logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Ksatria Anya

“Kamu juga ke UKS, setelah itu pergi ke ruang guru, panggil Arya juga,” perintah Guru matematika Anya.
Satria menepuk-nepuk celana abu-abunya dan berjalan ke UKS sambil membawa bekal yang dibungkus rapi dengan kain merah muda ala bekal orang Jepang.
Ia melihat Anya yang tengah dirawat oleh Arya. Satria berjalan mendekat ia melihat betapa lembutnya Arya membersihkan luka Anya dengan telaten.
‘Dia Arya?’ batin Satria tidak percaya melihat kelembutan yang dipancarkan seorang Arya yang terkenal tukang berkelahi dan anak berandal.
“Ehem...” dehem Satria secara sengaja, memberi kode pada Arya untuk melihat ke arahnya, dan betul saja Arya menoleh sedikit melihat pada Satria.
Arya hanya melihat sekilas, kemudian kembali pada kegiatannya mengobati luka kecil pada pelipis Anya.
Satria yang merasa diabaikan mendengus, ia meletakkan dengan keras bekal dengan kain merah muda itu di atas meja nakas di samping bangsal tempat tidur Anya.
“Lo dipanggil ke ruang guru.” Satria mengatakannya dengan dingin.
Arya hanya berdehem sedikit. Kemudian menutup kotak P3K yang ia pegang, meletakkannya juga disamping nakas.
“Abang nanti kesini lagi.” Arya mengacak pelan rambut Anya.
Anya berdecak, ia menghela napas. Akan sampai kapan Arya begitu over protektif pada dirinya. Padahal Satria hanya membantunya yang kelilipan karena debu di lapangan.
“Apakah harus seover itu?” Anya memilin jari jemarinya, sambil menghela napas.
Anya tahu Arya sangat menyayanginya dan tidak membiarkan sosok manapun menyakitinya. Bahkan tidak dengan Ayah mereka sekalipun. Anya tidak pernah merasakan bagaimana dipukul dengan amarah oleh siapapun.
Bagi Anya, Arya adalah segalanya. Arya adalah pahlawannya yang selalu ada. Tapi apakah pahlawannya akan selalu melindunginya seperti ini? Melindunginya dengan melukai mereka yang melukai Anya?
Anya menutup matanya, ia tak habis pikir. Walaupun ia memikirkannya berulang kali, namun tetap saja tidak ada jawaban yang dapat mewakili perasaan Anya yang campur aduk terhadap aksi heroik yang selalu dilakukan oleh Arya.
“Selanjutnya, apa lagi?” Anya bertanya pelan sambil menatap kotak bekalnya yang berada di atas nakas.
Sudah berkali-kali, Arya terlibat perkelahian karena berusaha melindungi Anya. Dan Arya selalu menjadi pihak yang tidak mendapat keadilan.
Saat Arya memasuki ruang guru, Guru matematika yang ada disana menggelengkan kepalanya.
“Di-skorsing seminggu apa tidak cukup buat kamu, Arya?” Guru matematika tampak marah dan kecewa pada Arya.
Arya hanya diam.
“Apa masalah kalian?” Guru matematika kembali melanjutkan pertanyaannya.
Arya diam.
“Dia mengira saya hendak mencium adik kesayangannya, Bu.” Satria angkat bicara, ketika melihat Arya yang hanya diam.
Arya kembali mengepalkan tangannya dan hendak melayangkan tinju pada Satria.
Guru matematika bangkit berdiri dan segera melerai. “Hei!”
“Arya! Kamu benar-benar tidak ada sopan santun yah? Bahkan di depan saya saja, kamu hendak memamerkan tinjumu, hah?”
Arya diam, ia tahu ia salah. Tapi, entah mengapa ia membenci bagaimana cara Satria menyebut Anya sebagai adik kesayangannya.
“Ibu sudah nyerah sama kamu, Arya. Sekarang juga kamu pulang, dan kamu tidak lulus mata pelajaran, Ibu.”
Guru matematika tersebut meninggalkan ruang guru, menyisakan Arya dan Satria. Kebetulan ruang guru tengah sepi karena semua kelas sedang berlangsung.
Arya mendengus melewati Satria, sambil menyenggol bahunya sedikit hingga badan Satria oleng ke belakang.
“Dasar, ini kedua kalinya gue kena amukan sasaran dia.” Satria menghapus bekas luka yang berada di sudut bibirnya.
Arya kembali ke UKS dan mendapati Anya tengah tertidur. Arya mengelus rambut Anya dengan penuh kasih sayang, lantas ia mendaratkan satu kecupan kecil pada kening Anya.
“Abang pulang dulu, Nya. Nanti siang Abang jemput lo pulang.”
Arya berjalan pelan keluar dari UKS, Satria yang tidak sengaja mengintip dari balik kaca pintu UKS segera menyingkir ke samping, sehingga Arya tidak melihatnya ketika keluar dari UKS.
Satria berjalan masuk ke UKS setelah melihat Arya yang sepenuhnya hilang dari pandangannya. Ia berdiri di samping bangsal Anya, melihat Anya yang tertidur dengan teduhnya.
“Gue gak tahu mau bilang lo beruntung atau sial, punya Abang seperti dia.” Satria mendengus. Matanya tertuju pada kotak bekal yang telah terbuka sedikit.
Satria yang mencium aroma khas dari bekal itupun tangannya tergerak untuk menutup penutup bekal. Namun, ia berubah pikiran ketika perutnya keroncongan. Tidak bermaksud untuk mencuri Satria hanya mengintip isi kotak bekal tersebut.
“Uhm...”
Satria terkejut hingga terlonjak ke belakang ketika mendengar suara gumaman dari Anya. Anya bangkit dari posisi tidurnya dan menatap pada Satria.
“Gue balik dulu.” Satria mengatakannya dengan kikuk, ia memutar badannya hendak berbalik ke kelas.
“Tunggu.” Anya menarik pergelangan tangan Satria.
Satria tidak berbalik, ia hanya melihat sekilas dari balik bahunya, “Ada apa lagi? Gue gak mau jadi amukan Abang sinting lo.”
“Maaf, tapi luka lo perlu diobati.” Anya sedikit menarik tangan Satria.
Akhirnya, Satria mengikuti perintah Anya. Dia duduk di kursi, membiarkan Anya membantunya mengobati luka di sudut bibirnya.
“Maaf yah, gara-gara ulah Abang gue, lo jadi gini.” Anya dengan penuh konsentrasi membasuh luka Satria menggunakan alkohol yang membuat Satria sedikit bergerak mundur kebelakang.
Satria tanpa sengaja memegang pergelangan tangan Anya, “Ini juga bukan pertama kalinya gue kena amukan Abang psycho lo.”
Anya hanya tertawa hambar, “Maaf deh.”
“Gue baru juga seminggu pindah SMA udah gini aja kejadiannya. Lagi-lagi karena lo.” Satria melepaskan pergelangan tangan Anya membiarkan Anya kembali mengobati lukanya yang masih perih.
“Duh, perih banget. Udah gak usah diobatin deh.” Satria kembali bergerak memundurkan badannya ke belakang.
Anya mendecak, “Sini sedikit lagi, gue tiup deh.”
Satria membeku ketika Anya mendekatkan bibirnya pada wajah Satria.
‘Nih cewek gila atau apa nih?’ batin Satria yang diselingi dengan debaran jantungnya yang tidak karuan.
Satria berakhir menutup matanya, hembusan angin hangat mulai menyapu sudut permukaan bibirnya.
“Ehh...”
Satria segera menangkap pinggang Anya. Anya tergelincir dari selimut yang berada di bangsalnya.
Anya yang terkejut hanya bisa menatap dengan tatapan cengo pada Satria. Dan, baru Anya sadari ternyata Satria teman SD nya dulu yang gendut telah berubah menjadi seorang lelaki atletis dengan wajah mumpuni, bak seorang model macho.
Anya seakan terhipnotis pada pandangan mata Satria yang nampak tegas dengan kedua matanya panjang tanpa lipatan mata. Tipe mata asia timur yang menggoda. Alis tipis yang menghiasi dahi mulusnya. Dan jangan lupakan hidung mancung serta bibir tipisnya.
Anya menelan ludah, ia berdehem, ketika Satria tidak kunjung melepaskan pingganggnya. “Ehem.”
Satria yang tersadar segera melepaskan pinggang Anya, ia menggosok belakang tengkuknya yang tidak gatal. Mendadak suasana di ruangan UKS menjadi terasa canggung.
Anya menggunakan jemarinya untuk menyelipkan anak rambutnya kebelakang telinga, “Uhm, laper banget. Lo mau?”
Anya malah meraih kotak bekalnya dan mengambil satu sandwich kemudian menawarkannya pada Satria.
“Bibir gue udah selesai di obati nih?” Satria bertanya berusaha mencairkan suasana.
Anya hanya mengangguk, sambil memasukkan sandwich ke dalam mulutnya. “Uhuk..uhukk.”
Satria segera menyodorkan air minum yang berada di ranselnya. “Minum dulu.”
Tanpa berpikir panjang Anya meminum air dari botol minum Satria untuk melegakan tenggorokannya yang tersumbat sandwich buatan Arya.
“Makasih, nih ada satu lagi lo mau?” ucap Anya menyodorkan satu sandwich yang masih ada di kotak bekalnya.
Satria dengan ragu mengambil sandwich tersebut. “Makasih.”
Satria menggigitnya dengan gigi sebelah kirinya yang masih mulus tanpa ada bekas luka akibat tinjuan Arya.
“Enak banget, kan?” Anya menggigit gigitan sandwich terakhirnya sambil tersenyum.
Dan saat itu juga, Satria terpana, senyum Anya begitu tulus dengan kedua gigi gingsulnya yang mencuat.
“Manis banget.”
“Sandwichnya manis?” Anya membulatkan matanya menatap pada sandwich yang ada di tangan Satria.
“Ahh...iyah,” kilah Satria menutupi kebodohannya.
Anya lagi-lagi tertawa, “Itu pasti salah satu sandwich yang dibuat sama bang Arya buat ngerjain gue.”
“Ini buatan Arya?” Satria menatap tidak percaya pada sandwich yang berada di tangannya bersama dengan satu gigitan di dalam mulutnya.
“Yep, kenapa Sat?” Anya terlihat panik ketika melihat Satria yang mendadak diam.
Satria menggeleng, ia berkata pelan sambil memasukkan satu gigitan kecil ke dalam mulutnya lagi, “Ini enak banget sih, asli.”
Anya tersenyum, “Yah, memang sih, bang Arya itu paling jago buat makanan. Katanya sih dia cita-cita mau jadi chef.”
Satria hanya mengangguk-angguk, “Gue kira dia mau jadi tukang tinju.”
Anya tertawa, lagi...Satria terpana melihat tawa Anya yang begitu memikat hati. Satria si playboy kini menjatuhkan hati pada Anya si gadis lemah yang selalu dilindungi oleh kakak lelakinya.
Satria menggelengkan kepalanya, ia tidak mungkin jatuh pada pesona Anya si gadis lemah yang polos. Kemana perginya Satria yang menyukai para gadis nakal nan agresif.
“Gue ke kelas dulu.” Satria akhirnya bangkit dan meninggalkan Anya yang masih tersisa tawanya.
Anya juga bangkit ia duduk di pinggiran kasur. Menutup kotak bekal dan memasukkannya dengan asal ke dalam tas sekolahnya.
Selesai sudah perdramaan hari ini, Anya memakai sepatunya dan berjalan pelan kembali ke kelasnya. Untung saja bertepatan dengan jam istirahat sekolah. Sehingga Anya tidak perlu menjelaskan panjang lebar pada guru yang tengah mengajar apabila sedang dalam jam belajar.
Anya duduk di meja paling depan yang berada di pojok tepat di samping jendela. Ia menatap keluar jendela, dan tentu saja ia telah menjadi bahan gosip teman-teman satu sekolah Mentari Bangsa.
Bagaimana tidak, lagi-lagi Arya melakukan tindakan heroik di tengah lapangan yang disaksikan oleh semua siswa-siswi Mentari Bangsa.
“Anya!”
Anya sedikit terkejut ketika mendapati seseorang memukul pelan lengan kirinya.
“Helen..lo sejak kapan disini?” Anya bertanya dengan kebingungan.
“Sejak lo bengong liat ke lapangan.” Helen mendengus, Anya tersenyum.
Helen kembali melanjutkan pembicaraannya, “Kak Arya keren banget yah.”
Anya menoyor kepala Helen, “Apa yang keren, asal pukul orang gitu.”
Helen tertawa, “Tapi keliatan banget kalau Kak Arya itu sayang banget sama lo, Anya.”
“Sayang juga gak segitunya kali, Len.” Anya mengerucutkan bibirnya.
Beberapa siswi perempuan lewat, mereka berbisik-bisik sambil tersenyum kecil. “Mereka kembar yah?”
“Gue denger mereka tuh saudara.”
“Mana mungkin, lo gak liat sweet banget mereka.”
“Siapa juga yang percaya kalau mereka itu saudara.”
“Gue denger si cowoknya itu sampai gak naik kelas 2 tahun lho.”
Anya mengerucutkan bibirnya semakin kecut, bisa-bisanya ia menjadi bahan gosip satu sekolahan bersama Arya.
“Nyebelin banget tau.” Anya menyembunyikan wajahnya di atas lipatan tangannya di meja.
Helen hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mau gimana lagi, Nya. Abis Kak Arya memang gitu sih.”
Anya menghentakkan kakinya ke lantai dengan gemas. “Tapi keterlaluan banget carenya, Len. Bisa-bisanya ia ninju orang gak bersalah, ihh.”
Anya menggerutu masih tidak mengangkat wajahnya dari meja. Ia terus melontarkan omelan demi omelan.
“Nanti malam lo nginap rumah gue, yah Len.” Mendadak Anya melontarkan keinginannya pada Helen secara mendadak.
“Gue gak bawa baju, Nya. Besok aja deh.” Helen memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, mengeluarkan buku lainnya.
Anya mengangkat wajahnya dari meja, “Plis, Len. Ya yah yahh.”
Anya mengeluarkan jurus mautnya, ia membulatkan matanya sambil menggenggam kedua tangan Helen. Jurus andalan Anya yang tidak pernah bisa ditolak oleh Helen sejak mereka berteman di SMA.
“Lo emang sahabat terbaik gue, Len.” Anya memeluk Helen ketika Helen akhirnya mengangguk dengan pasrah.
“Sekali ini aja oke?” Helen mendengus.
Anya tersenyum lebar, “Nanti lo bisa pake baju-baju gue yang kece kok.”
Helen tertawa kecil, “Gue gak berharap baju kece lo itu penuh dunia perbarbie-an yah.”
Anya tertawa, “Lo tahu banget style gue, Len. Lo benar-benar teman sejati gue. My soulmate, muahh.”
Anya memeluk Helen sambil mencium pipi Helen berkali-kali. Helen mengetuk kepala Anya.
“Nya, ini dikelas, banyak orang. Hei, kok malah meluk gue sambil nyium ihhh.” Helen mendorong kepala Anya pelan.
Satria yang duduk dideretan paling belakang melihat adegan tersebut sambil tersenyum kecil. “Unik.”
“Gue kabarin bang Arya dulu, buat gak usah jemput. Kita pulang bareng aja naik bus.” Anya mengeluarkan ponselnya sambil tersenyum lebar.
“Gue gak mau jadi amukan Kakak lo Nya, gak usah aneh-aneh deh.” Helen berdecak kecil ketika mendengar ide dari Anya.
Helen sudah menduga Anya tidak akan diperbolehkan untuk naik bus yang merupakan salah satu angkutan umum di kota. Sudah pasti Arya akan datang menjemput Anya.
“Pokoknya hari ini gue pengen bebas dari bang Arya.” Anya menekan tuts ponselnya sambil tertawa kecil.
Helen menggelengkan kepalanya, “Gimana bisa bebas sih, kan lo pulang ke rumah. Di rumah lo kan ada kak Arya sih.”
Helen menggelengkan kepalanya melihat tingkah konyol Anya.
“Atau kita mau nginap di hotel berdua malam ini?” Mata Anya berbinar dan tangannya mengacung keatas seperti mendapatkan ilham.
“No, Anya.” Helen langsung menolak mentah-mentah ide dari Anya yang sudah pasti akan membuat Arya murka. Dan tentu saja Helen tidak berencana untuk ditandai dalam daftar hitam Arya.
“Plis.”
Helen menggelengkan kepalanya dengan pasti dan tegas, untuk permintaan Anya yang satu itu sudah pasti sampai kapanpun Helen tidak akan menurutinya.
Helen sengaja memalingkan wajahnya agar tidak melihat kedipan mata Anya yang berpotensi besar membuatnya goyah dan mengikuti permintaan gadis mungil itu.
“Enggak, Nya. Atau mau gue batal nginap rumah lo?” akhirnya Helen mengancam Anya.

Book Comment (21)

  • avatar
    Arlin Febrianti

    Kerenn

    26/06/2023

      0
  • avatar
    soleha huda

    Mantap bangat 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    05/06/2023

      0
  • avatar
    MegasariDesti

    keren

    20/05/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters