logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part. 4

Tidak berapa lama, menyusul pula Pak Arya, Tomy, dan Mama Aileen. Mereka berbincang seputar keluarga dan masa muda orang tua mereka.
Arya Hadiwidjaya dan Ahmad Fauzy—abinya Hasby—adalah dua pemuda yang berasal dari daerah yang sama. Namun, nasib memisahkan mereka. Arya sukses dengan bisnis rintisannya di kota. Sementara Fauzy harus kembali ke daerah karena memenuhi keinginan orang tua untuk mengelola usaha pertaniannya.
Setelah bertahun lamanya terpisah, mereka bertemu kembali dalam acara seminar bisnis yang diadakan salah satu lembaga yang didirikan orang tua Arya Hadiwidjaya. Sejak saat itu, persahabatan mereka terjalin kembali. Meskipun terpisah jarak, tetapi tidak menjadi masalah karena bisa diatasi dengan kemajuan teknologi. Ada telepon, video call, atau pun aplikasi lainnya.
“Nduk Aileen mana?”
“Bentar, Pa.”
Laki-laki berkemeja coklat muda itu beranjak dari tempat duduknya. Berjalan menuju tempat adiknya berada bersama teman serta sahabatnya. Setelah berhasil membujuk adiknya yang manja itu, Tomy kembali ke ruang tengah dengan menggandeng adiknya.
“Sini sini, Nduk. Itu yang Papa ceritakan kemarin. Hasby, namanya. Dia baru pulang dari studi di luar negeri juga. Nah, kalo itu adiknya, Nissa.” Pak Arya mengulang perkenalan anak-anaknya.
Perbincangan mereka berakhir tepat ketika jam besar yang berada di pojok ruangan berdentang sebanyak sembilan kali. Setelah itu keluarga Abi Hasby undur diri.
“Semoga anak-anak kita ada yang berjodoh, ya, Zy.”
“Aamiin.”
Mendengar kata-kata papanya, Aileen kembali memutar bola matanya. Seolah menyatakan ketidaksukaan atas perbincangan kedua orag tua itu.
**
“Le, sudah malam kok belum tidur. Ada apa?” Hasby segera menoleh ke arah asal suara. Lalu tersenyum tipis.
Kini Fauzy, abinya Hasby, duduk di samping putra sulungnya. Rambutnya masih basah bekas air wudhu. Kedua laki-laki itu belum memejamkan mata sejak kembali dari rumah keluarga Arya Hadiwidjaya.
“Bi, apakah maksud Abi mengajak keluarga berkunjung ke rumah Pak Arya adalah untuk ....”
Laki-laki yang dipanggil abi itu lekas menoleh ke anak sulungnya . Lalu menghela napas dalam dan panjang.
“Menurutmu sendiri gimana, Le?”
Pemuda yang akhir bulan depan sudah berumur 27 tahun itu menghela napas berat. Pandangannya menerawang jauh, melesat menembus malam yang pekat.
“Bi, tentang jodoh, sebenarnya Ana sudah punya pandangan sendiri. Ia adik tingkat di Al Azhar. Jika berkenan, besok Abi Hasby ajak silah ukhuwah ke rumah orang tuanya.”
Fauzy tersenyum semringah mendengar ucapan anak laki-lakinya. “Ya sudah. Atur saja, ya, Le.”
“Tapi, Le ... Abi mengingatkan, apa yang kita inginkan belum tentu menjadi yang terbaik untuk kita. Selain ihtiar, sertailah dengan tawakal. Karena hanya Dia-lah yang tahu mana yang terbaik untuk kita.”
“Iya, Bi. Pasti.” Secercah senyum harapan terbit di bibir pemuda bermata elang itu.
***
“Bi, emang kakakku itu, hari ini mau kemana lagi, sih? Baru dua hari di rumah, kerjanya keluar mu—“
“Hush! Nduk, bicara apa, Kamu? Kakakmu lagi banyak urusan, ya, biarin saja, toh. Kalo urusannya selesai, kan kita juga ikut seneng.”
“Anak kecil nggak usah ikut campur.”
“Ish ish! Sembarangan. Masa aku dibilang anak kecil, Mi. Udah mau sarjana, tau.”
“Coba sini, liat. Cuma sepundak. Itu artinya masih kicik. Iya, nggak, Mi.” Hasby tertawa penuh kemenangan. Nissa memelotot ke arah sang Kakak. Lalu memberinya beberapa kali pukulan di lengannya. “Rasain, tuh!” ucap Nissa sinis. “Nissa doain, nanti Kak Hasby dapat istri yang setinggi aku. Aamiin.”
“Nggak masalah. Yang penting so-li-hah. Iya, kan, Mi.”
“Sudah sudah, ah. Kalian itu, kalo nggak ketemu, saling kangen. Tapi kalo dah ngumpul, berantem saja kerjaannya.”
“Tau, tuh.” Hasby mengayunkan langkah ke teras depan. Mencari abinya untuk membicarakan perihal kunjungannya ke rumah orang tua adik kelasnya.
Di garasi, Abi sedang memeriksa kendaraan roda empatnya. Mobil sedan tahun 2000 an itu masih kelihatan mulus dan terawat. Karena sang pemilik memang selalu memberikan perawatan yang terbaik.
Setiap hari selalu menyempatkan untuk memanaskan mesin mobil. Bahkan jika Fauzy sedang sibuk, urusan yang satu ini diwakilkan kepada istri atau anak perempuannya.
Selain itu, laki-laki yang lebih dikenal dengan panggilan abi Hasby ini selalu mengecek kondisi mesin, radiator, kabel, ring dan karet penyangga secara berkala. Sehingga wajar saja jika mobil tuanya terlihat awet muda.
“Nanti rencana berangkat jam berapa, Le?”
“Seperti kemarin saja, Bi. Setelah salat Ashar.”
“Nih, oleh-olehnya udah siap, Kak. Jangan lupa nanti dibilangin kalo yang bungkusin Nissa sama Ummi.” Nissa menyerahkan parsel buah dan beberapa oleh-oleh dari Mesir yang khusus Hasby bawa untuk orang-orang istimewa.
“Syukron jazakillah, Adikku Sayang ....” Lelaki yang mengenakan kaus pendek warna hitam itu terkekeh sembari menyimpan parsel di dalam mobil.
***
Usai pulang dari masjid melaksanakan salat Ashar berjamaah, Hasby dan abinya segera bersiap berangkat. Pemuda yang memakai baju koko warna cokelat muda itu berpamitan kepada Ummi dan Nissa. Setelah itu ia duduk di belakang kemudi.
Mobil sedan warna hitam itu kini meninggalkan garasi rumah keluarga Hasby yang bercat putih. Melaju ke jalanan yang terlihat ramai. Hasby masih fokus manatap ke jalanan. Sementara abinya sedang menikmati pemandangan sore dari sisi kaca jendela.
“Le, sebenarnya kita ini mau ke mana?” Abi Hasby membuka percakapan.
“Ke rumah teman Abi.”
“Jangan bercanda, Kamu, Le.”
Pemuda yang bernama lengkap Hasby Al Azizy itu akhirnya menceritakan perihal orang yang akan dikunjungi.
“Owalah, kalo itu, Abi kenal. Lha wong beberapa jamaah umroh mendaftar ke travel kita karena rekomendasi Ustaz Yanuar.” Mereka tertawa bersama.
“Lha terus, anaknya sekarang ada di mana?”
“Masih di Kairo, Bi. Ya, sebenarnya Ana juga belum kenal baik, Bi. Baru beberapa kali bertemu, itu pun dalam acara bersama. Bahkan tau namanya juga pas kemarin waktu acara pelepasan mahasiswa yang akan pulang ke Indonesia, Bi. Maureen Shafiyyah namanya.”
Suasana sore itu sangat cerah. Ketika Hasby dan abinya sedang asyik mengobrol, tetiba mereka merasakan ada yang salah dengan mesin mobilnya. Jalannya tersendat-sendat dan akhirnya ... berhenti alias mogok. Beruntung sebelum mesin mati, Hasby sudah menepikan mobilnya di bahu jalan. Lalu ia dan abinya keluar mengecek mesin mobilnya.
Sebuah nada panggilan terdengar dari ponsel Abi Hasby.

Book Comment (27)

  • avatar
    Mawaddah

    thanks

    11/07

      0
  • avatar
    Nisrina Fatin Nabila

    Seorang gadis yang dipaksa menikah oleh orang tuanya yang mana gadis tersebut masih ingin melanjutkan kariernya.

    25/04

      0
  • avatar
    infinixErni

    alur cerita nya bagus bkin nambah semangat baca novel nya

    26/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters