logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Ditimpa Petaka

“Anya kemana sih? Kok belum balik juga.”
Helen segera menyusul Anya masuk ke dalam lorong kamar mandi. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati Anya tengah di kepung oleh beberapa lelaki tepat di lorong kamar mandi.
Helen kebingungan, jelas ia tidak memiliki tenaga untuk memukul para lelaki itu. Di tengah kekalutannya, Helen dengan tangan gemetar menelepon sederet nomor yang sempat mengirim pesan ‘P’ padanya.
Helen tidak sempat menunggu nada dering hingga tersambung, kini ia segera berjalan mendekat kearah segerombolan lelaki yang tengah mengepung Anya.
Dengan keberanian yang telah ia kumpulkan, Helen mendorong salah satu lelaki disana.
“Hei, jangan ganggu teman gue!” Helen mengatakannya dengan nada keras dan matanya yang melotot.
“Haha, lo siapa sih. Sok-sokan ngebela cewek satu ini.” Salah seorang lelaki mengelus pelan pipi Anya. Anya menepis tangan itu.
Helen mencoba menarik tangan Anya untuk keluar dari sana. Lagi, seorang lelaki menepis tangan Helen dan mendorong Helen hingga sedikit terjungkal kebelakang mengenai dinding lorong.
Anya memukul dada lelaki yang mendorong Helen, “Hei, siapa kalian berani-beraninya sama temen gue?”
Anya mengatakannya dengan kesadaran yang telah hilang setengah, terbukti dari cara bicaranya yang kurang jelas dan matanya yang hendak menutup. Yah, tentu saja karena Anya telah mabuk.
Bug.
Salah seorang lelaki yang memegang kedua bahu Anya terjungkal hingga ke ujung lorong. Tidak hanya sampai disana, pukulan kembali dilayangkan ke pria lainnya. Hingga Anya terbebas dari kepungan para lelaki.
“Jangan pernah ganggu adek gue!” Arya mengatakannya dengan tegas, setelah ia berhasil menumpahkan 3 orang lelaki yang menganggu Anya.
Arya segera membopong Anya di belakang pundaknya. Helen masih terkejut ia membuka bibirnya sedikit, melihat pada 3 orang lelaki yang babak belur dalam waktu tidak lebih 5 menit atau mungkin lebih cepat?
Akhirnya Helen pun mengikuti langkah Arya menuju ke arah pintu keluar. Tidak lupa ia juga mengambil barang-barang Anya yang masih berada di atas meja. Helen memproses pembayaran minuman mereka.
“Bro, lo mau kemana? Jadwal manggung lo belum selesai!”
Arya tidak menghiraukan panggilan tersebut, yang ia khawatirkan sekarang adalah keadaan Anya.
Arya menyetop taksi yang lewat di depannya. Ia bahkan melupakan Helen yang berlari kecil mengejarnya. Arya benar-benar tidak memperhatikan sekitarnya.
“Eh..” Helen baru saja hendak memanggil Arya, namun Arya telah dengan cepat masuk ke dalam mobil bersama Anya.
Helen hanya tersenyum getir, ia membuka ponselnya dan hendak memesan taksi online untuk pulang. Namun, sayangnya ponselnya langsung meredup.
“Ahh, habis baterai lagi.”
Helen berdiri sambil melihat ke arah ujung jalan. Beberapa lelaki yang baru saja keluar dari cafe meliriknya sejenak. Helen berusaha untuk tidak menghiraukan para lelaki itu. Sayangnya mereka malah semakin mendekati Helen. Helen berjalan sedikit menjauh dari depan kafe. Sialnya kafe ini berada di ujung jalan.
Tidak banyak orang yang berlalu lalang. Beruntung sekali, Arya dan Anya langsung menemukan angkutan untuk pulang bahkan tak perlu menunggu.
“Halo cantik.” Kedua lelaki itu mulai mencolek bahu Helen yang terekspos karena gaunnya yang tanpa lengan.
Helen berusaha menepis tangan lelaki itu. Dan berjalan lebih cepat menuju ke depan jalan, agar bisa menemukan orang untuk meminta bantuan.
Mereka tidak menyerah, malah mengejar langkah Helen semakin cepat. Sedikit lagi, Helen mencapai depan jalan, mereka segera menarik tangan Helen dan menyeretnya secara paksa ke gang sebelah yang gelap.
“Hei, apa-apaan kalian!” Helen berusaha memberontak, namun apa daya ia hanyalah seorang gadis yang lemah.
Helen juga kalah jumlah, ia telah terjebak oleh kedua lelaki yang tentu saja pasti akan berniat buruk pada dirinya. Helen tidak punya pilihan lain selain berteriak.
“Tolong!!”
“Mmm...tolo...mmmm.” Bibir Helen dibekap oleh tangan salah seorang lelaki.
“Hei, cantik. Kita tidak akan melukaimu, kalau kamu menurut.”
Helen benci ini, bau alkohol yang menguar keras dari bibir kedua lelaki itu membuatnya jijik. Mereka mulai menggerayangi tubuh Helen. Helen berusaha menendang, dan menghentikan mereka. Namun, ia tidak sanggup melawan. Air matanya luruh ketika gaun Anya yang berwarna merah muda itu disobek hingga menampakkan tubuh bagian atasnya.
Saat itu, Helen berharap ia juga bisa menemukan superhero yang akan menolongnya seperti Arya. Tapi, ia sadar siapakah dia? Ia tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan menolongnya?
‘Tamatlah riwayat gue.’ Helen menutup matanya, ia hanya bisa menerima nasib kali ini.
Bug.
Satu pria terjatuh, Helen terkejut ia membuka matanya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati seorang lelaki dengan jaket kulit tengah menendang salah seorang lelaki dengan tendangannya yang kuat.
“Ayo, mau lagi?” pria itu menantang keduanya yang baru saja bangkit berdiri dengan sempoyongan.
Keduanya langsung lari terbirit-birit. Lelaki itu berbalik, Helen membuka mulutnya lebar.
“Satria..” cicitnya.
Helen segera menundukkan kepalanya, ia tidak mungkin bisa menghadapi teman sekelasnya Satria dalam keadaan seperti ini. Bisa-bisa ia tidak akan memiliki muka untuk pergi ke sekolah, apabila hal ini sampai tersebar ke luar.
Helen pun segera memeluk dirinya erat menggunakan kedua tangannya, ia mulai melangkahkan kaki berjalan pelan menghindari Satria yang masih diam.
“Hei...lo mau kemana?” Satria akhirnya memanggil Helen yang menjauhi dirinya. Helen tidak menghiraukan Satria, ia malah berjalan lebih cepat.
Langkah Helen terhenti ketika ia melihat sepatu kulit hitam yang menghadang jalannya. Helen terdiam, ia hanya menunduk, memiringkan wajahnya ke samping.
“Gue kayak kenal lo.” Satria memajukan langkah kakinya mendekati Helen.
Helen hanya diam, kenapa harus terhindar dari petaka dan bertemu dengan bencana? Helen semakin mengeratkan pelukan tangannya pada tubuhnya sendiri.
Greb.
Satria memakaikan jaket pada Helen. “Lo gak seharusnya berkeliaran ditempat seperti ini.”
Helen mengangkat wajahnya menatap pada Satria yang juga menatap pada dirinya. Saat itu darah Helen berdesir. Wajah Satria diterangi oleh satu-satunya lampu jalan di gang kecil yang gelap itu.
‘Ternyata pangeran itu memang ada yah?’ Helen bertanya kepada dirinya sendiri, dan tentu saja tidak akan ada yang menjawabnya.
“Kita sekelas kan?” Satria memecahkan keheningan, membuat Helen yang tadinya sempat terbengong tergagap.
“Uhm...anu...”
“Lo yang duduk di sebelah Anya kan?” tebak Satria yang sudah pasti benar jawabnya.
Helen hanya mengangguk kecil, namun jauh di dalam hatinya saat ini ia membenci Anya. Entah kenapa mendengar nama Anya membuatnya emosi.
“Helen.” Helen menyebut namanya dengan dingin.
Satria berinisiatif untuk membantu Helen lebih jauh, ia merasa kasihan melihat Helen yang sendirian dan malah dilecehkan.
“Gue antar lo pulang.” Satria mengucapkannya pelan.
Helen belum sempat menjawab, Satria telah menarik tangannya dan membawanya menuju ke tempatnya memarkir sepeda motornya tepat di mulut gang.
Satria membantu Helen mengetatkan jaketnya, kemudian naik ke atas motornya.
“Lo gak papa, kan, kalau lo gak pakai helm?”
Helen menggeleng, “Gue pulang sendiri aja deh.”
Satria mendengus, ia melihat ke arah Helen. “Yang benar saja. Disini susah menemukan angkutan untuk pulang.”
Helen masih keukeh dan menggeleng.
“Rumah lo di daerah mana?” Satria kembali bertanya.
Setelah cukup lama, pergulatan batin Helen akhirnya Helen mengangguk pelan. Ia naik keatas motor Satria. Mereka berboncengan menuju ke tempat yang disebutkan Helen sebagai rumahnya.
Sesampainya disalah satu rumah, Helen mengucapkan terimakasih dengan canggung. Pagar rumah telah ditutup rapat, apalagi pintu rumah.
“Kok gak masuk?” Satria menatap Helen yang masih menatap pintu gerbang dengan nanar.
“Gue gak bawa kunci, gak ada orang dirumah.,” Helen menunduk sambil mengatakannya.
Satria menggaruk tengkuknya, ia melepaskan helm full face yang tadi ia pakai.
“Uhm...lo keberatan gak kalau ke rumah gue?”
“Ehh...” Helen terkejut.
Satria melipat bibirnya, “Gue hanya nyoba buat bantu lo. Atau lo mau gue anter ke rumah temen lo... Anya?”
Helen tersenyum kecil berusaha menutupi kegeramannya terhadap Anya. “Gue boleh nginap di rumah lo? Nanti bokap nyokap lo bakal...”
Satria segera memotong pembicaraan Helen. “Gue tinggal sendiri, kok. Lo juga gak perlu khawatir, kamar gue ada banyak.”
Helen akhirnya mengangguk. Satria kembali melanjutkan, “Lebih baik gue anter lo ke rumah Anya aja deh. Sepertinya kalian teman dekat.”
Helen segera menggeleng, “Gue boleh nginap di rumah lo aja?”
Satria hanya mengangguk-angguk.
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan, kompleks perumahan Satria sungguh menakjubkan. Terdapat taman yang luas sekali dan bahkan terdapat banyak mobil mewah terparkir di sepanjang rumah.
“Kita udah sampe.”
Helen sampai tidak bisa mengatupkan bibirnya ketika melihat rumah tinggi dan luas yang di katakan Satria sebagai rumahnya.
“Ini rumah lo?” Helen bertanya dengan nada lumayan histeris, ia bahkan sampai lupa untuk turun dari motor Ssatria.
“Yep, uhm sudah sampai, lo udah boleh turun kok.”
Helen segera turun dari sepeda motor Satria yang cukup tinggi. “Maaf.”
“Yuk, masuk.”
Satria mengajak Helen masuk ke dalam rumahnya. Siapa sangka rumah yang ditinggali seorang murid pindahan sebesar ini.
“Lo bisa ke lantai atas, ada kamar kosong disana.”
Helen menganggukkan kepalanya, menatap pada sepatunya yang ia bingung mau di letakkan dimana.
“Bik...tolong bantu saya nyiapin keperluan temen saya yah.” Satria mengatakan pada salah seorang pembantu rumah tangganya.
Helen terkejut ketika seorang wanita paruh baya, datang menghampirinya dan memberikannya sandal rumah, beserta mengambilkan sepatunya.
“Duh, Bu. Tidak usah, saya bisa sendiri.” Helen merasa tidak enak hati dilayani seorang wanita paruh baya dengan penuh hormat.
“Ini perintah Tuan Muda, Non.”
Helen hanya bisa membuka mulutnya sedikit, sambil mengucapkan terimakasih.
Perlahan Helen menginjak karpet berwarna keemasan yang berada di setiap anak tangga. Saat tiba di lantai atas, Helen semakin kebingungan kini di sekelilingnya ada beberapa pintu yang mungkin bisa disebut sebagai kamar.
“Yang mana satu?” Helen mengeratkan pegangan tangannya pada tas tangan milik Anya yang ia bawa sedari tawa sejak keluar dari klub berkedok Cafe.
Helen berdiri cukup lama, ia tidak berniat untuk merepotkan wanita paruh baya yang merupakan pekerja rumah di kediaman Satria.
Akhirnya dengan penuh perhitungan Helen membuka salah satu kamar, alangkah terkejutnya ia ketika mendapati seorang pria yang bertelanjang dada dengan selimut yang dililitkan di sekitar pinggangnya.
“Akhh!” Helen sedikit berteriak sambil menutup matanya.
“Hei...lo siapa?”
Teriakan Helen yang cukup keras membawa Satria naik ke lantai atas dengan terburu-buru dan berdiri tepat di belakang Helen.
“Lo kalau mau bawa cewek, yang bener bisa gak sih.” Lelaki itu mendengus, ia mengatakan hal itu kepada Satria yang menarik tangan Helen kebelakang punggungnya.
“Bukan urusan lo, Jeremi.” Satria memundurkan langkahnya, sambil berkata pelan.
“Gak sopan,” balas Jeremi singkat.
Aura menegangkan ketika Jeremi maupun Satria berbicara jelas terasa sekali, Helen yang berada di belakang punggung Satria hanya bisa diam. Namun, sejujurnya ia penasaran apa hubungan antara Jeremi dan Satria.
Satria membawa Helen ke kamar satunya lagi, yang berada di pojok. “Bik Nuni gak ngebantu bawa lo ke atas?”
Helen hanya diam. Satria menghela napas.
“Maaf atas kejadian tadi. Gue gak sengaja.” Helen mencoba untuk menjelaskan pada Satria. Ia benar-benar tidak bermaksud untuk mengusik ataupun membuat keributan di rumah Satria.
Apalagi Satria yang sudah dengan baik hati mau membantu dirinya yang terkena petaka. Malah terlalu baik, memberinya tinggal, sedangkan dirinya yang hanya bisa mengucapkan terima kasih malah membuat keributan.
“Jelas lo gak sengaja, harusnya gue gak tinggalin lo gitu aja.” Satria memasukkan kedua tangannya di dalam saku.
Helen menggigit bibirnya kecil, “Maaf, gue boleh bertanya?”
Satria menganggukkan kepalanya, “Boleh, lo mau tanya tentang apa, serius banget.”
Helen masih menimbang-nimbang, berusaha untuk tidak membuat Satria tersinggung. Karena ia memiliki perasaan Satria dan pria tadi memiliki hubungan yang buruk.
“Cowok tadi..itu siapanya lo? ”
Air muka Satria mendadak berbeda. Ia menolehkan kepalanya tidak melihat pada Helen sejenak, kemudian melanjutkan dengan dingin. “Abang tiri gue.”
Helen semakin merasa bersalah, “Maaf gue gak bermaksud...”
Satria menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Lo gak perlu ngerasa gak enak, kok. Gue emang gak akrab sama abang tiri gue.”
“Nanti lo tidur disini, ok? Gue bakal suruh Bik Nuni segera nyiapin kebutuhan lo.” Satria melanjutkan lagi.
“Selamat istirahat.” Satria tersenyum kecil.
Helen hanya mengangguk.
Malam itu Helen benar-benar tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bagaimana ia bisa tidur, apabila kamar yang ia tempati seluas ruangan kelas mereka. Helen bahkan membalikkan badannya dengan hati-hati takut jika ia akan merusak properti yang ada di kamar.
“Gue maafin Anya enggak yah?” Helen menatap ke atas dinding kamar, ia melirik ponselnya yang sedang dicharger menggunakan charger yang ia pinjam dari Bik Nuni. Yah, ponsel Helen memang bukan ponsel dengan merk kalangan atas, tentu saja ia tidak bisa meminjam charger pada Satria.
Karena toh percuma, ponselnya kan hanya menggunakan type C.
Helen melihat pada layar ponselnya, namun tidak ada satu pesanpun dari Anya maupun Arya.
“Gue benar-benar dilupakan.” Helen berusaha untuk tersenyum, namun hanya senyum kecut yang ia bisa.
Kenyataannya memang tidak seorangpun dari Anya maupun Arya mencari dirinya. Dirinya seakan tidak pernah ada dalam lingkungan mereka.
“Tega banget, perhatian tapi hanya pada seorang saja.” Helen menutup matanya, layar ponselnya masih terbuka dan menampakkan ruang chat dirinya dengan Arya. Hanya ada satu baris disana ‘p’

Book Comment (21)

  • avatar
    Arlin Febrianti

    Kerenn

    26/06/2023

      0
  • avatar
    soleha huda

    Mantap bangat 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    05/06/2023

      0
  • avatar
    MegasariDesti

    keren

    20/05/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters