logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

BAB 7 Bertemu Calon Mertua

Om, Nikah Yuk? 7
Bertemu Calon Mertua
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Suatu hubungan akan terlihat serius berkali-kali lipat jika sudah mendapatkan lampu hijau alias restu dari orang tua. Karena tidak ada doa yang paling mujarab jika bukan doa dari mereka.
Hubungan Rere dan Om Awan memang hanya bisa di bilang teman saja. Karena apa? Karena dalam setiap momen dan perhatian tidak pernah ada sekali pun yang mengikrarkan kata cinta.
Mereka berdua hanya saling memberi perhatian, saling peduli, saling menghibur, saling khawatir, saling cemburu dan saling sebagainya tanpa ada ikatan yang mengikat hubungan mereka.
Jadi, setidaknya akan ada hati yang tidak terlalu tersakiti jika hubungan ini mengembara tak tahu ke mana arahnya. Walaupun dalam hati keduanya terselip keinginan bisa menemukan tujuan di akhir titik penantian. Rere meyakini hubungan yang sedang dijalani pasti menemukan muara yang indah.
Sebagai lelaki dengan pengalaman yang pernah gagal karena kesalahannya, ia tidak ingin mengulangi kesalahan serupa. Ia berpikir tidak ada salahnya memperkenalkan Rere pada ibunya. Ini salah satu cara untuk menemukan jawaban hatinya akan hubungannya dengan Rere. Sekaligus langkah awal menyusuri jalinan yang ingin mereka yakini.
Bukankah wanita menyukai ketegasan?
Gunawan ingin memberikan ketegasan akan pilihan yang ia ambil. Seiring berjalannya waktu, pertemanan dengan Rere melalui aplikasi biru mulai merambah komunikasi lewat telepon. Setiap hari satu kali telepon dengan durasi tiga puluh menit. Bahkan kalau hari Minggu bisa tiga kali sehari, persis seperti minum obat. Kan, memang hatinya merasa sakit jika tidak mendengar suara sang wanita.
Eaaa ....
Om Awan ingin sekali memberitahukan keputusannya untuk mengajak Rere bertemu dengan ibunya. Ia juga ingin memperlihatkan tempat usahanya yang masih dalam tahap berkembang. Ia sungguh ingin mengawali hubungan ini dengan kejujuran. Pengalaman lalu cukup membuatnya mengerti bagaimana harus bersikap kepada wanita yang menginginkan dirinya.
Di teras depan yang dipenuhi banyak bunga, Gunawan mencoba menghubungi Rere. Matanya menatap bunga yang berada tepat di depannya sembari menunggu telepon tersambung. Kakinya bergetar karena rasa tidak sabar.
Tut ... tut ... tut.
Hanya suara itu yang terdengar di rungu Om Awan. Nada deringnya tidak seperti ponsel remaja pada umumnya. Gunawan sudah melakukan panggilan sebanyak tiga kali tapi tidak ada jawaban. Panggilan keempat barulah terdengar ada jawaban.
"Halo, Om Awan?" jawab Rere dengan suara parau, suara khas baru bangun tidur. Satu tangannya sibuk mengucek matanya yang baru saja terbuka. Rere memang kadang punya ritual tidur siang manja.
"Halo, Re ... baru bangun tidur siang ya?" tanya Om Awan dengan hati melega. Bayangan wajah Rere sekarang pasti terlihat lucu sekali.
"Hmm ... ada apa, Om?"
"Entar malem main ke rumahku, mau nggak?" Om Awan sedikit ragu menyebut main ke rumah. Ini pertama kali mengajak gadis yang masih muda untuk dikenalkan dengan keluarganya.
"Mau banget, Om. Mau dikenalin sama calon mertua ya, Om?" Wajah Rere berubah sumringah. Rasa kantuk yang masih menempel langsung lenyap seketika.
Gunawan berdecak heran mendengar jawaban Rere yang begitu antusias dan terlalu bangga menyebut calon mertua. Namun, senyum tipis terukir di wajahnya.
"Ya, nggak juga. Biar kamu kenal lebih aja sama keluargaku. Nanti juga aku akan ajak kamu melihat sebentar usaha warungku," jelas Om Awan lagi.
"Oke, Om. Siap empat lima pokoknya. Buat Om apa sih yang enggak." Senyum Rere kian tertarik. Inilah saat-saat yang ditunggunya sejak lama.
Seorang Rega Saputri masuk dalam keluarga Gunawan Wijaya.
Sambungan telepon terputus setelah semua niat tersampaikan dengan sambutan yang luar biasa. Hati keduanya merasakan bahagia dengan pikiran yang berbeda. Sang pria merasa ingin membuka diri, sedangkan si wanita merasa bahagia karena jalannya untuk menjadi mantu akan terbuka dengan lebar.
**
Rere menunggu waktu yang disepakati dengan gelisah bercampur bahagia. Ia menghitung detik demi detik dengan hati yang berdebar. Tanpa terasa siang kini sudah berganti sore. Saatnya Rere bersiap menyambut kedatangan Om Awan. Ritual mandi kali ini pun terbilang cukup lama. Biar terlihat bersih dan wangi.
Masa mau ketemu calon mertua bau asem, bisa langsung ditutup pintu rumahnya.
Rere memilih pakaian terbaiknya. Lebih tepatnya pakaian yang sopan tapi masih terlihat santai. Kaos warna putih berpadu dengan rok sebawah lutut, sweater rajut warna hitam juga tidak lupa Rere kenakan. Walau terlihat sederhana tapi kecantikan Rere masih terpancar dan bercahaya.
Mama tersenyum melihat kecantikan sang anak. Memang benar kata suami kalau kecantikan sang ibu bisa menurun pada anaknya, bahkan bisa bagaikan pinang dibelah dua.
"Sayang, dandannya udahan. Itu udah ditungguin Gunawan," ucap sang ibu lembut. Senyumnya tidak bisa dihentikan karena melihat Rere begitu semangat.
"Ini juga udahan, Bu." Rere menjawab sambil menggandeng tangan sang ibu hingga menemui Om Awan.
Di ruang tamu yang cahaya lampunya tidak terlalu terang, Om Awan terlihat selalu mempesona. Ketika pandangan mereka bertemu, Om Awan sudah tidak terpesona melihat penampilan gadis yang sedang berjalan ke arahnya. Di matanya Rere selalu cantik meski dengan gaya pakaian yang terkadang aneh. Ada satu aura yang membuat gadis itu selalu bercahaya di matanya.
Ups! Apakah hatinya mulai meleleh dengan sikap bocilnya yang ceplas-ceplos? Kalau iya pasti tingkahnya semakin liar dan absurd.
"Saya pamit dulu, Tan. Mau ngajak Rere jalan-jalan," ucap sang pria.
"Iya. Hati-hati. Pulangnya jangan kemaleman, ya?" pesan beliau.
"Siap, Tan!"
Mereka berdua terlihat semakin akrab. Sesama mantu dan mertua memang harus akur. Iya nggak? Iya aja, biar Rere bahagia.
Setelah berpamitan, mereka langsung menuju ke kediaman Om Awan. Mereka tidak banyak bicara selama perjalanan. Mereka tenggelam dalam kebisuan yang saling berkelana merangkai harapan dalam asa. Akan tetapi, tangan mereka tetap berpegangan erat layaknya sepasang kekasih.
Hampir setengah jam akhirnya mereka sampai di depan rumah Om Awan. Model rumahnya bergaya khas rumah jawa tempo dulu. Pepohonan hijau berjejer menghiasi halaman rumahnya, persis seperti hutan. Namun, rasa sejuknya mampu memberikan Rere sebuah ketenangan.
Rere berhenti melangkah. Rasa gugup dan gerogi tetiba datang menghampiri. Nyalinya menciut harus bertemu dengan calon mertua secepat ini.
"Om, takut ditolak ...." Suara Rere terdengar risau.
Om Awan tersenyum melihat wajah Rere yang memucat tapi terlihat cantik. Apalagi dipayungi cahaya temaram dari lampu yang berdiri di belakang pepohonan. Kecantikan Rere menjadi bertambah berkali-kali lipat.
Hati ini merasa ingin memeluknya untuk mengusir kegugupannya.
"Nggak usah takut. Kalau ditolak, ya, usaha biar diterima. Masa ngajak aku nikah aja berani, mau ketemu ibuku takut," ledek Om Awan. Ia sengaja membuat candaan agar Rere bisa lebih sedikit santai.
Rere berdecak sebal mendengar ledekan Om Awan.
"Dasar! Dulu diem aja pas diajakin nikah, sekarang ...?" jawab Rere dengan bibir yang membentuk kerucut.
Gunawan menatap wajah Rere yang tengah merajuk menjadi berkeinginan untuk mencium pipinya. Lucu, bikin gemas. Namun, ia segera menepis pikiran anehnya.
Perlahan tangan Om Awan meraih jemari mungil gadis bocilnya. "Maaf! Aku diam bukan karena tidak suka, melainkan aku malu diajakin nikah sama gadis yang masih bocil kayak kamu."
"Ya udah, sekarang masuk dulu. Mama pasti udah nungguin," ajak Om Awan. Genggaman tangannya pun kian bertambah erat.
Saat baru berjalan beberapa langkah, suara seorang wanita sudah menyambut kedatangan mereka. Wanita itu masih terlihat cantik, mungkin usianya hampir sama dengan ibunya.
"Selamat datang di rumahnya Gunawan. Anggap saja seperti rumah sendiri." Sapaan wanita itu terdengar ramah. Matanya terus menatap penampilan Rere. Entah kagum atau pun bingung Rere juga tidak tahu.
Om Awan menyalami wanita yang dipanggilnya 'Mama' dengan takzim. "Mah, kenalin ini Rere."
Mata Om Awan melirik sebagai isyarat agar Rere memperkenalkan dirinya pada sang mama. Rere langsung ikut menyalami dan mencium punggung tangan mama Om Awan.
"Rere, Tante."
Ada rasa malu bertemu calon mertua tanpa persiapan mental yang matang. Pikiran yang aneh-aneh mulai bergentayangan dalam kepala. Rere melihat mereka saling mendekat, seperti sedang berbisik sesuatu. Perasaan Rere tiba-tiba mendadak menjadi tidak enak.
"Jadi ini yang namanya Rere, Gun? Cantik. Mama suka. Jadi beneran Mama akan punya mantu?" bisik sang mama yang sedikit menjauh dari Rere.
"Ish! Aku malu, Ma. Dia udah ngajakin nikah berkali-kali, padahal baru kenal," jawabnya bisik-bisik. Matanya sesekali melempar senyum ke arah Rere, biar tidak ketahuan sedang diomongin.
"Buktinya kamu udah berani ngenalin ke Mama. Berarti kamu juga suka dong?"
Gunawan terdiam. Pertanyaan sang mama membuatnya tidak bisa berkutik.
Nah, kan? Gunawan menatap sang mama mencari jawaban yang pas untuk pertanyaan yang terakhir. Apa iya jika kini dirinya telah jatuh hati pada Rere? Gadis bocil yang tidak pernah tahu apa arti kata malu?
Sialnya, memang benar jika semenjak mengenal gadis itu, pikirannya mulai dikuasai tentangnya. Gadis yang kini sedang terlihat begitu cantik dengan wajah malu-malu bersemu merah.
Rere hanya bisa menatap ibu dan anak itu dengan perasaan yang entah bagaimana. Dadanya yang jelas merasa seperti sedang disidang di depan kantor BK.
"Kenapa mereka tidak berterus terang aja? Kalau begini kesannya jadi ingin berlari sejauh mungkin. Kan, mikirnya takut ditolak jadi mantu ...."
--------***-------
Bersambung

Book Comment (153)

  • avatar
    Rabiatul Adawiah

    Karya yg bagus. Success buat penulisnya 🌹🌹🌹❤️❤️❤️

    21/05/2022

      0
  • avatar
    Sukini Yg Indah

    200

    15/07

      0
  • avatar
    mustikaDD syifa

    bikin pengen baca terus✌

    29/05

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters