logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part. 5

Laki-laki berbaju koko putih itu segera mengusap layar ponselnya lalu menempelkannya ke telinganya.
“Halo.”
Tomy Hadiwidjaya, putra sulung Pak Arya mengabarkan kepada Abi Hasby jika saat ini papanya sedang sakit. Beberapa kali laki-laki pengusaha sukses itu menyebut namanya. Maka, mewakili keluarga, Tomy meminta agar Abi Hasby berkenan menjenguk papanya yang saat ini sedang menjalani perawatan intensif di RS Medisstra.
Abi Hasby mendongak menatap langit. Rintik hujan kini semakin menderas. Lalu mengalihkan pandangan ke arah anaknya yang sedang sibuk mengecek mesin mobil. Meskipun bukan ahli, Hasby pernah belajar tentang mesin mobil lewat aplikasi berlambang anak panah berwarna merah.
“Ada apa, Bi?”
“Kita ke Rumah Sakit Medistra, ya, Le. Pak Arya sakit,” ucap Ahmad Fauzy kepada anaknya, Hasby.
“Mobilnya gimana, Bi?” Laki-laki berkopyah haji warna putih itu menengok kanan-kiri. Mencari bengkel terdekat. Namun tak menemukan apa yang ia cari.
Tanpa pikir panjang, Hasby segera mengambil ponsel hitamnya. Lalu mengusap layarnya dan menekan tombol di sana beberapa kali.
“Kita tunggu taksi online, ya, Bi. Baru pesan. Khawatir hujan tambah deras. Sekalian nyari bengkel terdekat untuk memperbaiki mobil kita. Habis itu kita jenguk Pak Arya.”
***
Hujan lebat mengguyur sepanjang perjalanan. Hal itu membuat perjalanan lebih lambat. Apalagi beberapa titik jalan di pusat kota mengalami kemacetan akibat banjir.
Pukul delapan malam lebih sedikit, taksi yang mereka tumpangi berbelok ke sebuah gedung bertingkat tiga. Bangunan megah dengan banyak lampu penerangan itu bagian depannya terdapat tulisan Rumah Sakit Medisstra.
Taksi online yang mereka tumpangi berhenti di depan pintu utama
Setelah membayar ongkosnya, Hasby dan abinya melangkah ke bagian informasi, menanyakan ruang rawat inap yang ditempati sahabat Abi Hasby, Arya Hadiwidjaya. Parsel yang mereka persiapkan untuk berkunjung ke rumah Ustaz Yanuar, akhirnya menjadi buah tangan yang dibawa untuk menjenguk Pak Arya.
“Pak Ahmad belum datang, Nduk?”
“Pak Ahmad yang mana, Ma?”
“Yang kemarin datang ke rumah kita bersama keluarganya.”
“Oh, yang sama orang menyebalkan itu? Belum, sih, Ma.”
“Apa, Nduk?”
“Eh, apa, Ma? Nggak ada apa-apa, kok.” Gadis berkerudung instan hitam itu merutuki diri. Menyesal atas kalimat nggak jelas yang baru saja diucapkan di hadapan mamanya.
“Aileen keluar bentar, ya, Ma?” Tanpa menunggu jawaban, gadis itu membuka pintu. Alangkah terkejutnya ia, ternyata pintu itu tidak tertutup rapat. Dan lebih kaget lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa orang yang baru saja ditanyakan mamanya ada di sana.
“Mm, eh, mm ... silakan masuk,” ucapnya pada dua orang yang tengah berdiri di bibir pintu. Mukanya terasa panas. Lalu gegas dia meninggalkan tempat itu.
“Iiih. Sebel sebel! Kok bisa, sih, Ai ....” Gadis berbibibr ideal itu menghentak-hentakkan kedua kakinya. Menyesali apa yang baru saja ia perbuat.
“Assalamua’alaikum.”
“Walaikum salam.” Hartati, istri Pak Arya menyambut dua tamu yang sedang dinantikannya.
Hasby dan abinya dipersilahkan masuk dan duduk di sofa pojok ruangan. Ruang rawat inap kelas VVIP dengan fasilitas yang lengkap dan cukup luas. Perempuan bersanggul tinggi itu menengok kondisi suaminya sejenak. Lalu duduk di sofa menemui dua tamunya.
“Terimakasih, Pak Ahmad, Nak Hasby ... sudah mau datang menjenguk Mas Arya. Tadi saya yang minta Tomy untuk menghubungi Pak Ahmad. Karena sejak Mas Arya dibawa ke rumah sakit, beberapa kali menanyakan Pak Ahmad. Katanya ada yang mau disampaikan.”
Laki-laki yang disebut Pak Ahmad hanya manggut-manggut saja.
“Maaf, Pak Arya sakit apa, Bu?” tanya Hasby agak ragu.
Wanita yang masih terlihat cantik itu tidak langsung menjawab. Ia menunduk beberapa saat, sebelum akhirnya buka suara.
“Mas Arya menderita penyakit Lupus. Salah satu penyakit autoimun yang hingga kini belum diketemukan obatnya. Kondisinya sekarang semakin mengkhawatirkan. Tapi kami sepakat untuk tidak memberitahu kepada Aileen dan Tomy.”
Pak Ahmad menghela napas dalam dan panjang mendengar cerita Bu Hartati. Hasby pun hanya diam tak berkata-kata.
Hening menjeda. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing.
“Ma.” Suara Pak Arya memanggil istrinya.
Wanita yang dipanggil itu segera datang mendekat. “Iya, Mas.” Tangannya menggenngam tangan laki-laki yang terbaring di brankar. Lalu kedua sudut bibirnya membentuk lengkung yang indah untuk laki-laki di hadapannya.
Kini pandangan bos properti itu mengarah pada dua sosok yang tengah duduk di sofa pojok ruangan. Pak Ahmad dan Hasby mengangguk sembari tersenyum kepadanya, lalu beranjak mendekati sahabat lamanya itu.
Pandangan mereka saling beradu. “Terima kasih sudah dijenguk,” ucapnya sambil tersenyum. Pak Ahmad mengangguk dan tersenyum.
“Apa kabarmu, Hasby?”
“Alhamdulillah baik, Pak. Bapak lekas sehat, ya.” Pemuda 27 tahun itu mengucapkan itu dengan tulus. Hingga menyentuh hati orang yang didoakannya. “Iya, Nak. Terima kasih.” Tangan sang bos menepik lengan Hasby pelan.
“Sepertinya lengan ini sudah mampu untuk menanngung beban. Sudahkah ada yang memilikinya, Nak?” Hasby menatap Arya dan abinya bergantian. Belum mengerti dengan pertanyaan yang baru saja disengar.
Laki-laki yang tangan kirinya masih tersambung selang infus itu tersenyum. Lalu mengalihkan pandangannya ke sahabatnya, Ahmad Fauzy.
“Kamu sudah ingin punya mantu, belum, Zy?”
“Kamu sudah ngebet banget rupanya, Ar.” Ucapan Fauzy disambut tawa oleh Arya dan istrinya. Namun, tidak dengan Hasby. Ia terdiam, mulai menerka maksud ketiga orang tua di hadapannya.
Arya melirik ke arah Hasby. “Bagaimana Anak Muda, apa kamu sudah siap?”
Yang ditanya hanya bergeming. Merasa bingung harus menjawab apa. Pikirnya melayang pada sosok indah yang mulai mengganggu hatinya. Terutama sejak pembicaraan serius dengan abinya semalam.
“Hasby.” Panggilan abinya menyadarkan dari lamunannya. Akhirnya hanya sebuah senyum yang mampu ia berikan sebagai jawaban.
“Zy, kalo perjaka ditanya tentang pernikahan terus dijawab dengan senyuman, itu artinya dia sudah menginginkannya.” Arya terkekeh kecil.
“Anak Muda, Om mau—“
Arya menghentikan bicaranya ketika terdengar pintu ruangan ada yang mendorongnya..
Seorang gadis mengenakan rok panjang warna maroon muncul dari balik pintu. Senyumnya terlihat mengembang ketika melihat sang papa sudah bangun dari tidurnya.
“Papa ....” Ia memeluk manja tubuh laki-laki yang tengah terbaring itu. Namun, ketika menyadari sedang ada tamu, gadis bermata bulat itu segera mengurai peluknya dan bangkit mendekat ke mamanya sambil menunduk malu.

Book Comment (27)

  • avatar
    Mawaddah

    thanks

    11/07

      0
  • avatar
    Nisrina Fatin Nabila

    Seorang gadis yang dipaksa menikah oleh orang tuanya yang mana gadis tersebut masih ingin melanjutkan kariernya.

    25/04

      0
  • avatar
    infinixErni

    alur cerita nya bagus bkin nambah semangat baca novel nya

    26/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters