logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Menggagalkan Guna-guna

"Lagu tadi pakai bahasa manusia modern, bahasa asing orang luar negri."
Kaivan mengangguk, lebih mengerti mungkin. Untung nggak nanya, modern itu apa!
"Kamu pernah menikmati makanan di alam manusia?" Sekarang ganti aku yang bertanya. Meski belum peka laki-laki ini makhluk jenis apa.
"Belum. Aku hanya mendengar saja," jawabnya.
"Ayo beli makanan! Pilih saja, aku yang traktir."
Sengaja tidak kugunakan kata 'cari makan' nanti kepo lagi. Dan, sebelum Kaivan menjawab apa pun, aku sudah menarik tangannya ke jajaran stand di pinggir jalan.
Berkeliling, membaca satu per satu spanduk di tenda-tenda penjual makanan, tidak ada yang menarik minatnya. Entah apa makanan laki-laki tampan ini di alamnya. Sampai di depan sebuah gerobak mi ayam, dia mengajak berhenti.
Aku yang mengerti maksudnya langsung memesan dua porsi mi ayam dan dua gelas es campur.
Hitungan menit menunggu, pesanan kami datang. Tapi, Kaivan justru terlihat bingung.
"Pakai tangan boleh, Nay?" tanyanya berbisik.
Aku menutup mulut seketika, setengah mati menahan agar tidak terbahak-bahak di depan banyak orang.
"Begini," terangku. Menuang sambal, saos, kecap. Masing-masing sedikit ke mangkok dan mengaduknya. Meletakkan sendok di tangan kiri dan garpu ke tangan kanan, lantas menyuap. "Cara makan seperti aku."
Kaivan menurut, copy paste apa yang kulakukan setelah bumbu pelengkap mi ayam kucampurkan.
Aku ingin jail niatnya, membiarkan laki-laki alam lain ini menuang sendiri sambal, saos dan kecap. Tapi, rasa tidak tega tiba-tiba menghampiri.
Alam manusia sama seperti alam Kaivan bisa jadi, ada rasa malu sekaligus kejadian tidak diinginkan sebagai akibat dari sebab. Dan, aku tidak ingin ia ditertawakan orang.
"Hahaa, Masnya ini lucu banget e. Ganteng kok ndak bisa makan mi ayam!"
Kang penjual yang rupanya sejak tadi memerhatikan, terbahak setelah meledek. Kontan saja hal itu membuat semua orang melihat ke arah Kaivan. Pandangan serta senyum mereka pun mencibir.
Julid adalah tradisi.
Aku langsung berdiri, menatap penjual itu dengan tajam.
"Maaf, Kang. Kami memang orang pelosok. Tidak pernah tahu makanan enak kalau tidak ke kota. Tapi, kami bukan orang miskin. Masih sanggup kok membayar makanan dan minuman ini berapa pun harganya!" Aku langsung mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu dari dompet, memberikan pada penjual sok kota itu, lalu mengajak Kaivan pergi.
Bagiku, makanan selezat apa pun akan hambar, kalau penjual atau yang memasaknya julid.
"Kita makan di tempat lain. Dan, jangan sekali-kali ikut mengucapkan kekesalan pada orang itu, Van," ucapku saat kami sudah menjauh. Firasatku benar-benar merasakan hal lain.
Kaivan bukan manusia, ia memiliki kesaktian dan kemarahan yang bisa saja menjadi kemungkinan terburuk bagi orang biasa, sampai beberapa waktu.
Kaivan mengerti maksudku, mengiyakan dan mengajak ke tempat lain.
"Beli es krim sama coklat, mau?" tawarku saat kami berada di depan sebuah pusat perbelanjaan. Tidak ada pilihan lain kalau terlanjur lapar
"Tidak, tidak. Nanti kamu malu lagi gara-gara aku," tolaknya.
"Kaivan, jangan begitu. Aku tidak merasa malu, karena kamu memang tidak tahu. Dan, kamu nanti bisa melihat kemudian mencontohku." Aku berusaha menenangkan serta membesarkan hatinya.
"Baiklah, tapi kita agak menjauh dari keramaian," pintanya.
"Iya, beres!"
Aku langsung mengajaknya masuk pusat perbelanjaan, menawari berkeliling tapi segera ditolak. Ya sudah, jadinya beli sesuai kebutuhan saja.
Setelah membayar apa yang dicari, kami segera meninggalkan tempat itu. Mengajak Kaivan ke tempat yang tidak terlalu banyak orang, sehingga saat makan, tidak ada yang lirik-lirik julid sekaligus kepo.
"Van, tadi saat di pusat perbelanjaan, kenapa tidak mau diajak berkeliling?" tanyaku.
"Aku melihat 'mereka' yang bisa jadi membahayakan keselamatanmu, Naya," jawabnya, sekilas saja menatapku.
Aku mengerti artinya. 'mereka' adalah mahkluk tidak kasat mata yang bisa saja jail. Sudah lumrah di tempat-tempat berkumpulnya orang. Tetapi, kenapa Kaivan mengatakan hanya berbahaya bagiku? Kenapa ia tidak, padahal bisa melihatnya?
"Naya." Kaivan menatapku dalam, membuyarkan dari pertanyaan pertanyaan tadi. "Mereka bisa merasakan bahwa aku tetap Juru Damai, yang mengawal dan dekat dengan raja-raja alam lain. Apa pun pakaian yang kukenakan, sembah dan penghormatan itu tetap berlaku. Aku ini jin, mereka juga jin."
Tuh kan, bisa membaca pikiran.
"Namun, tidak denganmu. Kamu manusia yang tetap memiliki batas keberanian, Naya," lanjutnya, beranjak dari duduk setelah es krimnya habis.. "Ayo kita pulang! Sekarang ganti aku yang mengajakmu jalan-jalan."
"Apa sudah jamnya? Lalu ... lalu, mana mobilmu?"
Cling!
Kaivan kembali ke wujud semula. Memakai ikat kepala emas dan pakaian hitam yang sebagian juga bertabur emas. Senjata panah terselip di pinggang sebagaimana panglima perang.
"Kita tidak naik mobil, tapi terbang!" serunya, merangkul tubuhku dan kami melesat ke langit.
Selama perjalanan lewat jalur langit (tidak salah, kan. Ada jalur darat, laut dan ... yang benar itu langit) aku mati kata ketakutan.
Bagaimana kalau jatuh? Bagaimana kalau menabrak awan? Langit malam sebenarnya gelap sekali, lampunya cuma ada di kamera film.
"Jangan melihat ke bawah sana, Naya. Aku akan sering membawamu terbang seperti ini dalam keadaan keadaan tertentu!" Kaivan memperingatkan, karena sekali sekali aku masih melihat ke bawah dan takut.
"Van, aku takut," rengekku. Semakin erat memeluknya.
"Tenanglah, sebentar lagi kita turun. Persiapkan dirimu untuk melihat hal berbahaya lagi, Naya."
Benar saja, tidak lama setelah Senopati agung alam lain itu mengatakan demikian, kami meluncur turun. Aku memejamkan mata, mungkin seperti ini rasanya terjun payung.
"Buka matamu, dan lihat yang di bawah pohon itu," bisik Kaivan.
Menurut, aku segera membuka mata dan mendapati sedang bersembunyi di balik tanaman menjalar. Sementara tidak jauh di depan itu, seorang laki-laki tua berpakaian serba hitam komat-kamit di depan sebuah nampan kecil yang tengahnya ada wadah dari tanah.
Benda itu berasap.
Kalau tidak salah lihat, nampan berisi bunga setaman. Dan yang berasap di tengahnya pasti dupa.
"Sedang apa orang itu?" tanyaku berbisik.
"Meminta bantuan roh jahat, untuk mengirim guna-guna pada Bibimu," jawab Kaivan berbisik pula.
Apa? Bibi? Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan kejombloan akut adik bungsu Ayahku.
"Kamu mau apa, Van?" tanyaku kembali tidak mengerti. Sebab jari telunjuk dan jari tengah laki-laki disampungku ini menunjuk ke arah dupa.
"Tenang dan lihatlah," tukasnya.
Tring!
Tiba-tiba kembang sesaji dan dupa menjadi sampah. Masih dalam nampan dan berasap, tapi baunya sangit bukan wangi.
"Ayo pulang, sebelum ketahuan!"
Kaivan merangkul tubuhku, sebelah tangannya terletak di depan dada. Lalu ....
Cling!
Aku sudah berada di dalam kamar, dengan Kaivan yang berdiri tidak jauh dariku. Beberapa saat saling pandang, kami lantas terbahak-bahak membayangkan kejadian barusan.
"Van, Van. Kira-kira dukun tadi gimana, ya?" tanyaku kepo.
"Jelas dongkol. Karena sajennya berubah jadi sampah dan dihajar habis-habisan sama roh jahat. Dianggap sudah mempermainkannya!" jelas Kaivan.
Aku jadi membayangkan dukun itu menjadi bulan-bulanan tuannya.
"Lalu, apa rencana kamu selanjutnya, Van?"
"Besok pagi kamu harus pulang. Seseorang yang terlanjur membaca mantra dan gagal, mantra itu akan menyerang dirinya sendiri. Mahkluk mahkluk kiriman pun berbalik minta imbalan nyawa. Dan, aku Berfirasat besok ada seseorang yang membongkar benda-benda 'tanaman' di rumah ini."
Jadi, dukun itu mati?

Book Comment (103)

  • avatar
    DianAyuning

    halo, Kak, baru sampai bab 6 nih, huhuhu. lambat sekali aku bacanya tapi ceritanya menghibur sekali.

    19d

      0
  • avatar
    Suci putriGita

    saya suka

    25d

      0
  • avatar
    Atiey17Farawati

    good

    11/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters