir. Raut wajahnya pun berubah menjadi dingin. Tangan rapuh milik Anna menyentuh langsung di kedua pipi Rayhan.
"Jangan berkata seperti itu, Kak." Anna menggelengkan kepalanya pelan masih dengan menatap Rayhan lekat - lekat.
"Karena ucapan kak Rayhan menumbuhkan sebuah harapan di dalam diri aku. Tetapi kenyatannya semuanya itu tidak akan terwujud. Cukup beri aku dukungan untuk bisa melawan penyakit ini. Karena sejatinya hidup adalah bisa menghadapi, bukan hanya berlari," sambung Anna dengan suara seraknya yang sangat bijak sekali.
Tangan Rayhan bergetar menyentuh kedua tangan Anna yang berada di kedua pipinya. Jantung Rayhan pun berdetak sangat tidak beraturan. Apalagi bayangan - bayangan kehilangan orang yang sangat disayanginya selalu menghantui kehidupannya.
"Anna, kamu enggak lagi berencana untuk pergi dari Kakak, kan?" tanya Rayhan dengan hati penuh rasa was - was.
Kepala Anna menggeleng cepat. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepada kak Rayhan. Apa mungkin kak Rayhan masih bisa bertahan untuk selalu ada di samping aku terus selamanya. Itu yang harus kak Rayhan ketahui ketakutan yang selama ini aku alami," terang Anna yang mencoba jujur, meski hanya sedikit.
Kedua bahu Rayhan terkulai lemas. Menatap gamang kedua tangannya dengan pandangan nanar.
"Kamu buang jauh - jauh pemikiran seperti itu. Jika Abang sudah melakukan kesalahan yang diluar batas, kamu bisa tegur Abang atau pukul kepala Abang. Supaya Abang bisa ingat kamu lagi," balas Rayhan yang mencoba menyakinkan Anna kepada dirinya.
"Bang Rayhan janji?" tanya Anna menyodorkan jari kelingkingnya ke arah Rayhan dengan senyuman manis nan lembut.
Rayhan pun menyambut jari kelingking Anna dengan menautkan jari kelingkingnya juga. "Abang sangat janji setulus hati," jawab Rayhan dengan mantap.
***
"Kamu enggak apa - apa pulangnya telat?" tanya Arsen sangat mengkhawatirkan keadaan Shea.
"Enggak apa - apa, kok. Aku janji, nanti aku enggak akan merepotkan kak Arsen di sana," jawab Shea mencoba menyakinkan Arsen dengan iming - iming janji.
"Serius? Nanti kamu dicariin sama orang tua kamu?" tanya Arsen sekali lagi untuk memastikan keinginan Shea.
"Kak Arsen tenang saja enggak usah takut, karena orang tua aku sudah enggak ada. Kan, aku dari kecil sampai sekarang tinggalnya di panti asuhan," jawab Sea dengan senyuman maklum.
Berbanding terbalik dengan raut wajah Arsen yang seketika berubah menjadi pias. "Maaf, aku enggak tahu soal itu dan aku enggak ada niat buat kamu sedih untuk mengingat semua itu lagi," ucap Arsen penuh sesal pada Shea.
Shea Menggeleng kepalanya pelan dengan lembut. "Santai saja kali, kak Arsen. Lagian aku sudah ikhlas atas kepergian mereka berdua. Yang terpenting Tuhan masih berbaik hati dengan kehidupan aku, meski selama sembilan tahun aku hanya ditemani kegelapan," balas Shea yang tidak terlalu menyalahkan ucapan Arsen tadi.
Menurut Shea, kehilangan memang salah satu cobaan yang paling menyakitkan. Tetapi mengikhlaskan menjadi pelengkap penyempurnaan mereka untuk kembali pada yang maha Kuasa.
"Ya sudah, ayo kita berangkat sekarang," putus Arsen yang langsung mengajak Shea pergi meninggalkan area sekolah menggunakan mobil milik Arsen.
Selama sepanjang jalan, Shea selalu berdecak kagum melihat pemandangan di sekitarnya melalui jendela kaca mobil Arsen. Sedangkan Arsen hanya menggelengkan kepalanya memaklumi atas sikap Shea yang sangat berlebihan.
"Nanti di sana banyak orang enggak, Kak?" tanya Shea memalingkan wajahnya, menatap ke arah Arsen yang sedang fokus menyetir.
"Ya lumayan, seperti cafe biasanya. Kalau jam segini biasanya belum terlalu ramai, karena cuacanya yang masih sangat panas," jawab Arsen dengan jelas.
Hanya satu pertanyaan di dalam mobil yang dilontarkan oleh Shea menjadi akhir topik pembicaraan mereka berdua.
Setelah selang beberapa menit, mobil hanya dikendarai oleh Arsen telah sampai di sebuah cafe milik Omnya.
Buru - buru Arsen keluar dan berlari membukakan pintu mobil untuk Shea. "Selamat datang, Tuan Putri," sambut Arsen seperti pengawal kerajaan.
Tawa renyah milik Shea mengudara seketika. Semburat merah di kedua pipinya membuat Shea malu bukan main lagi.
"Apaan 'sih, Kak Arsen," ketus Shea yang menyembunyikan rasa malunya pada Arsen.
Arsen pun tergelak menertawakan sikap lucu yang dimiliki oleh Shea. Dan mereka berdua pun akhirnya berjalan masuk ke dalam cafe.
Lima langkah lagi Arsen dan juga Shea akan sampai ke meja yang sudah dibooking oleh teman Arsen.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal ketika sosok pemuda yang langsung berdiri ketika melihat kedatangan Arsen bersama Shea.
"Kenapa lo ajak tuh bocah?" tanya Banyu yang langsung merespon keberadaan Shea dengan tidak suka.
Kening Arsen mengerut mendengar celetukan dari Banyu. "Kenapa? Emangnya ada yang salah gitu?" tanya Arsen balik pada Banyu.
"Weits ... Sabar, Bro. Kayaknya lo dari tadi sudah sensitif bangat," sahut Bisa yang langsing memegang bahu tegang Banyu.
"Aku boleh gabung enggak?" tanya Shea memecahkan ketegangan di antara ketiga pemuda itu.
Spontan Bisma langsung menatap wajah Shea lekat. Mulutnya terbuka dengan mata melotot. "Loh, kok lo mirip sama—"
"Andrhea, kan," sambung Shea yang sudah memotong ucapan dari Bisma.
Shea mengulurkan tangannya ke arah Bisma. "Kenalkan, aku Shea. Adik kelas kalian," ucap Shea memperkenalkan dirinya pada Bisma.
Rahang tegas Bisma serasa mau copot melihat sosok yang ada di hadapannya. "Berarti lo bukan hantunya Andrhea, kan?" tanya Bisma dengan was-was.
Shea menggelengkan kepalanya sambil terkekeh geli. "Mana ada siang begini ada hantu berkeliaran."
"Benar juga apa kata lo," sahut Bisma menyetujui ucapan Shea.

Book Comment (298)

  • avatar
    KhotimahNurul

    aku sangat suka dengan cerita ini

    3d

      0
  • avatar
    Pred

    kata kata ini menarik

    7d

      0
  • avatar
    bagos123toif

    bagus

    18d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters