logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

25. Kunjungan Maharani

"Sebentar lagi saya akan menemui tamunya, Bude," jawab Risma.
"Baik, Bu," jawab Bude Ajeng, lalu meminta ijin untuk undur diri.
Risma pun kembali menatap wajah emak, mata mereka berdua masih tergenang air sebening krista.
"Sampai kapanpun, bagi Risma, Emak tidak akan pernah terganti," ucapnya, lalu kembali mencium tangan emak, dan meminta ijin ingin menemui tamunya terlebih dahulu. Risma pun langsung bergegas ke ruang tamu.
Seorang wanita berhijab syar'i, berwarna hijau tua terduduk sendiri di sofa, wajahnya putih bersih juga cantik, dan Risma tidak mengenalinya. Wanita itu lalu menoleh ke arah datangnya Risma, lantas langsung berdiri, tersenyum manis kepada Risma.
"Assalamualaikum," ucap salam dari Maharani.
"Waalaikum salam," jawab salam dari Risma, wanita bernama Maharani itu lantas memeluk tubuh Risma, menempelkan pipi kiri dan kanan. Risma yang memang tidak terlalu luas pergaulannya, agak sedikit canggung melakukannya. Risma lantas mempersilahkan Maharani untuk duduk kembali, dan mereka bicara berhadap-hadapan.
"Boleh saya tahu, Mbak ini siapa?" tanya Risma, dengan santunnya. Perempuan itu tersenyum menampakkan gigi putihnya.
"Maaf, Mbak, saya hampir lupa memperkenalkan diri," ucapnya. "Nama saya Maharani, saya kawan Mas Aries dari Jakarta," ucapnya lagi, memperkenalkan diri.
"Aries?" tanya kembali Risma, seperti kebingungan dengan nama yang baru saja disebutkan Maharani.
"Chairiswan Kusumateja." Maharani menyebutkan nama panjang Riswan.
"Ohh, Bang Riswan," ujar Risma cepat, tidak terbiasa mendengar kata Aries dalam memanggil nama suaminya.
"Jadi Bang Aries jika di rumah dipanggilnya Riswan." Maharani pun tertawa, begitu pun Risma.
"Mbak Maharani mau bertemu Bang Aries? Tetapi Bang Ariesnya sedang ke Surabaya, Mbak, juga belum memberitahu kapan pulangnya" jelas Risma.
"Oh, nggak kok Mbak, saya ke sini memang ingin bertemu Mbak, sekalian ingin berkenalan dengan Istrinya Mas Aries," kata Maharani, menjelaskan maksud kedatangannya.
Seorang pelayan rumah datang sembari membawa minuman dan snack-snack kering sebagai hidangan, setelah itu kembali undur diri.
"Oh iya, Nama saya Risma Wulandari, saya Istrinya Bang Riswan," ucap Risma, lantas mempersilahkan Maharani untuk mencicipi makanan dan minuman yang sudah disiapkan.
Maharani hanya menyesap minumannya sedikit.
"Sepertinya rumah ini baru ya, Mbak Risma?" tanya Maharani, matanya memperhatikan sekeliling.
"Iya, Mbak Rani, baru juga sehari ini," jawab Risma, lalu ikut meminum air yang sudah disediakan juga untuknya.
"Baru sehari, sebelumnya tinggal di mana?" tanya Maharani, mencari tahu.
"Mbak Rani tadi saat kemari melewati perkampungan terakhir sebelum sampai ke sini, 'kan?" tanya Risma.
"Iya, Mbak," jelas Maharani.
"Di situ kami tinggal, Mbak, di rumah seukuran 50 meter, separuh tembok dan separuh bilik bambu, hampir enam tahun," jelas Risma. Maharani terlihat terkejut mendengar penjelasan Risma.
"Mas Aries tinggal di rumah seperti itu, Mbak?" tanya Maharani, untuk lebih meyakinkan.
"Saya pun kaget Mbak Rani, tidak percaya, jika Bang Riswan anak seorang pengusaha kaya raya, dan juga seorang pebisnis, karena Bang Riswan sama sekali tidak menampakkan seperti itu." Maharani serius sekali mendengar penjelasan dari Risma.
"Jadi Mas Aries menyamar seperti orang biasa pada umumnya?" tanya Maharani lagi, dan Risma hanya mengangguk, membenarkan. Risma kemudian menunjukkan photo rumah sederhana miliknya yang selama enam tahun terakhir dia tinggali bersama Riswan dan kedua anaknya, photo yang baru pagi tadi dia abadikan, lewat handphone baru yang diberikan Riswan semalam.
Maharani meminta handphone tersebut, untuk bisa melihatnya lebih dekat, kemudian menyerahkan kembali kepada Risma.
"Bang Riswan sebelum mengenal saya, kehidupannya seperti apa, Mbak Rani?" Risma sekarang yang mulai bertanya, sedikit penasaran dia dengan masa lalu suaminya.
Maharani terdiam, dia baru mengetahui jika Riswan ternyata menghilang selama ini, memang sengaja ingin menepi dan bersembunyi dengan menjadi seperti masyarakat desa pada umumnya. Meninggalkan semua kehidupan mewah dan penghormatan orang lain terhadapnya, dan dia adalah penyebabnya.
"Mbak Rani?" tanya Risma.
"Eh, Apa, Mbak," jawab Maharani, sedikit terkejut dengan pertanyaan dari Risma.
"Itu Mbak, seperti apa kehidupan Bang Riswan saat sebelum mengenal saya?"
"Setahu saya, Mas Aries itu seorang pekerja keras, pebisnis sukses, dan tidak aji mumpung walaupun sudah kaya dari kecilnya, itupun saya dapat cerita dari almarhumah ibu beliau, Tante Rosalina, karena memang almarhumah sahabat dekat dengan ibu saya," jelas Maharani.
"Ya, Allah, ingin rasanya bisa mengenal, berterima kasih, dan berbakti pada ibu mertua," ucap Risma, sudah berkaca-kaca matanya. Maharani langsung menangis terisak-isak, teringat masa lalunya, betapa dia merasa menjadi penyebab dari kematian almarhumah Tante Rosliana, dan itu membuat Risma bingung. Istri dari Riswan itu lantas berpindah tempat duduk di samping Maharani, dan memeluknya.
"Mbak Rani kenapa? Apa saya salah bicara," ucap Risma pelan, Maharani masih terisak, sembari menghapus air bening di mata dengan tissue yang dibawanya.
"Tidak Mbak Risma, saya hanya teringat dengan kebaikan beliau semasa hidupnya," jelas Maharani, masih sambil mengusap mata dan hidungnya. Sama halnya seperti Riswan, hidupnya pun dipenuhi dengan rasa penyesalan.
"Nanti akan saya minta Abang untuk mengajak saya mengunjungi makam beliau, sekaligus ke makam almarhum bapak mertua," ucap Risma, tangannya sekarang mengusap-usap punggung Maharani untuk menenangkan.
"Mas Aries pasti sangat mencintai Mbak Risma?" tanya Maharani, sembari mulai menenangkan dirinya.
"Saya pun sangat mencintai suami saya Mbak, dari semenjak saya mengenalnya pertama kali, ada sebuah keyakinan di dalam diri, jika Bang Riswan adalah jodoh yang sudah Allah persiapkan buat saya, dan saya tidak pernah seyakin itu sebelum-sebelumnya."
"Mbak Risma mencintainya dengan penuh ketulusan," puji Maharani. Risma tersenyum, kembali berucap.
"Sesuatu yang diberikan Allah itu pasti yang terbaik, Mbak. Kita terkadang menyangkal dan tidak mau menerima, tetapi seiring waktu berjalan, baru kita menyadari, bahwa ada hikmah dan kebaikan di balik itu semua, makanya Allah memerintahkan untuk menjadikan sabar dan salat sebagai penolong kita, karena jawaban dari semua masalah yang kita hadapi adalah 'menunggu waktunya' sampai pertolongan Allah itu datang."
Maharani kembali menangis, dan memeluk Risma dengan sangat erat, berucap pelan dekat telinga Risma.
"Mas Aries beruntung bisa mendapatkan, Mbak. Wanita bijak yang sabar dan berilmu." Risma pun membalas pelukan Maharani.
"Almarhumah ibu mertua saya pasti orang yang sangat baik, karena dekat dengan orang baik seperti Mbak Maharani," ucap Risma, polos, dan membuat Maharani semakin sesak, kembali terisak-isak. Cukup lama juga mereka saling berpelukan seperti itu.
"Demi Allah, saya beruntung bisa mengenal Mbak Risma," ujar Maharani, kembali menghapus bulir air yang berulang-ulang kali membasahi pipinya.
"Saya hanya wanita desa yang bodoh, Mbak Rani, sekolah pun hanya sampai SMP, lebih banyak nggak tahunya," ucap Risma, lalu tertawa. Maharani pun ikut tertawa, dia seperti.merasakan kedekatan dan keakraban dengan Risma, walaupun baru saja saling mengenal satu sama lain.
"Sekolah memang mengajarkan pengetahuan Mbak, tetapi hidup mengajarkan kita semuanya, makanya guru-guru mengaji selalu mengajarkan jadikan kitab suci kita sebagai petunjuk pedoman hidup, agar tidak salah dalam belajar tentang kehidupan," jelas Maharani. "Doakan saya ya, Mbak Risma, agar saya tidak tersesat lagi," ucap lirih Maharani.
"Kita akan saling mendoakan, Mbak. Mungkin jika doa yang saya minta butuh proses, bisa jadi doa tulus dari Mbak yang Allah dahulukan, karena kita tidak tahu, 'kan, doa yang mana dulu yang akan Allah ijabah," jelas Risma, kembali menawarkan hidangan di atas meja kepada Maharani.
"Tidak sia-sia saya melakukan perjalanan cukup jauh untuk bisa berkenalan dengan istri Mas Aries, banyak ilmu yang saya dapatkan dari perbincangan ini," ujar Risma, sedikit memuji.
"Mbak Maharani diantar Sopir atau mengemudi sendiri?" tanya Risma.
"Sendiri, Mbak. Sekalian ingin jalan-jalan, sumpek juga di kota besar terus," ujar Maharani, kembali tertawa.
"Ya, Allah, Mbak Rani kuat amat, Jakarta, 'kan jauh?"
"Tapi ga rugi ko, Mbak, saya dapat ilmu saat berbincang dengan Mbak tadi," ujar Maharani, tersenyum lembut.
"Mbak yang berilmu, tetapi selalu merendah," jawab Risma, dan mereka masih duduk bersisian.
"Oh, iya, Mbak. Jika hotel atau motel dekat sini di mana ya, lelah juga jika langsung pulang pergi seharian, ingin menginap sehari saja."
"Mbak Rani ngapain nyari motel, menginap di sin saja yah, masih banyak kamar kosong. Sekalian biar saya ada teman untuk berbincang," kata Risma.
"Tidak usah Mbak Risma, takut merepotkan, Mbak," ujar Maharani.
"Nggak kok, Mbak, tidak ada yang direpotkan. Jadi yah, Mbak Rani menginap di sini?"
"Terima kasih ya, Mbak Risma."
"Sama-sama, Mbak Rani, saya pun sudah lama sekali tidak berbincang senyaman ini," ucap Risma, lalu memanggil dan meminta Bude Ajeng untuk menyiapkan kamar buat Maharani.
÷÷÷
"Tekanan darah tinggi dan penyumbatan pembuluh darah ke otak, sehingga pasokan nutrisi dan oksigen terganggu, itu yang menyebabkan Pak Hasyim terkena stroke," jelas Dokter Anisa, dokter yang bertugas di Desa Cibungah pada Amran. "Separuh tubuhnya mengalami kelumpuhan. Saran saya sebaiknya pak Hasyim dibawa ke rumah sakit yang lebih besar di kota kabupaten, guna menjalani terapi," jelas Dokter Anisa lagi.
"Jadi, bapak saya mengalami kelumpuhan, Dok?" tanya Amran lagi.
"Iya, Pak Amran, tetapi hanya separuh tubuhnya, beliau pun nanti akan kesulitan bicara," jelas dokter puskesmas itu lagi.
"Jika bisa secepatnya ya, pak, dibawa ke rumah sakit besar," pinta dokter Anisa lagi, lalu kembali masuk ke ruang praktek-nya.
Dengan dibantu beberapa warga desa, Juragan Hasyim kembali dibawa pulang ke rumah, dan diletakkan di dalam kamarnya. Sebagian warga yang membantu sudah kembali ke rumah masing-masing, dan Amran kebingungan sendiri di ruang tamu. Kabar yang dia terima, jika kedua adik perempuannya dan suami-suami mereka sedang mengunjungi rumah Risma di atas bukit, entah untuk urusan apa.
Tidak beberapa lama, terdengar suara motor yang lebih dari satu, berhenti tepat di depan rumah besar ini, dan benar adanya, ternyata Ela dan Samsiah, juga ada Tohir dan Gufron yang datang.
"Duduk sebentar sini, Akang mau bicara," ucap Amran kepada kedua adik-adiknya. Mereka semua pun lalu duduk di karpet lantai, mengelilingi Amran, dan Amran langsung saja memulai bicara.
"Bapak terkena stroke, separuh tubuhnya lumpuh. Dokter Anisa meminta akang, untuk cepat membawa bapak ke rumah sakit. Siapa yang mau membawa bapak ke sana?" tanya Amran kepada Ela dan Samsiah, juga pasangan mereka berdua. Terdiam sesaat tidak ada jawaban. Samsiah lalu mencoba bicara.
"Kita mau bawa dan ngobatin bapak pakai apa, Kang. Terus terang saja, nggak sanggup jika urusannya soal uang," kilah Samsiah.
"Ela pun sama, gak bisa!" jawabnya, masih sedikit ketus dengan Amran.
"Lalu bagaimana ini, akang pun sedang tidak punya uang," jelas Amran. "Jadi bapak gimana ini?" tanya Amran lagi, meminta pendapat Ela dan Samsiah.
"Sudahlah Kang, biarkan saja, sudah tua ini," ujar Ela. Tidak mau pusing dia.
"Atau ... rumah ini kita jual saja, kang, bagi bertiga, sisa duitnya baru kita pakai untuk pengobatan bapak," usul Samsiah.
"Benar tuh, bukannya kita bertiga sedang kesulitan soal keuangan, jadi lebih baik jual saja." Tohir pun ikut bicara.
"Lalu ... nanti bapak mau tinggal di mana?" tanya Amran.
"Masalah itu sih gampang, nanti jika emak pulang, kita bergantian tempat saja untuk mereka tinggal, toh jarak rumah kita dekat-dekat ini." Kali ini, Gufron yang ikut memberikan usul.
"Benar kang, yang penting kita dapat uang dulu untuk bayar semua keperluan kita yang mendesak, termasuk membayar kreditan mobil Kang Amran," jelas Ela, yang terus saja mempengaruhi Amran yang masih terlihat ragu-ragu. Berpikir dia sebentar, mempertimbangkan.
"Ya sudah jika begitu, terserah kalian saja," ucap Amran, pasrah.

Book Comment (59)

  • avatar
    HasimHasbi

    novelnya gak ada kelanjutan

    19/07

      0
  • avatar
    AlfarizkiAzka

    aska

    15/07

      0
  • avatar
    TynnaNeng

    novel yang bagus

    29/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters