logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Ke Kota

Tidak ada rasa takut sekarang, drama pecah botol parfum dan melihat ia sebagai hantu, berhasil menciptakan kesal tersendiri. Siapa pun ia, memang tak ada akhlak.
Kulewati laki-laki berpakaian serba emas yang selalu membawa senjata panah, dengan acuh. Memeriksa lantai yang tadi ada pecahan botol parfum beseerta isinya jauh lebih penting, daripada larut dalam drama permintaan maaf tidak berguna.
Namun ....
"Mencari apa? Parfumnya di meja rias," ucapnya. Tahu lagi apa yang aku inginkan.
Seketika aku menoleh ke arah yang ditunjukkan. Dan, terbelalak keheranan. Botol kaca berisi cairan harum berwarna ungu muda yang tadi pecah, sudah kembali seperti sedia kala. Utuh, berikut isinya.
Beberapa kali mengerjap, hasilnya tidak berubah. Parfum itu memang berada di meja rias dan tidak pecah.
"Kok bisa?" gumamku.
Sebenarnya bukan bertanya kepada siapa siapa, tapi justru memperoleh jawaban.
"Mudah saja. Bahkan aku bisa sekejap mata mengantarmu ke kota," jawabnya ringan.
"Kamu ... bisa mengantarku ke kota dengan cepat?" tanyaku. Lenyap sudah kemarahan tadi bersama ... sebut saja rasa takjub.
Perasaan manusia memang berubah-ubah lebih cepat dari air mendidih, itu benar seratus persen.
Ia mengangguk.
"Tidak ada yang sulit bagiku, bepergian hanya satu sampai tiga detik bisa. Tapi ... ini alam manusia, Naya. Kita bisa ke mana pun harus sesuai akal manusia," jelasnya panjang lebar tanpa ada ekspresi bercanda. "Setelah magrib kita akan ke kota."
"Caranya?"
Alam manusia. lalu, ia apa?
Sungguh, pikiranku tidak bisa mencerna dengan baik dan benar apa yang baru saja kudengar. semua hal terjadi di luar nalar. Bahkan, pertanyaan timbul tenggelam saking banyaknya.
"Katakan pada Bibimu, teman dari kota menjemput nanti setelah magrib. Namanya Kaivan, dan aku akan datang ke sini dengan mobil mewah."
"Jadi, nama kamu Kaivan?"
Ia kembali mengangguk, senyum menawan itu juga tercipta seketika. Manis sekali kalau nggak jaim.
"Lalu, kamu berasal dari mana?"
"Part cerita ini masih panjang. Belum saatnya kamu mengetahui semua hal sekarang. Bersabarlah."
"Kalau begitu ..." Aku melogika. Mulai menyadari satu hal lagi, harus ditanyakan sebelum ia menghilang.
"Bukankah tidak ada yang bisa melihatmu selain aku?"
"Iya."
"Lantas, bagaimana Bibi dan Kakek percaya?"
Laki-laki dengan senjata panah terselip di pinggang itu diam agak lama, kedua tangannya menyentuh pundakku sehingga kami berhadapan dengan jarak sangat dekat.
"Orang tidak akan bisa melihatku karena pakaian ini, Naya. Tapi, kalau aku berganti baju manusia modern sepertimu, tidak sulit menunjukkan diri pada siapa pun yang aku kehendaki."
Setelah mengiyakan dan memahami penjelasan Kaivan, aku segera ke luar kamar. Menyampaikan kepada Bibi dan Kakek sesuai perintahnya tadi. The power of terdesak membuat sisi hatiku menurut.
Awalnya Bibi tidak percaya, sebab, aku memang nekat berangkat magrib ke kota. Tapi, penjelasan bahwa temanku mengabari lewat WhatsApp juga mendadak, bisa meredam sedikit keraguan orang yang setiap hari merepet itu.
Menit demi menit berlalu, adzan magrib pun perlahan selesai dan mengembalikan kesunyian pada tempatnya. Meski desa ini sudah padat rumah rumah penduduk, tapi satu RT yang beranggota tidak lebih dari empat puluh orang, sama saja dengan desa yang rumah satu dengan lainnya sangat jauh.
Terlebih malam hari, orang-orang lebih suka menikmati waktu bersantai bersama keluarga di dalam rumah, daripada mengobrol dengan secangkir kopi pemilik warung. Kalaupun ada, hanya penduduk baru yang belum terbiasa dengan kebiasaan saja.
Terdengar deru mobil semakin mendekat ke halaman. Dua lampu depan menyala menyilaukan, tapi tidak mengklakson. Aku, Bibi, dan Kakek memang sudah menunggu di teras.
"Itu dia datang!" tunjukku kepada seseorang yang membuka pintu mobil.
Tersorot lampu teras dan kendaraan roda empat yang dibawa, Kaivan memakai kemeja biru kotak-kotak lengan pendek. Rambut cepak dengan senyum menawan, menjadi pemandangan tersendiri yang berkesan.
Benar-benar tampan seperti manusia.
Namun, laki-laki itu tidak mendekat, hanya bersandar di sisi mobil dan mengangguk pada kami bertiga. Dengan alasan diburu waktu, akhirnya aku bisa berpamitan baik-baik untuk secepatnya pergi.
"Kaivan, kenapa tadi tidak ikut pamit?" tanyaku begitu mobil sudah menjauh dari rumah.
"Ada sesuatu yang membuatku tidak bisa menginjak tangga rumah. Terutama dekat tanaman anggrek," jawabnya tenang dari balik kemudi.
"Apa itu?"
"Bunga setaman yang ditanam dekat tiang, mengelilingi rumah joglo Kakekmu"
"Apa tujuannya?"
"Memberi guna-guna pada salah satu pemilik rumah."
"Siapa?"
Kaivan tersenyum menatapku, kelihatan terlalu kepo barangkali.
"Kita pulang mendekati jam duabelas malam saja, akan terjawab semua pertanyaanmu," ucapnya yang semakin membuatku tidak mengerti.
"Kaivan, tapi, aku bintang tamu. Jam sembilan atau sepuluh bisa langsung pulang!" Aku masih mencoba bernegosiasi.
"Bisa kan jalan-jalan dulu keliling kota."
"Iya, tapi--"
"Lihat sekelilingmu, Naya!"
Aku langsung mengikuti perintah Kaivan. Dan, alangkah terkejut sekaligus takjub, karena mobil yang kami kendarai tidak lagi melaju di jalan jalan beraspal yang sesekali masih terasa guncangannya. Melainkan melaju di antara awan.
Iya, mobil ini terbang seperti di film film animasi.
"Jangan membuang tenagamu dengan terus bertanya. Sebentar lagi kita sampai alun-alun dan mendarat. Persiapkan dirimu!" Seperti mengerti isi pikiranku, Kaivan lagi dan lagi langsung memerintah.
Aku hanya mengangguk, menahan perasaan kesal yang tidak mungkin diluapkan. Apa boleh buat, manusia memang ditakdirkan kepo, kan, aslinya?
Mobil akhirnya mendarat, melaju beberapa menit sampai parkir di tepi jalan raya. Tetapi, setelah aku menutup pintu dari luar, kendaraan mewah itu menghilang.
Memasuki alun-alun, aku langsung menuju tempat di belakang panggung yang sudah disediakan menunggu tampil. Sementara Kaivan, seperti yang kubilang tadi raib entah ke mana bersama Fortunernya.
Melihat keindahan kota Parang Sewu dan gemerlap lampu, dengan cara dia sendiri mungkin.
°°°°
Cinta itu unik
Seperti hujan rintik-rintik
Seperti rasaku padamu
Tanpa halu
'
Cinta itu manis
Hanya mau kamu yang simetris
Kadang tanpa kata-kata
Ia menambah cita-cita
Kumohon percayalah
Jika aku merangkai bunga, pasti untukmu
Kumohon berjanjilah
Jika aku mengirim puisi, pasti diterima
Cinta itu kata-kata
Tolong, biarkan aku menambahkan sebuah nama
Hanya satu, kamu
Riuh tepuk tangan dari para penonton di bawah panggung, mengakhiri lagu 'Cinta Simetris' Lirik romantis sekaligus penuh harap khas generasi z yang kuciptakan satu minggu lalu, sampai ke hati penonton dengan petikan manis dari gitar ini.
Sangat menakjubkan dan sesuai keinginan.
Aku undur, ke luar dari alun-alun usai mendapat izin Pak Bos dengan beberapa alasan. Seseorang sudah menunggu di bawah rimbun pohon akasia.
"Suaramu bagus, secantik orangnya!" Senyum manis itu mengakhiri pujian.
"Memang aku cantik!" balasku, langsung mendapat jitakan pelan.
Kami lantas berjalan di trotoar menikmati pemandangan kota dengan warna-warni lampunya.
"Apa yang kamu bawa itu, Naya?"
Aku menahan tawa, aneh saja kalau ia tidak tahu benda di tanganku selain tas kecil.
"Gitar. Cara memainkannya ya seperti aku tadi, sebagai pengiring seseorang yang bernyanyi."
"Gitar itu bisa untuk mainan?"
Astaga!
"Bukan, tapi alat musik."
"Oo." Kaivan mengangguk mengerti. "Kalau lagu kamu tadi bahasa apa? Aku setengah ngerti, setengah lagi enggak!"
Setengah ngerti setengah enggak, memang bahasa sehari-hari Kaivan apa?

Book Comment (103)

  • avatar
    DianAyuning

    halo, Kak, baru sampai bab 6 nih, huhuhu. lambat sekali aku bacanya tapi ceritanya menghibur sekali.

    19d

      0
  • avatar
    Suci putriGita

    saya suka

    25d

      0
  • avatar
    Atiey17Farawati

    good

    11/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters