logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Sahabat Terbaik

Helen sengaja memalingkan wajahnya agar tidak melihat kedipan mata Anya yang berpotensi besar membuatnya goyah dan mengikuti permintaan gadis mungil itu.
“Enggak, Nya. Atau mau gue batal nginap rumah lo?” akhirnya Helen mengancam Anya.
Anya mendengus dan menghentikan aksinya meminta Helen untuk melakukan rencana gila bersamanya.
Ponsel Arya tidak diangkat, alhasil Anya hanya mengirimkan pesan pada Arya.
‘Bang, hari ini gak usah jemput.’
Bel berbunyi semua siswa siswi kembali ke kelas dan memulai pelajaran. Suasana hati Anya menjadi baik sekali hari ini, tentu saja karena ia akan menghabiskan waktu dengan sahabat satu-satunya, Helen Anastasia.
Bel pulang sekolah pun menjadi salah satu hal yang ditunggu-tunggu oleh Anya. “Akhirnya hari ini bisa mengurangi bertemu Bang Arya. Yuhuu...” Anya menyimpan buku-bukunya dengan riang gembira ke dalam tasnya.
“Nya, lo yakin kita gak bakal kena marah sama Kak Arya?” Helen mengulum bibir bawahnya, ia masih ragu akan ide gila Anya yang mungkin bisa membuat Arya marah.
“Udah, tenang aja gue dah minta ijin sama bang Arya.” Anya memperlihatkan deretan giginya yang mungil dilengkapi dengan gigi gingsulnya.
Helen akhirnya mengangguk dan mengiyakan perkataan Anya. Walaupun jauh di dalam hatinya ada rasa takut yang menggerogotinya.
“Lo yakin kan?” sekali lagi Helen bertanya, ia mencengkeram tali tas selempangnya erat.
“Iyah lho, Len. Kok tegang banget sih, bang Arya gak bakal terkam lo kali. Santai aja.” Anya masih bisa tertawa lepas. Ia tidak tahu apa yang tengah menantinya nanti.
Bel pulang akhirnya berbunyi, Anya segera menarik tangan Helen keluar kelas dan melancarkan aksi yang telah mereka susun.
“Nya, aman kan ini?” Helen masih ragu-ragu ketika hendak menyeberang ke arah halte.
“Aman, Len. Lo santai aja. Gue pinjem saldo kartu e-money lo yah.” Anya tertawa.
Akhirnya mereka menaiki bus menuju ke kediaman keluarga Kusuma. Satria yang hendak berjalan ke parkiran motor melihat Anya yang tengah berseri begitu riangnya. Selama sekelas dengan Anya seminggu ini, ia tidak pernah melihat Anya yang tersenyum begitu lepas.
“Kasian banget sih dia.” Satria tersenyum kecut, lantas langkahnya terhenti ketika melihat Arya yang tengah menyender di pintu mobil toyota rushnya yang berwarna hitam.
Satria pura-pura tidak melihat keberadaan Arya. Arya pun hanya diam, ia memegang ponselnya, menatap pada layar hitamnya yang tak kunjung menampilkan wallpaper dirinya dan Anya.
Sudah sejak tadi, Arya menunggu Anya di depan pintu gerbang sekolah namun ia tidak melihat Anya.
“Sial, batre ponsel mati.” Arya mengetukkan jarinya pada layar ponselnya.
Ia masih menunggu, hingga sekolah yang tadinya begitu ramai, semakin sepi. Arya akhirnya masuk ke dalam sekolah, dan berjalan ke arah XI-IPA 1, kelas Anya. Sudah tidak ada seorangpun di dalam kelas.
Arya mengerutkan dahinya, “Bukankah tadi pagi Anya gak bilang kalau dia ada kelas tambahan?”
Arya masih berjalan pelan menyusuri setiap kelas, ia berjalan menuju ke arah ruang teater. Biasa Anya memiliki kegiatan ekstrakurikuler tambahan di kelas drama. Yah, tidak diragukan lagi karena Anya sangat pintar dalam memainkan drama.
Arya membuka pelan ruang teater, tidak ada suara hanya hening. Hingga saat Arya hendak berbalik, seseorang memanggilnya.
“Arya!”
Arya berbalik, “Hei, Jeremi...lo kok disini? Ada lihat Anya gak?”
Jeremi pria yang juga memiliki tinggi hampir sama dengan Arya menepuk pundak Arya. “Lagi ada kerjaan mau buat baju untuk anak teater.”
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Gimana kelas design lo?”
Jeremi tersenyum, “Yah seperti yang lo liat, anak semester 4 kayak gue lagi sibuk-sibuknya nyari kerjaan sana-sini. Makin berat, bro.”
Arya tertawa. “Makanya jadi anak SMA abadi aja Jer.”
Jeremi menoyor kepala Arya, “Gue itu bukan kayak lo, gila sih. Gue bisa aja ditendang dari rumah kalau gak naik kelas mulu.”
Arya meninju pelan perut Jeremi yang atletis. “Lo kira gue sepuluh kali gak naik kelas?”
“Tapi, lo udah dua kali Arya. Ingat umur deh lo.” Jeremi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kemudian, Jeremi melanjutkan kata-katanya, “Gue bela-belain ikut lo pindah ke Jakarta sekolah di Mentari Bangsa. Bisa-bisanya lo yang gak setia kawan, bro.”
Arya tersenyum kecil, yah Arya dan Anya memang memutuskan untuk pindah dari Yogjakarta ke Jakarta. Arya pindah dengan dalih akan menjadi anak rajin dan akan lulus dengan nilai tinggi. Tapi rasanya lagi-lagi Arya akan mengecewakan ayahnya, Anjas. Bagaimana bisa Arya menjadi anak rajin dan lulus dengan nilai tinggi, apabila terus terkena skorsing? Belum ujian saja dia sudah dinyatakan tidak lulus mata pelajaran.
“Oiya, btw, gue gak liat Anya daritadi.” Jeremi berkata pelan, menjawab pertanyaan yang sempat di tanyakan oleh Arya beberapa menit lalu.
Arya menghela napasnya cukup keras, “Ya udah, gue pamit dulu yah Jer. Sampai nanti.”
Jeremi menahan pergelangan tangan Arya. “Lo mau nyari kemana, Rya?”
“Dimana aja gue bisa, Jer,” dengus Arya.
“Bagus lo nelpon Anya deh, daripada lo nyari gak jelas gini juga.” Jeremi menggelengkan kepala, kemudian kembali melanjutkan. “Lagian sekarang zaman udah canggih, Rya.”
Arya mengeluarkan ponsel dari kantong celana selututnya, “Gue juga tahu pake hape kali, Jer. Tapi liat batre gue abis, musti gimana dong.”
“Charger lah.”
Arya tidak tahan lagi, ia pun menoyor kepala Jeremi, “Gue juga tahu kali dicharger masalahnya charger gue ada di rumah. Gue gak bawa Jerrrrr.”
Jeremi tertawa, dibalik sosok Arya yang sangar dan dingin, ia juga punya sosok lucu yang bisa saja membuat siapapun tertawa melihat tingkah lucunya yang menggemaskan.
“Nah pinjem pake punya gue dulu deh.” Jeremi menyodorkan ponselnya pada Arya, memberi akses penuh pada Arya untuk memakai ponselnya.
Arya mendengus, namun tangannya tetap mengambil ponsel Jeremi. Ia mengetikkan beberapa tuts tombol angka yang menggunakan layar sentuh di ponsel Jeremi.
Arya menekan tanda panggil, ia menempelkan ponsel tersebut di telinganya.
“Rya, lo hapal nomor Anya?” Jeremi menatap pada Arya yang telah menempelkan ponselnya di sisi telinga kanannya.
Arya hanya sedikit berdehem membetulkan pertanyaan Jeremi yang terkesan seperti sebuah pernyataan.
“Salut gue.”
“Nya, lo dimana?” Arya segera melontarkan pertanyaannya saat detik pertama Anya mengangkat ponsel tersebut.
“Lagi di jalan, bentar lagi nyampe rumah.”
“Jalan mana?” Arya mengerutkan keningnya, jujur ia tidak mengetahui dimana posisi Anya berada.
“Jalan ke rumah lah, Bang.”
“Lo pulang naik apa, Nya?”
“Bus.”
Anya dengan santainya menjawab tanpa berpikir panjang. Mendadak suara ponsel yang ditutup terdengar. Arya menutup sambungan telepon dengan cepat.
“Bro, gue duluan yah. Makasih.” Arya menepuk pundak Jeremi dan berlalu dari sana. Jeremi yang tidak tahu apa-apa hanya menaikkan tangannya dengan kikuk, melambai pada Arya.
***
Tin. Tin.
Anya dan Helen sontak meminggirkan tubuh mereka saling mendekat.
“Gila sih, siapa sih yang nyetir kesetanan seperti itu?” Anya mendengus kesal.
Helen menatap horor ke arah Anya yang masih menggerutu sambil mengibas-ngibas rok abu-abunya yang terkena sedikit cipratan air di jalanan.
“Nya, Nya! Itu kakak lo, Kak Arya.” Helen menepuk-nepuk tangan Anya. Ia semakin panik ketika melihat Arya yang berjalan mendekati mereka, yang sebelumnya memarkir mobilnya di pinggir jalan.
“Anya!” Arya memanggil Anya bahkan sebelum Anya merespon Helen. Anya yang terkejut bukan main, membulatkan matanya.
“Bang Alya, dah baca chat Anya, kan?”
Arya diam, ia menunjukkan layar ponselnya yang dalam keadaan mati. “Hp gue mati.”
Ada nada dingin yang menjalar suasana mendadak terasa begitu mencekam. Anya tahu saat ini Arya pasti murka dan marah padanya.
“Lo tau gak, Nya. Gue nyariin lo kayak orang bego disekolah.” Arya mengucapkannya dengan nada tinggi. Anya hanya diam menatap Arya, matanya berkaca-kaca.
Ini pertama kalinya, Arya membentak Anya di depan sahabatnya pula. Siapa yang bisa menerima hal itu.
“Bang, lo bisa gak sih jangan terlalu over protektif. Anya bukan anak-anak lagi!” Anya balik memarahi Arya dengan nada tinggi.
Arya yang tersadar segera meralat perkataannya. “Nya, maksud abang bukan lo gak boleh kemana-mana, tapi abang gak mau lo kenapa-napa.”
Anya tertawa, “Kan memang kenyataannya, Anya gak boleh kemana-mana, kalau gak sama abang kan?”
Anya mendengus lantas ia berjalan cepat menuju ke rumahnya yang tinggal beberapa langkah.
Helen yang menyaksikan adegan antara Arya dan Anya yang sedang marah-marahan pun merasa tidak enak. Ia hanya menganggukkan kepalanya tanda memberi hormat dan menyapa Arya sekilas saja. Helen segera berlari mengikuti Anya yang masuk ke dalam rumah.
“Anya!” Helen berlari menaiki tangga rumah Anya yang untung saja tidak begitu banyak anak tangga.
Helen masuk ke salah satu kamar yang ditempel banyak stiker barbie.
“Nya, lo gak boleh gitu sama Kak Arya.” Helen berjalan mendekati Anya yang menghempaskan tubuhnya di atas kasur, ransel sekolahnya yang berwarna merah muda telah tergeletak begitu saja di lantai yang dilapisi matras bulu tentu saja berwarna merah muda juga.
“Len, lo juga belain Bang Al?” Anya menghentakkan kakinya di atas tempat tidur.
Helen melepaskan tas selempangnya di atas meja kecil yang berada di tengah-tengah ruang kamar Anya.
“Kak Arya mungkin cuma khawatir sama lo, Nya.” Helen duduk di pinggir ranjang, ia mengelus pelan kepala Anya.
“Tapi kan gak gitu caranya, Len. Gue juga manusia yang punya hak asasi manusia dong. Masa kemana-mana harus bareng bang Al.” Anya menyapu kasar airmatanya yang mengalir begitu saja menggunakan punggung tangannya.
Helen hanya bisa menenangkan Anya. Ia tidak bisa berbuat banyak terhadap sahabatnya itu. Karena entah mengapa ia merasa hubungan antara Anya dan Arya sedikit berbeda terhadap hubungan kakak adik yang lainnya.
Memang benar kata Anya, Arya terlalu over protektif pada Anya. Seakan-akan Anya masih seorang adik kecil yang harus dijaga dengan ketat dan ekstra.
Arya yang baru memarkirkan mobil di dalam garasi, segera naik ke lantai atas. Ia menaiki dua anak tangga sekaligus. Matanya melihat kearah kamar Anya yang tepat berada di depan kamarnya.
Helen tengah mengelus pelan punggung Anya. Sedangkan, Anya menangis sesenggukan. Arya menundukkan kepalanya, ia merasa bersalah kepada Anya karena telah berkata dengan nada tinggi tanpa mempedulikan perasaan Anya.
Arya akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu kamar Anya. “Nya.”
Anya yang mendengar hal itu segera menutup kedua telinganya menggunakan bantal merah muda nya.
Akhirnya Helen bangkit berdiri ia beranjak mendekati Arya yang berdiri di ambang pintu kamar Anya.
“Hai, Kak Arya. Anya sepertinya lagi butuh sendiri deh.”
Seketika Helen merasa ia orang paling bodoh sedunia, jika Anya butuh waktu sendiri, berarti seharusnya dirinya tidak berada di sisi Anya.
Arya sedikit memasukkan kepalanya ke dalam kamar Anya, hingga wajahnya dan wajah Helen bersisian begitu dekat.
“Oke, nanti jangan lupa turun makan siang bersama Anya.” Arya menggaruk tengkuk belakangnya. Lantas berbalik dan membuka pintu kamarnya yang berada tepat di depan pintu kamar Anya.
Helen memegang jantungnya yang berdegup begitu kencang, tepat ketika Arya menutup pintu kamarnya.
‘Oh Tuhan, gue bisa gila. Kenapa bisa kakak temen gue bisa secakep itu.’ Helen berkata dalam hatinya, ia masih belum bisa menormalkan jantungnya yang masih berdegup. Matanya menatap nanar pada pintu kamar Arya yang ditempel stiker gitar dan beberapa musisi terkenal.
Bug.
“Len, lo ngapain bengong depan kamar?” Anya duduk bersila di atas tempat tidurnya ia baru saja melemparkan bantalnya ke arah Helen.
“Ohh, enggak. Tadi Kak Arya nyuruh kita makan siang ke bawah.” Helen tersenyum kikuk sambil menutup pintu kamar Anya.
“Kok lo gak bilang sih, nanti kita keluar makan aja.” Anya mengerucutkan bibirnya.
“Plis, Nya, jangan bikin masalah sama Kak Arya lagi deh. Bagusnya lo makan masakan Kak Arya di rumah aja. Lagian kan kita gak tahu kemana.”
“Khusus hari ini dan seterusnya, gue gak mau jadi Anya si adik penurut yang selalu menuruti perkataan bang Al. Dia kira dia siapa, bisa ngatur ngatur gue segala.” Anya mengibaskan rambut sepingganggnya.
“Nya, dia kakak lo loh, tentu saja dia melakukan semua ini juga karena peduli sama lo.”
Anya memutarkan bola matanya, entah mengapa ia kesal sekali dengan Arya yang memarahinya hari ini. Ia tidak menyangka Arya bisa-bisanya memarahinya di depan sahabat baiknya.
“Pokoknya gue kesal sama dia, Len. Siang ini kita pergi ke mall.” Anya bangkit berdiri sambil mengacungkan tangannya layaknya superhero superman.
“Gak, Nya. Nanti gue lagi yang kena masalah.” Helen duduk ditepi ranjang Anya dan menggeleng.
“Ayolah, Len. Jangan jadi pengecut kita udah umur 17. Bang Al gak ada hak ngatur-ngatur kita lagi. Kita bukan anak 5 tahun yang masih balita, kan?” Anya dengan semangat 45 masih berusaha mengajak Helen.
“Lo masih belum 17, Nya. Ingat deh.” Helen memutar bola matanya, dasar sahabatnya si pelupa, bisa-bisanya juga melupakan umurnya sendiri.
“Hehe, anggap aja gue udah 17 kali, Len. Kan lagian bentar lagi.” Anya tertawa sambil membuka lemari bajunya dengan berseri-seri.
“Nah, buruan ganti baju deh.”
Anya melemparkan satu dress selutut yang berwarna merah muda dengan renda di bagian bawah baju pada Helen. Dengan pasrah akhirnya Helen memakai dress tersebut. Sedangkan, Anya memakai tank top putih serta celana pendek diatas lutut berwarna merah muda.
Anya terlebih dahulu keluar dari kamar, meninggalkan Helen yang masih menutup pintu kamar. Arya yang mendengar pintu kamar terbuka segera keluar dari kamarnya.
Ia menarik tangan Helen kuat tanpa sadar hingga Helen yang tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya jatuh ke dalam dekapan Arya.
Deg.

Book Comment (21)

  • avatar
    Arlin Febrianti

    Kerenn

    26/06/2023

      0
  • avatar
    soleha huda

    Mantap bangat 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    05/06/2023

      0
  • avatar
    MegasariDesti

    keren

    20/05/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters