logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part. 6

Suasana canggung tercipta seketika. Lekas mencair ketika terdengar suara ketukan pintu dari luar. Sesosok tubuh tinggi masuk seraya tersenyum. Ia adalah Tom Hadiwidjaya, putra sulung Pak Arya.
“Pa.” Sapaan singkat yang dijawab sengan senyuman.
“Terima kasih sudah berkenan menjenguk Papa,” ucapnya seraya tersenyum pada Hasby dan abinya.
Suasana kembali ceria. Mengobrol tentang apa saja yang tetiba terlintas di kepala dan mengundang tawa. Hingga Pak Arya yang sedang sakit pun terbahak karenanya.
Tok tok tok.
Tomy segera membuka pintu ruangan. Seorang kurir mengirim sejumlah paket yang telah ia pesan. “Ini, terima kasih, ya.” Laki-laki yang masih mengenakan baju kerja itu memberi sejumlah uang sebagai tip kepada tukang ojek online yang mengantar makanan pesanannya.
“Terima kasih banyak, Mas.”
Tomy membawa beberapa bungkusan yang ia pesan ke dalam dan meletakkannya di meja sofa. Paket itu berisi nasi kotak dan minuman untuk makan malam. Setelah itu mereka pun menikmatinya bersama.
Usai itu, Hasby dan abinya pamit pulang. Namun, sebelum itu terjadi, Arya setengah berbisik kepada Hasby yang berdiri di sampingnya sembari memegangi lengan kanannya. “Anak muda, jika punggung ini sudah cukup untuk menanggung beban, aku akan menitipkan seseorang untukmu.” Sebuah senyuman mengakhiri kalimat itu.
Ucapan yang juga terdengar oleh Hartati, dan abinya itu membuat Hasby tercekat. Ia tak mampu menjawab dengan sepatah kata pun. Hanya sebuah senyuman tanpa ekspresi yang ia berikan sebagai jawaban.
Sekitar pukul 21.30 an dua laki-laki itu meninggalkan rumah sakit setelah doa untuk kesembuhan untuk Pak Arya dipanjatkan. Dengan diantar mobil keluarga Arya yang dikemudiakan supir pribadi Arya.
***
Suara lantunan Al Qur’an dari pengeras suara masjid yang tak jauh dari rumah terdengar jelas. Kesibukan pagi telah nampak di keluarga Hasby. Mengawali setiap hari dengan melakukan salat malam dan membaca kitab suci.
Usai itu, Hasby dan abinya berangkat ke masjid kala alunan azan telah berkumandang. Dua hari ini, Hasby dan abinya ke masjid dengan berjalan kaki. Selain karena cuaca cerah, juga karena di sepanjang jalan menuju dan dari masjid, anak bapak itu sering bersiakusi ringan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan dunia Islam.
Namun, ada yang berbeda dengan pagi ini. Meskipun suasana cerah, Hasby tak banyak bicara. Hingga hal itu mengusik sang abi untuk mengetahui sebabnya.
“Ada apa, Le?” tanya abi Hasby yang tidak mendapat sahutan. Hingga memaksa abi pemuda 27 tahun itu memgulangi pertanyaannya.
“Le?”
“Eh, i—iya, Bi. Ada apa, ya?”
“Ditanya, kok, malah nanya balik. Gimana toh, ini?” Pernyataan laki-laki tengah baya itu sontak membuat mereka berdua tertawa bersama.
Sampai di depan rumah, Hasby tak langsung membuka pintu. Dia duduk di kursi teras yang kemudian diikuti abinya. Beberapa waktu berlalu dengan keheningan. Hingga abinya memulai pembicaraan.
“Le, ada yang perlu diceritakan?”
Sejak dulu, hubungan anak dan abi ini memang sangat dekat. Jika ada keresahan, tak sungkan Hasby menceritakan. Bahkan masalah ihtilam—atau biasa dikenal dengan istilah mimpi basah yang bagi sebagian besar remaja laki-laki melaluinya tanpa diketahui orang tua—pun, Hasby remaja tak malu mengungkapkan kepada abinya. Bahkan juga kepada umminya.
Sejak awal menikah, abi dan ummi Hasby memang telah berkomitmen untuk menjadi orang tua terbaik bagi anak-anak mereka. Sehingga mereka senantiasa berusaha memberikan pengasuhan yang terbaik pula untuk kedua cahaya matanya.
“Yang semalam, Bi.”
“Yang mana?”
“Ucapan Pak Arya waktu kita mau pulang.”
“Owh, yang itu. Kenapa?”
Hasby menghela naoas panjang dan dalam. Lalu menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Entahlah, Bi.”
Laki-laki yang mengenakan kain sarung dan koko lengan panjang itu menepuk bahu anak sulungnya, “Abi percaya Kamu akan bisa mengatasinya, Le.” Kemudian ia berlalu meninggalkan anak lajangnya sendirian.
Menu sarapan sudah siap terhidang di meja makan. Ada nasi goreng, kerupuk bawang, dan segelas air lemon hangat. Semua anggota keluarga sudah siap di tempatnya. Menikmati masakan Ummi yang dibantu Nissa.
“Ummi, Abi, doakan hari ini Nissa bisa ketemu dosen pembimbig utama, ya. Mau nentuin jadwal sidang, nih.”
“Wah ada yang mau jadi sarjana, nih.”
“Laiya, dong, Kak. Lulusan terbaik, lagi. Aamiin.”
“Meragukan.”
“Ih, awas, ya, kalo bener.”
“Sudah, ayo, makan dulu.” Ummi Hasby mulai menyendokkan nasi ke piring suaminya.
Di kesempatan itu, Abi Hasby juga menceritakan rencana kegiatannya hari ini. Mengajak Hasby ke kantor travel haji dan umroh yang dibangunnya delapan tahun yang lalu. Mengenalkan Hasby pada staf , selain itu juga untuk mengenalkan sistem kerja pada usaha yang dibangunnya itu.
***
Bersambung
Part. 8
Hari telah menjelang sore. Semburat warna jingga di ufuk barat menghiasi langit yang sedikit kelabu. Sempat muncul rinai hujan beberapa saat, tetapi kemudian menghilang bersama bersinarnya matahari sore.
Dari kejauhan terlihat seorang lelaki muda membonceng gadis berkerudung lebar berwarna coklat. Ia adalah Hasby. Ia baru saja datang untuk menjemput Nissa dari halte bis.
Nissa kuliah di luar kota. Dulu, ketika proses belajar mengajar masih aktif, gadis manis itu memilih indekos agar bisa fokus kuliah. Namun, kini masa kuliahnya hanya tinggal mengerjakan tugas akhir, sehingga gadis berkulit sawo matang itu lebih memilih untuk pulang pergi tiap hari saja.
“Abi, Ummi, Kak Hasby ... Alhamdulillah Senin sepan Nissa ujian sidang. Tadi siang sudah bertemu dosen pembimbing utama.”
“Alhamdulillah.” Hampir bersamaan ketiga orang yang ada di ruangan itu mengucap hamdalah. Binar kebahagiaan jelas terlihat dari wajah ayu Nissa.
“Mau Kakak antar?”
“Mauuu.Makasih, Kak Hasby. Tumben baik. Ada maunya, ya? Atau mau cari gebetan di kampus Nissa? Nggak jadi aja, deh.”
“Yaudah.”
“Ih, jadi, dong, Kak. Gitu aja ngambek.” Nissa melirik sinis kakaknya yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
Malam makin larut. Sunyi dan sepi hadir menerpa. Hanya suara binatang malam yang sesekali terdengar menghiasi.
Sepasang mata beralis tebal belum terpejam. Pikirannya masih berkelana ke beberapa hal. Bakti kepada orang tua yang belum seberapa, mengabdi pada agama, ucapan Pak Arya, dan ... sesosok wajah teduh yang berada nun jauh di sana.
Tak terasa senyumnya mengembang. Hasby teringat pertemuan pertama sekaligus terakhir dengan gadis bertubuh tinggi dan berparas ayu itu.

Book Comment (27)

  • avatar
    Mawaddah

    thanks

    11/07

      0
  • avatar
    Nisrina Fatin Nabila

    Seorang gadis yang dipaksa menikah oleh orang tuanya yang mana gadis tersebut masih ingin melanjutkan kariernya.

    25/04

      0
  • avatar
    infinixErni

    alur cerita nya bagus bkin nambah semangat baca novel nya

    26/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters