logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part. 7

Hasby menghela napas panjang. ‘Astaghfirullah ... apa yang aku pikirkan.’ Pemuda itu berulang kali mengucap istighfar hingga setengah nyawanya kembali dalam genggaman Sang Pemilik Jiwa.
***
“Morning, Pa, Ma.”
“Pagi, Nduk. Ayo, sini.” Aileen memasuki ruang rawat inap VVIP yang bercat putih tulang itu. Lalu memeluk papanya yang duduk di tempat tidur. Lima hari dirawat di rumah sakit, membuat kondisinya semakin baik. Pagi ini menunggu visit dokter. Jika dokter mengizinkan, ia akan pulang.
“Tomy mana?”
“Tadi ngantar aja, Pa. Langsung ke kantor. Lagi banyak kerjaan he said.” Gadis penyuka jeans itu mengedikkan kedua bahunya sambil mencebikkan bibir.
“Where’s Mom?” Ia celingak-celinguk mencari sosok perempuan yang selalu membersamai papanya.
Wajah teduh wanita yang tidak muda lagi itu menyembuk dari balik pintu kamar mandi. Anak dan mamanya itu saling bertemu pandang dan saling melempar senyum.
“Hai, Ma.” Senyuman manis menjawab sapaan dari putri bungsunya.
“Sudah lama, Nduk?”
“Not yet.” Aileen mendekati wanita paruh baya itu dan memeluknya. Ia segera mengurai pelukannya ketika terdengar suara ketukan dari arah pintu ruangan.
Gegas gadis berkerudung peach itu mengayun langkah untuk membukanya. Namun, baru langkah pertama, mamanya menghentikannya. “Aileen, biar Mama aja yang buka.”
“Owh, ok.” Kini kakinya melangkah ke arah papanya berada.
Istri Arya menemui tamu yang belum diketahui itu siapa. Ia agak ragu awalnya. Namun, rasa ragu itu segera dibuangnya.
Setelah memantapkan hati, tangannya mengayun ke udara dan membuka gagang pintu berwarna silver.
Matanya menatap tajam tamu yang berdiri di hadapannya. “Kita bicara di kantin saja.” Kalimat itu langsung mendapat jawaban sebuah senyum dan kerlingan nakal, ”Ok.”
Setelah berpamitan kepada suaminya, wanita berambut lurus sebahu itu mengayun langkah menuju kantin rumah sakit di lantai satu. Setelah sampai, ia mengedar pandangan mencari sosok yang telah menunggunya.
“Apa maumu?” tanya Hartati pada laki-laki di depannya.
“Aku mau anakku. Aku ayah kandungnya, lebih berhak atas hak asuhnya.”
“Setelah bertahun-tahun menghilang dan tidak pernah menanyakan kabarnya sedikit pun, apa masih pantas disebut sebagai ayah?” Hartati tersenyum sinis kepada laki-laki paruh baya yang duduk di depannya. Ardian, namanya.
Dua puluh empat tahun lalu laki-laki itu berstatus sebagai suami adik Arya. Namun, ternyata pernikahannya dengan Nida—adik Arya—itu hanya untuk melampiaskan sakit hatinya. Hal itu karena cinta Ardian kepada Hartati bertepuk sebelah tangan, dan orang yang dicintainya itu lebih memilih menikah dengandenga Hadiwidjaya.
Perempuan yang masih terlihat gurat cantik di masa mudanya itu mengeluarkan selembar kertas. Lalu menuliskan sejumlah angka dan menyerahkan kepada Ardian.
“Semoga bermanfaat. Sekarang menjauhlah dari kehidupan kami. Nanti, jika waktunya sudah tiba, engkau pasti akan bisa menemuinya dengan leluasa.” Hartati segera beranjak dan melangkah kembali ke ruang rawat suaminya.
**
Usai menunggui ujian sidang adiknya, Hasby menraktir Nissa makan siang di sebuah kafe dekat kampusnya. Langkahnya menuju salah satu meja terhenti kala matanya menatap sosok yang ia kenal namanya beberapa hari yang lalu. Ia berduaan dengan seorang lelaki muda.
‘Siapa ia? Bukannya ia laki-laki yang malam itu datang bersama teman-teman kuliahnya?’
Sepekan sudah Hasby berada di kota Tarakan. Ia berkunjung ke kota di pulau kecil ini, atas undangan teman kuliah S1-nya saat di Al Azhar dulu. Umar Hasan namanya.
Selain untuk melebarkan sayap bisnis biro haji dan umrah—Umar Hasan sebagai partner-nya—kedatangannya ke kota ini juga untuk membantu ayah Umar Hasan membuat konsep pengelolaan lembaga pendidikan Islam terpadu.
[Gimana, Le. Jadi pulang hari ini?] Suara abi Hasby melalui sambungan telepon aplikasi warna hijau.
“Maaf, Bi. Sepertinya tertunda. Karena ada beberapa jadwal yang baru bisa dilakukan sore ini.”
[Le, besok setiba di bandara, tolong sempatkan nengok Pak Arya, ya. Sepulang dari rumah sakit satu pekan yang lalu kondisi Pak Arya sudah membaik sebenarnya. Wong juga sudah nelpon Abi beberapa kali. Tapi semalam Tomy memberi kabar kalo papanya harus dirawat inap lagi. Abi ingin jenguk juga sebenarnya, tapi kondisi Abi juga lagi kurang sehat ini.]
“Baik, Bi. Insya Allah, nanti ana mampir jenguk Pak Arya. Abi lekas sehat, ya.”
**
Tepat pukul 10 pagi, pesawat yang ditumpangi Hasby mendarat di bandara di pusat kota. Bandara militer yang sebagian ruangnya kini digunakan untuk pesawat komersial ini, pagi ini terlihat cukup ramai pengunjung.
Pemuda dengan hoodie warna hitam itu melirik benda pipih yang melingkar di tangan kirinya. Kakinya melangkah menuju musala bandara untuk melaksanakan ibadah sunnah dua rakaat yang selalu berusaha ia jaga.
Sesudahnya, laki-laki muda itu berselancar sejenak ke akun media sosialnya. Aplikasi warna hijau, biru maupun ungu. Mencari kabar perihal janji ketemuan dengan beberapa teman dan sahabat yang tinggal di pusat kota hari ini.
Setelah mendapat kepastian, ia mengayun langkah mencari taksi. Ia akan menemui dua sahabatny kala SMA yang sudah sukses bekerja di sini. Mereka berdua membangun bisnis kuliner yang mengangkat masakan khas daerah Jawa Tengah ke konsumen perkotaan.
Pertemuan tiga sahabat lama itu sangat berkesan. Apalagi sejak lulus SMA, mereka tak pernah saling bertemu sama sekali. Dari dua sahabatnya itu, Hasby mendapat cerita jatuh bangunnya membangun sebuah usaha. Tidak hanya memerlukan modal berbentuk materi, tapi juga modal kesabaran dan keuletan.
“Usaha doang tanpa doa, sombong, dong. Emang siapa kita, iya, nggak?” Kata-kata salah satu sahabatnya itu sontak membuat mereka bertiga tergelak bersama.
Jam di dinding rumah makan tradisional Jawa itu menunjukkan pukul 13.00. Saatnya Hasby untuk melanjutkan memenuhi undangan satu sahabatnya yang lain. Ahmad Karim namanya, putra pengusaha batik Pekalongan yang tengah merintis bisnis pakaian jadi di pusat kota ini.
Ahmad Karim ini merupakan sahabat ketika masih menjadi mahasiswa di Universitas Al Azhar, Mesir. Mereka satu jurusan bahkan satu tempat tinggal. Hasby banyak berhutang budi, karena beberapa kali meminjam uang kepada sahabatnya yang satu ini.
Pertemuan dengan tiga sahabatnya hari ini, semakin memantapkan hati Hasby untuk terjun di bidang bisnis membantu abinya. Dirinya yang selama ini banyak bergumul dengan keilmuan agama, maka kini saatnya menyerap ilmu baru dari orang-orang sekitarnya.
“Ingat, Le. Kamu boleh berprofesi sebagai apa saja yang akan menempatkanmu menjadi orang yang banyak memberi manfaat bagi orang lain. Tapi ...."

Book Comment (27)

  • avatar
    Mawaddah

    thanks

    11/07

      0
  • avatar
    Nisrina Fatin Nabila

    Seorang gadis yang dipaksa menikah oleh orang tuanya yang mana gadis tersebut masih ingin melanjutkan kariernya.

    25/04

      0
  • avatar
    infinixErni

    alur cerita nya bagus bkin nambah semangat baca novel nya

    26/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters