logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

26. Kemarahan Kang Darman

Kemarahan Kang Darman
Kamar Juragan Hasyim yang memang ada di ruang depan, bersisian dengan ruang tamu, mau tidak mau membuat dia dapat mendengarkan semua pembicaraan anak-anaknya. Tatapannya sudah basah dengan air mata. Entah apa yang dia rasakan, anak-anak yang selalu dibela dan diusahakan, membalasnya dengan pembiaran karena alasan faktor usia. Bahkan ketiga anaknya itu berencana ingin menjual rumah tempat tinggal satu-satunya miliknya.
Dari semenjak dia diletakkan di tempat tidur ini selepas dari Puskesmas, belum satu pun dari anak-anaknya ada yang melihatnya kembali.
Celana yang dikenakan olehnya sudah basah dengan limpahan air seninya sendiri. Istri yang penurut dan selalu memenuhi kebutuhan dan kemauannya, belum kunjung pulang juga. Dia benar-benar merasa sendiri dan terabaikan.
Sebelah tubuhnya seperti mati rasa, wajahnya memenyon pada sisi sebelah kanan, tergeletak tanpa daya, bahkan untuk membalikkan badan saja, Juragan Hasyim tidak mampu. Dia masih mampu untuk mendengar, tetapi sulit untuk berbicara. Telinganya terus saja mendengarkan apa saja yang sedang dibicarakan ketiga anak-anak dan menantunya.
"Lalu kapan rencananya rumah ini untuk segera ditawarkan?" tanya Gufron.
"Makin cepat makin baik," sahut Tohir.
"Ya sudah, mulai tawarkan saja sekarang," ucap Ela.
"Semakin cepat rumah ini terjual, kita bisa lebih tenang, nggak pusing-pusing mikirin hutang dan kreditan yang akan jatuh tempo," kata Samsiah. Amran yang sedari tadi diam, mulai ikut bicara.
"Kang Darman, Risma, bagaimana?" tanya Amran kepada kedua saudaranya.
"Kang Darman dan Risma sudah banyak uang, Kang, gak butuh duit lagi," celetuk Ela. "Lagi pula, saat kondisi bapak seperti ini, mereka pada kemana?"
"Tapi minimal mereka berdua harus diberitahu," ujar Amran.
"Nanti saja Kang, jika sudah jadi duit," sergah Gufron.
"Iya, jika sudah jadi duit, mau nggak mau, 'kan harus terima," ucap Tohir.
"Tapi nggak bisalah, saat jual beli mereka, 'kan harus ikut tanda tangan buat persetujuan, bisa-bisa Kang Darman nggak terima karena merasa tidak dihargai, kita yang repot sendiri," jelas Amran.
"Mereka tidak tahu, 'kan kondisi bapak yang terkena stroke?" tanya Samsiah. Amran menggeleng, sembari mengambil bungkus rokok dan korek api dari saku bajunya.
"Tadi pagi, saat bapak dibawa ke puskesmas, akang sudah menelepon Kang Darman," terangnya, sambil menyalahkan rokok kretek dan mengisapnya perlahan. "Malah katanya Kang Darman posisinya saat tadi akang telepon, sedang berada di Bandung, tidak terlalu jauh dari sini."
"Teh Risma perlu dikasih tahu juga tidak, jika kita berencana ingin menjual rumah ini?" tanya Samsiah.
"Tidak perlu! Sombong, mentang-mentang sekarang hidupnya sudah enak, punya rumah mewah, kita adik-adiknya dibuat macam gembel, tidak boleh masuk dan bertamu ke rumahnya," gusar Ela, wajahnya terlihat jengkel.
"Iya, kaya nggak ingat lagi susah aja," celetuk Samsiah. Wajah mereka berempat terlihat kesal, hanya Amran yang menanggapi santai, dan berkata pelan.
"Saat keadaannya susah, Risma tidak pernah memberatkan kita, coba kalian ingat-ingat pernah dibuat susah apa sama dia." Wajah Amran seperti sedang termenung, sesaat berkata seperti itu.
Ela, samsiah, dan suami-suami mereka terdiam, mendengar ucapan Amran.
Terdengar suara mobil memasuki halaman rumah besar, tidak beberapa lama langsung terdengar dimatikan. Darman terlihat tergesa memasuki rumah, dan melihat adik-adik serta iparnya berkumpul di karpet ruang tamu.
"Bapak mana?" tanyanya, tanpa basa-basi.
"Di kamar, Kang," jawab Samsiah, semua mata memandang ke arah Darman yang masih berdiri dekat pintu masuk.
Tanpa banyak cakap, langsung segera masuk ke kamar Juragan Hasyim, tidak menunggu lama.
"Ela! Samsiah ....!"
Ela dan Samsiah, mendengar namanya dipanggil Darman langsung segera menghampiri ikut masuk ke dalam kamar tidur bapak.
"Kalian masa nggak tahu, itu celana bapak basah dengan air kencing," tegurnya kepada kedua adiknya itu.
"Maaf Kang, Samsiah tidak tahu," jawabnya sembari tertunduk, begitupun Ela, mereka memang ada rasa segan kepada Abang mereka yang paling tua tersebut.
Pelan-pelan mereka berdua mulai mengganti celana Juragan Hasyim yang basah dengan kain sarung, terlihat ada rasa jijik pada diri mereka saat melakukannya.
"Dokter bilang apa?" tanya Darman, kepada kedua adiknya.
"Stroke Kang, ada penyumbatan pembuluh darah pada otak," jelas Ela, sambil berlalu ke kamar mandi belakang untuk membawa celana kotor bapaknya. Setelah memastikan bapak sudah dalam keadaan bersih, Darman lantas menemui adik-adiknya yang masih berkumpul di sebelah kamar bapak, ruang tamu.
"Dokter bilang apa lagi?" tanya Darman, tetap berdiri, sementara yang lain masih terduduk di karpet.
"Harus dibawa ke Rumah Sakit besar Kang, buat pengobatan lanjutan dan menjalani terapi," jelas Amran.
"Terus, kenapa belum dibawa?" tanya Darman lagi.
"Ini lagi dibicarakan, Kang," ujar Ela, beralasan, sembari memberi kode kepada Samsiah dan Amran, untuk membicarakan rencana mereka untuk menjual rumah ini.
"Kang, ada yang ingin kami bicarakan dengan Akang," ucap Amran. Darman lantas ikut bergabung duduk di bawah bersama yang lainnya.
"Begini Kang, jadi pembicaraan kami tadi memutuskan untuk menjual rumah ini buat biaya pengobatan bapak," kata Amran pelan, dan Darman terkejut mendengarnya.
"Apa hubungannya pengobatan bapak dengan menjual rumah, akang yang akan biayai semuanya, kalian cukup tenaga saja untuk menjaga," tegas Darman.
"Tapi Kang, walaupun Akang yang akan membiayai pengobatan bapak, kami sepakat tetap akan menjual rumah ini," ucap Amran lagi.
"Alasannya apa, biaya bapak, 'kan sudah akang tanggung." Darman mulai terlihat bingung dengan kelakuan adik-adiknya.
"Kami bertiga sudah dikeluarkan dari pekerjaan Kang, duit hasil penjualan rumah ini buat kehidupan kami sehari-hari, membayar hutang, dan cicilan," jelas Amran lagi. Wajah Darman terlihat memerah, menahan amarah.
"Kalian benar-benar tidak tahu diri yah," sindir Darman, lalu kembali melanjutkan. "Kalian kan masing-masing sudah dapat jatah tanah, bahkan ikut dibantu bapak saat mendirikan rumah, dan kalian bertiga masih saja serakah ingin menguasai dan menjual rumah ini. Tidak tahu malu." Semua yang mendengar terdiam mendengar ucapan pedas dari Darman.
"Tapi Kang. Kang Amran dan suami-suami kami sudah tidak bekerja lagi," ucap Ela.
"Ya itu urusan kalian lah, jika ingin menjual, jual saja rumah kalian sendiri, jangan bapak dan emak yang kalian korbankan!" sentak Darman.
"Lagipula jika mengikuti hukum waris, rumah ini adalah bagian akang dan Risma, karena kami belum mendapatkan apapun dari bapak."
Darman menatap dalam wajah adik-adiknya satu persatu.
"Kalian jangan coba-coba menjual rumah induk ini tanpa sepengetahuan akang dan Risma. Akang tidak perduli kalian ini masih adik-adik akang, jika berani seperti itu, siap-siap saja kalian akan akang penjarakan," ancam Darman tegas.
Mereka kembali terdiam, mendengarkan Darman berbicara menekan seperti itu, walaupun terlihat jelas raut wajah tidak suka setelah mendengar apa yang Darman ucapkan. Keadaan sempat terasa canggung, sampai akhirnya Darman kembali bertanya.
"Kalian kenapa bisa keluar kerja berbarengan seperti ini?" tanya Darman memulai kembali percakapan, setelah semuanya terdiam.
"Sepertinya dikeluarin sama Riswan," jelas Amran.
"Riswan? Apa hubungannya dengan pekerjaan kalian?" tanya Darman, yang belum mengetahui siapa Riswan sebenarnya.
"Riswan ternyata pemilik pabrik perkebunan ini, Kang. Dia ternyata anak dari Muchtar Kusumateja," ujar Samsiah, dan Darman terpana mendengarnya. Seperti tidak menyangka, bingung harus bertanya apa lagi, sampai akhirnya dia mengalihkan percakapan.
"Emak kemana? Dari akang datang, belum juga kelihatan?"
"Emak ikut Risma ke rumahnya, Kang, dari semalam belum pulang juga," jawab Samsiah.
"Rumah Risma yang dekat perkebunan?"
"Bukan Kang, sudah pindah sekarang."
"Pindah kemana?"
"Itu Kang, Rumah yang di atas bukit."
"Rumah mewah itu?"
"Iya, Kang."
Darman lantas berdiri. "Emak sudah tahu belum kondisi bapak?"
"Belum tahu Kang, tadi saat kami ingin ke rumahnya, tetapi dilarang masuk sama penjaganya," ujar Tohir. Tanpa banyak bicara, Darman lantas keluar dari rumah emak, menuju kendaraan miliknya.
"Mau kemana, Kang!" panggil Samsiah. Darman diam saja, masuk ke dalam kendaraan dan langsung pergi meninggalkan rumah bapak.
÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷
Risma baru saja mengantarkan Maharani ke kamar tamu guna beristirahat, saat baru saja ingin kembali ke kamarnya, Bude Ajeng lantas menghampirinya.
"Bu, Maaf, Buk?" Risma berhenti, lantas berbalik badan ke arah Bude Ajeng.
"Ada apa Bude?"
"Itu Bu, security depan memberi tahu, ada tamu yang ingin bertemu. Mengaku kakak ibu Risma, Darman namanya," terang Bude Ajeng.
"Iya, itu benar Akang saya, suruh masuk Bude, saya segera ke depan untuk menemui," jawab Risma, Bude Ajeng lantas menghubungi pihak pengaman via handphone.
--Benar Pak, itu kakaknya Ibu Risma, suruh masuk saja.
--Siap Bude.
"Bude, tolong kasih tahu Emak, jika ada Kang Darman di depan. Biar saya sendiri yang akan menemui Akang saya," ucap Risma.
"Baik, Buk." Bude Ajeng lantas bergegas untuk memanggil emak.
Darman baru saja turun dari mobilnya, dan sempat terpana melihat kemegahan rumah yang ada di depannya, dia benar-benar tidak menyangka, jika salah satu konglomerat di negri ini adalah adik iparnya sendiri.
"Kang!" Risma berteriak dari atas teras utama, sembari berjalan menuruni undakan dengan sedikit cepat, terlihat gembira ia, kedatangan Abang yang paling baik dan sayang padanya. Risma lantas mencium tangan Kang Darman dengan penuh takzim. Seperti biasa, Darman pun mengusap-usap lembut hijab yang dipakai adiknya tersebut.
"Risma, Alhamdulillah, nggak nyangka akang," ucap Darman, masih terus mengagumi rumah tinggal Risma. Darman pun orang yang berhasil dalam berusaha di kota, tetapi melihat keindahan dan kemegahan rumah yang ada di depannya ini, dia merasa takjub juga.
"Alhamdulillah, Kang," ucap Risma, sembari mempersilahkan Darman untuk menaiki undakan, guna masuk ke dalam rumahnya.
"Riswan ada Ris?"
"Nggak ada Kang, pagi-pagi sekali sudah berangkat ke Surabaya," jelas Risma.
"Pakai pesawat pribadi?" tanya Darman lagi, sembari menaiki tangga marmer bersama Risma.
"Memang boleh Kang punya pesawat?" tanya Risma dengan polosnya.
"Boleh atuh, Ris, sepertinya Riswan pun pasti punya," ujar Darman, langkah kakinya sudah mencapai teras utama depan rumah.
"Belum tahu juga Kang, Risma nggak kepikiran nanya seperti itu." Darman pun tertawa mendengar ucapan polos adiknya. Sebelum memasuki ruang tamu, Risma memegang tangan Darman, menahan langkahnya sesaat.
"Akang pasti tahu, jika Risma berbeda ibu dengan Akang, kok Akang nggak pernah cerita?" tanya Risma, penasaran. Darman tentu saja terkejut, Risma ternyata sudah tahu tentang masa kecilnya.
"Ris, selain dulu dilarang sama emak dan bapak, lagipula buat apa? Satu Bapak itu kuat, Ris, dan dari saat Risma diurus emak pun, Risma netek-nya sama emak, dan emak pun sangat sayang sama Risma. Terus jika Risma sudah tahu cerita yang sebenarnya, Risma jadi nggak sayang lagi gitu sama emak dan akang?"
"Nggaklah kang, Risma malah berterima kasih, emak dan akang sayang sama Risma." Kembali mengajak Darman untuk masuk ke ruang tamu.
Emak terlihat sudah berada di ruang tamu saat Farman pun sampai, menghampiri emak, dan langsung mencium tangannya.
Mereka pun duduk bersama di sofa ruang tamu.
"Akang kok tahu-tahu bisa ada di sini?" tanya Risma.
"Tadi akang ke rumah Emak, kata Ela, Emak ada di rumah Risma yang baru, lantas akang langsung ke mari," jelas Darman.
"Man, emak ingin bicara sekarang?" kata emak
"Emak mau bicara apa?"
"Emak sudah cerita semuanya pada Risma, sekarang emak ingin juga Darman tahu."
"Iya, Emak ngomong aja."
"Emak pengen minta pisah Man, sama bapakmu," ungkap emak, dan hari ini Darman sudah beberapa kali mengalami keterkejutan.
"Astagfirullah Mak, kok bisa kepikiran seperti itu," ujar Darman, merasa heran.
"Emak cape Man, menghadapi sifat bapakmu, emak kepingin tenang, tidak ingin lagi merasa tertekan atas perlakuan bapakmu terhadap emak," ucap emak, sambil menghapus rembasan di mata dengan ujung hijabnya.
"Emak kan memang sudah tahu sifat bapak seperti itu, sudah puluhan tahun, pasti emak sudah kebal," ujarnya.
"Sudah hampir beberapa tahun ke mari, diam-diam bapak kawin lagi Kang." Risma sekarang yang menjelaskan, dan Darman kembali terkejut. "Emak sudah merasa lelah, Kang, selama ini bapak tidak pernah mau mengerti dan memahami perasaan emak," jelas Risma.
"Darman setuju dan paham, kan, jika seandainya emak memilih berpisah dengan bapak?" tanya emak, meminta pendapat anak tertuanya. Darman terdiam sesaat, sembari mengirup dalam udara dan melepaskan perlahan, langkah mengurangi stress.
"Tapi Mak, Bapak sekarang sedang terkena stroke."

Book Comment (59)

  • avatar
    HasimHasbi

    novelnya gak ada kelanjutan

    19/07

      0
  • avatar
    AlfarizkiAzka

    aska

    15/07

      0
  • avatar
    TynnaNeng

    novel yang bagus

    29/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters