logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

23. Tanda Lahir

Mobil yang membawa Risma berhenti di sisi jalan yang biasa dia turun, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki ke rumahnya yang terdahulu, dengan ditemani Yuli putri pertamanya dan satu orang bodyguard penjaga, sementara yang satunya lagi Risma meminta untuk menunggu di mobil saja, tidak nyaman dia rasanya jika terlihat berbeda di kampungnya sendiri.
Risma pun sudah sampai di rumah sederhananya, rumah yang dibeli Riswan tanpa bantuan siapapun, rumah yang menuliskan banyak cerita kehidupan antara dia dan Bang Riswan, dari sejak pertama kali berumah tangga hingga hampir berjalan enam tahun.
Beberapa tetangga yang melihat kehadirannya mulai mendekat, sebagian mengerumuninya untuk memberikan selamat, ataupun ucapan pujian dan kekaguman. Mereka semua tiada menyangka, bahwa suami Risma adalah pemilik dari pabrik sekaligus perkebunan besar di desa mereka.
"Teh Risma hebat, ternyata teh, Kang Riswan orang kaya," puji Mak Enah, tetangga depan rumah.
"Iya, yah, itu Kang Riswan pakai acara nyamar-nyamar segala, sampai mau tinggal di rumah gubuk macam gini," saut tetangga yang lain, dan Risma hanya tersenyum menanggapinya, karena dia sendiri pun belum tahu alasan Bang Riswan menutupi siapa jati diri dia yang sebenarnya dulu, dan Risma tidak akan memaksa agar Bang Riswan bercerita, semoga nanti suaminya sendiri yang akan menceritakan semuanya.
Risma dan putrinya Yuli pamit sebentar untuk masuk ke dalam rumah, guna mengambil buku tabungan dan beberapa simpanan pribadinya yang dia anggap penting. Beberapa perabotan rumah, alat-alat elektronik pun akan dia berikan nanti kepada tetangganya yang dia memang tahu bahwa orang tersebut tidak memilikinya.
Bodyguard penjaga menunggu di depan pintu, sembari menelepon rekannya yang menunggu di mobil untuk segera menyusul, karena terlihat para tetangga yang ingin melihat kedatangan Risma berkumpul semakin banyak. Hampir semua warga desa ini sudah mengetahui siapa Risma yang sebenarnya, karena mereka pun ikut hadir saat undangan di aula kemarin.
"Mak Enah, sini Mak sebentar!" panggil Risma dari depan pintu rumahnya. Mak Enah, tetangga depan rumah yang namanya dipanggil Risma pun langsung menghampiri, ikut masuk ke ruang tamu.
"Ada apa Teh?" tanya Mak Enah, perempuan tua yang seumuran dengan emak, yang memang sedari dulu membiasakan memanggil Risma dengan panggilan Teteh di depan namanya.
"Televisi ini buat Mak Enah. Mak Entah mau, 'kan? tanya Risma, yang memang tahu jika sedari dulu di rumah Mak Entah tidak terdapat televisi. Anak satu-satunya Mak Enah hanya bekerja sebagai buruh serabutan di ladang orang, dan menantunya sesekali menerima cucian atau setrikaan dari para tetangga. Dua orang cucunya pun sering menumpang menonton televisi di rumah Risma, yang baru dua minggu dia beli hasil dari uang pemberian pabrik pengolahan yang dia yakin itu semua atas perintah suaminya, Bang Riswan.
"Be-beneran ini Teh, tivi-nya buat emak, ini bukannya teteh beli baru?" tanya balik Mak Enah, suaranya sedikit gagap dan bergetar, karena kaget atas penawaran dari Risma.
"Beneran Mak, tivi ini buat emak, sama beras dan mie instan," jawab Risma, sambil menunjuk beberapa karung beras ukuran 10 kilogram yang masih banyak bertumpuk.
"Alhamdulillah, ya, Allah," ucap syukur Mak Enah, mulai menangis. Risma pun terharu, karena sangat tahu, jika kehidupan Mak Enah tidak berbeda jauh dengan kehidupannya dulu.
"Emak dikasih tivi kok malah nangis," canda Risma, matanya pun sudah berkaca-kaca.
Mak Enah malah langsung memeluk Risma, tangisnya semakin kencang.
"Terima kasih ya, Teh, terima kasih," ucap Mak Entah lagi, sembari terisak.
"Sama-sama, Mak. Doain Risma dan keluarga ya, Mak," pinta Risma kepada Mak Enah. Seorang janda yang sudah 15 tahun ditinggal meninggal suaminya.
"Pasti, Teh, pasti. Semoga Teh Risma dan keluarga selalu dalam perlindungan Allah, dan selalu dilimpahi rejeki yang banyak dan juga kesehatan," ucapnya tulus, sembari mengusap kedua matanya yang berair.
"Aamiin ya, Allah, terima kasih ya, Mak," ujar Risma.
"Mas, tolong angkatin tivi, mie instan, sama beras yah, ke rumah emak, dekat kok di depan rumah," pinta Risma kepada kedua orang penjaganya.
"Baik, Bu." Kedua bodyguard berseragam safari itu pun segera melaksanakan perintah Risma.
Sementara si sulung Yuli, malah asyik bermain-main dengan salah satu cucu Mak Enah di ruang tamu.
"Tivi Yuli dikasihin buat aku," ucap cucu Mak Enah. "Yuli nggak apa-apa?" tanya gadis kecil bernama Nikmah itu kepada Yuli.
"Nggak apa-apa, itu buat Nikmah nonton di rumah. Yuli juga sudah ada tivi yang besar di rumah yang baru," jawab putri sulung Risma itu polos.
"Memangnya Yuli tinggal di mana sekarang?"
"Itu, rumah yang di atas bukit, ada kolam renangnya," jawab Yuli sambil tangannya menunjuk ke arah bukit itu berada, walaupun bukit itu tidak terlihat karena terhalang atap rumah.
"Nikmah boleh maen, nggak, ke rumah Yuli?" tanyanya, sembari memeluk boneka beruang milik Yuli.
"Boleh Nikmah, boneka ini juga buat Nikmah aja," jawab Yuli, sambil memegang boneka yang dipeluk Nikmah.
"Jadi orang kaya enak yah?" tanya cucu Mak Entah lagi. Percakapan mereka terus saja berlanjut, di sela-sela tetangga yang hilir mudik masuk bergantian untuk menerima sembako pemberian Risma.
"Teh Risma, itu di rumah Emak Sawiyah ada ribut rame-rame," kata Teh Masni, tetangga Risma juga saat mendapat giliran masuk untuk mendapatkan beras.
"Ribut apaan Teh Masni?" tanya Risma.
"Kurang jelas juga teh, hanya tadi, baru saja saya lewat depan rumah emak, sudah banyak tetangga yang berkumpul. Memang seperti terdengar suara orang-orang berteriak si Teh, dari dalam rumah," jelas Teh Masni, sambil menerima beras pemberian Risma, dan langsung keluar rumah.
'Ada ribut-ribut apa, yah' gumam hati Risma.
Satu persatu, tetangganya yang terdekat sudah menerima beberapa sembako yang masih ada di rumah tersebut. Rumahnya kembali terlihat lapang seperti dulu. Televisi, kipas angin, pun sudah dia berikan, lalu mulai mengunci pintu rumahnya kembali, dan berniat akan langsung ke kota kabupaten untuk membeli beberapa potong pakaian buat emak.
"Teh ... Teh Rismaa!"
Baru saja Risma melangkah keluar pagar halaman, sebuah suara dari kejauhan terdengar memanggil namanya, dan pemilik suara tersebut dengan sedikit berlari mendekatinya. Samsiah ternyata, adiknya yang paling bungsu.
"Teh Risma," sebutnya pelan, dari jarak dua meter dia berhenti, nafasnya terengah-engah. Risma diam saja, tidak menjawab.
"Bapak dibawa ke puskesmas, Teh," jelasnya, wajahnya terlihat sedikit berkeringat. Risma kembali tidak menghiraukan, berbalik badan dan kembali melanjutkan langkah.
"Teh! Teteh! Maafkan Wiyah, Teh." Bergegas ingin menyerobot mendekati Risma, tetapi terhalang oleh dua pengawal Risma.
Risma terus melangkah menjauhi.
"Teh! Jangan pecat Kang Gufron Teh, nanti Kang Gufron mau kerja di mana!" ucapnya lagi, sedikit berteriak, dan Risma terus saja melanjutkan langkahnya.
'Aku harus bisa bersikap tega, biar mereka tersadar' ucap hati Risma
Di dalam kendaraan yang akan mengantarkannya ke kota kabupaten, terduduk berdua bersama Yuli di bangku belakang, dirinya banyak berpikir. Jika harus mengingat-ingat tentang perlakuan yang dia rasakan berbeda, oleh bapak terhadap saudara-saudara perempuannya yang lain.
Bapak sangat mempersulit saat Bang Riswan atau pun pria-pria yang lain dulu saat ingin melamarnya, dengan membebani permintaan yang macam-macam. Sedangkan saat Ela dan Sawiyah menikah, dia tahu persis jika Tohir dan Gufron memberikan uang bawaan jauh dibawah yang Bang Riswan berikan, tetapi bapak tidak mempermasalahkan.
Dalam urusan tanah untuk membangun rumah pun seperti itu. Bang Riswan sudah memiliki rumah beserta tanah saat ingin melamarnya, sedangkan Tohir dan Gufron, tanah yang mereka tempati itu pemberian dari bapak, bahkan Risma tahu sendiri lewat emak yang bercerita, bahwa untuk membangun rumah di tanah tersebut pun bapak memberikan uang kepada Ela dan Samsiah.
Dalam hal pendidikan pun Risma merasa dibedakan, teringat dia bagaimana dia menangis dan bersedih selama berhari-hari, karena bapak tidak mengijinkan dia untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, SMA, padahal saat itu dia termasuk murid yang berprestasi dan dapat sekolah negri. Akan tetapi saat Ela dan Samsiah, bapak menyekolahkan mereka sampai SMA walaupun mereka berdua bersekolah di sekolahan swasta yang jelas-jelas biayanya lebih mahal.
Dari dahulu, Risma bisa merasakan perbedaan perlakuan tersebut. Saat dia menanyakan kepada emak tentang hal tersebut, emak hanya diam saja, seperti ada hal yang emak sembunyikan sampai sekarang, yang tidak ingin beliau ceritakan.
"Maaf, Bu, kita sudah sampai di dekat pasar kabupaten. Ibu mau belanja di mana?" tanya salah seorang pengawal yang duduk di sebelah pengemudi, walau ada rasa sedikit tidak nyaman, dengan adanya pengawalan tersebut, apa lagi semua lawan jenisnya.
"Iya, Mas, belanja di pasar kabupaten saja," jawab Risma. Tidak beberapa lama kendaraan yang membawa Risma mulai memasuki area parkir pasar kabupaten tersebut.
Risma pun turun dari kendaraan, dan meminta kedua orang pengawal pribadinya tersebut untuk menunggu di mobil saja, tetapi mereka menolak, karena tanggung jawab mereka adalah menjaga keselamatan istri dari orang yang sudah menggajinya. Akhirnya Risma menyetujui dengan syarat mereka menjaga di jarak yang agak berjauhan.
Beberapa potong pakaian untuk emak sudah Risma dapatkan, semuanya sudah sangat lengkap. Sebagian kantong isi belanjaan sudah ditaruh pengawal ke dalam mobil. Yuli si sulung yang ikut bersama sangat menikmati jalan-jalan untuk berbelanja ke pasar seperti ini, tidak pernah mengeluh cape atau apapun.
"Mampir sebentar untuk menikmati bakso di salah satu kedai yang tidak jauh dari depan pasar. Permintaan Yuli yang ingin mencoba es buah, yang berada di satu kedai yang sama dengan tempat penjual bakso tersebut.
Seorang Wanita berhijab, yang sepertinya sedikit lebih muda dari emak, berpakaian bagus, terus saja memperhatikan Risma dari seberang meja. Dia pun sepertinya memesan bakso, tetapi terlihat sekali pesanan semangkok bakso yang terdapat di depan mejanya malah terkesan dia abaikan, dan dia malah terus saja memperhatikan Risma.
Risma sendiri memang merasakan jika dia terus diperhatikan oleh wanita paruh baya tersebut, dan beberapa saat kemudian wanita itu menghampirinya dengan membawa bakso yang dipesannya, dan duduk tepat di depan Risma, sembari tersenyum ramah.
"Neng, ibu numpang makan di sini yah, gak enak jika makan sendirian," ucapnya, meminta ijin.
"Boleh Buk, silahkan," jawab Risma, membolehkan. Beberapa saat pembicaraan mulai terjadi antara mereka berdua, percakapan terkesan basa-basi, hanya membicarakan tentang anak dan keluarga.
"Neng Risma?" tanya ibu tersebut, yang Risma tahu bernama Saanih, saat ibu itu memperkenalkan diri tadi.
"Apa, Bu," jawab Risma. Sambil menyesap es buah miliknya.
"Wajah Neng, mirip banget seperti saat ibu muda dulu?" tanyanya, dan Risma tidak menjawab, hanya tersenyum saja.
"Ibu mau tanya, tetapi jangan marah ya, Neng," ucap Ibu Saanih. Matanya terus menatap ke wajah Risma dalam.
"Orang bertanya kok marah si Buk," jawab Risma, sambil menyuapkan sebuah bakso kecil ke mulut Yuli.
"Eneng Risma punya tanda lahir di lengan sebelah kiri yang tidak jauh dari siku?" tanya ibu tersebut, dengan sangat hati-hati, dan Risma terkejut mendengar pertanyaannya,
Dia memang memiliki tanda lahir tersebut, lalu kenapa ibu-ibu asing yang baru saja dikenalnya ini tahu akan semua hal itu. Padahal, dia sedari tadi tidak pernah menunjukkan lengannya kepada siapa pun.
"Kok ibu bisa tahu, jika aku punya tanda lahir tersebut?" tanya Risma penasaran, dan sangat penasaran. Dari mana ibu-ibu yang bahkan baru dikenalnya tersebut bisa tau tentang tanda lahir milik Risma, yang hanya diketahui oleh orang-orang terdekatnya saja.
"Neng Risma kenal dengan orang yang biasa dipanggil Juragan Hasyim?" tanyanya lagi, dan pertanyaan ibu tersebut semakin membuatnya bingung, bahkan beliau juga mengenal nama bapak.
"Kenal, ibu, itu nama bapak saya," ucap Risma, dan paras wajah ibu itu semakin terlihat kaget.
"Ya, Allah ...."
"Memangnya ada apa, Bu?"
Ibu itu tidak langsung menjawab, matanya terlihat berbayang, dan itu membuat Risma semakin dihinggapi rasa penasaran.

Book Comment (59)

  • avatar
    HasimHasbi

    novelnya gak ada kelanjutan

    19/07

      0
  • avatar
    AlfarizkiAzka

    aska

    15/07

      0
  • avatar
    TynnaNeng

    novel yang bagus

    29/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters