logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Merenda Cinta

Merenda Cinta

Dhiya Riz


Part. 1

“A-apa, Ma? Me-menikah?” Gadis yang baru saja pulang dari menyelesaikan studinya di Universitas Stanford, San Fransisco tadi siang itu mencari kepastian jawaban pada mamanya. “A-aku salah dengar, kan, Ma?”
“Enggak, Nduk. Kamu nggak salah dengar. Calon suaminya pun juga sudah ada.” Papa menimpali.
“A-apa, Pa?”
Bagai ditimpa palu godam. Gadis itu sontak terdiam. Mulutnya tak bisa berkata-kata lagi. Tubuhnya terasa bak tak bertulang.
Ia menyandarkan punggungnya di kursi. Makan malam yang ia harapkan berlangsung dengan penuh cinta, berganti menjadi suasana yang memberinya rasa kecewa.
Gadis berambut lurus sebahu itu mendesah. Kedua tangannya sibuk memainkan makanan di piringnya. Suasana menjadi hening. Tak satu pun kata terdengar terucap. Hanya sesekali dentingan sendok dan garpu menghiasi suasana yang terasa kaku.
“Papa dan Mama nggak serius, kan?” Sekali lagi gadis berbulu mata lentik itu mengajukan tanya kepada kedua orang tuanya. Masih berharap bahwa mereka hanya bercanda saja.
“Tapi Aileen baru saja pulang, Pa, Ma. Masih ingin mengejar cita-cita yang sudah lama Ai impikan. Meniti karir menjadi seorang designer interior terkenal. Sebelum nanti bergabung dan bekerja di perusahaan Papa. Tapi, kok, malah ....” Kembali ia mensesah. Raut kecewa di wajahnya benar-benar tak bisa ia sembunyikan.
“Kalo gini, ngapain dulu Aileen kuliah jauh-jauh ke San Fransisco. Kalo akhirnya Cuma ingin segera dinikahkan.” Ia menjeda kalimatnya sembari meneguk air putih dari gelas di depannya.
“Kenapa nggak Kak Tomy aja, sih.” Protesnya yang langsung ditanggapi dengan pandangan memelotot dari sang kakak.
“Sudahlah, Aileen .... Papa dan Mama sudah memikirkan hal ini matang-matang.” Laki-laki berumur 58 tahun itu menepuk bahu anak gadisnya sebelum beranjak meninggalkan tempat duduknya.
Usai makan malam, gadis berusia 23 tahun itu mengayunkan langkah menuju kamar tidurnya. Ia menghempaskan tubuh ke spring bed bersprei warna favoritnya, hijau. Ia memukulkan kepala berulangkali ke atas bantal yang berisi bulu angsa kesayangan. “Aku benci! Aku benci!” Tangannya juga tak mau kalah memukuli bantal empuknya.
Drrrt drrrt drrrt.
Bunyi getaran ponsel yang terletak di atas meja kecil samping tidurnya menyita perhatiannya. Gegas ia bangun dan mengambil benda pipih itu.
[Hai.] Sebuah sapaan dari seberang membuatnya terdiam sejenak. Namun, detik berikutnya kedua sudut bibirnya terangkat hingga membentuk lengkungan indah di bibir idealnya.
Namanya Aileen Hadiwidjaya. Anak bungsu dari salah satu pengusaha properti terkenal di negeri ini.
***
Suara ketukan sepatunya terdengar jelas di sepanjang koridor yang dilewati. Seorang gadis mengenakan kerudung pashmina dan masker medis warna biru muda terlihat berjalan dengan tergesa di antara penumpang yang baru saja tiba di terminal penjemputan bandara.
Tangan kanannya menarik koper besar berwarna hitam. Sedangkan tangan kirinya sibuk menekan beberapa tombol di ponsel warna emasnya. Fokus pandangannya terbagi antara pada benda pipih yang dipegangnya dan jalan yang dilaluinya.
Bruk!
Langkah gadis itu segera terhenti. Sejenak ia terlihat gelagapan. Karena melihat buku yang dipegang orang yang ditabraknya berjatuhan.
“Oh, I’m so sorry, Mister.” Gegas ia berjongkok mengambil buku-buku tebal yang berceceran di bawah kakinya. Namun, kalah cepat dengan tangan laki-laki sang pemilik buku. Dari tiga buku, hanya satu yang berhasil diambil Aileen. Ia melirik sekilas judul apa yang tertera di atasnya. “Tulisannya arab,” batinnya.
“Sorry.” Gadis yang mengenakan celana jeans dan outer selutut itu menyerahkan buku yang dipegangnya kepada laki-laki berkaca mata hitam di depannya.
Sebuah senyum dan anggukan sebagai jawaban. Tangan kanannya menerima buku sekaligus menyerahkan ponsel milik gadis di depannya yang terlepas dari genggaman tanpa disadari pemiliknya.
“Owh. Thanks.” Tanpa menjawab lagi, laki-laki itu berlalu dari hadapan gadis berparas cantik itu.
“Ck! Sontoloyo.” Gadis itu mencebikkan bibir mengiringi langkah panjang laki-laki yang baru saja meninggalkannya. Tanpa disangka, ternyata pada waktu yang sama laki-laki itu berhenti dan menoleh ke arahnya.
Namun, Dewi Fortuna seolah berpihak kepada sang gadis. Orang yang sejak tadi ia nanti, tetiba menghampiri.
“Hai! Dah lama nunggu?” Seorang lelaki merentangkan kedua tangan memeluknya. Dari balik lengan si pemeluk, mata indah gadis ayu itu memandang ke arah laki-laki yang masih berdiri tak jauh darinya. Beberapa detik pandangan mereka saling bersirobok. Setelah itu laki-laki bertubuh tinggi itu membalikkan badan dan melanjutkan langkahnya sambil menarik sebuah koper besar dan tas punggung berwarna hitam.
“Mana Mama sama Papa, Kak?”
“Nggak ikut. Itu siapa?”
“Siapa?” Lelaki yang dipanggil kakak itu mengarahkan dagunya ke laki-laki yang semakin menjauh dari pandangannya.
“Tau! Orang sombong nggak penting. Nyebelin banget!”
“Nyebelin apa—“
“Apa, apa?” Mata gadis itu memelotot ke arah kakaknya. Lalu gegas melangkah lebar menuju pelataran parkiran. Ia meninggalkan koper besar yang dibawanya begitu saja.
Susah memejamkan mata, membuat gadis yang telah berganti dengan baju tidur itu keluar kamar. Menuju meja makan dan duduk di sana. Ia mengambil segelas air putih lalu meneguknya.
Lamat-lamat ia mendengar seseorang tengah berbicara dan tertawa. ‘Siapa malam-malam gini tertawa-tawa?’ batinnya. Baru saja ia beranjak dan akan melangkah ke asal suara di taman belakang, sebuah sapaan membuatnya sedikit berjingkat.
“Belum istirahat, Nduk?”
Terasa agak aneh memang, seorang pengusaha properti sukses memanggil anaknya dengan panggilan ‘Nduk’, yang terkesan kuno dan ndeso. Aileen pun pernah mengajukan protes atas hal itu. Namun, dengan ringan Papanya itu menjawab, “Kenapa harus malu, Nduk? Di Jawa, itu panggilan untuk anak perempuan kesayangan, lho. Memang Kamu ingin dipanggil apa?” Sejak itu, Aileen pun tidak pernah mempermasalahkan tentang panggilan itu.
“Belum, Pa.”
“Besok di rumah, ya. Kita adakan acara syukuran atas kepulanganmu.”
“Udah ada janji sama teman, Pa.”
“Nggak seharian, kan? Acaranya malam, kok.” Laki-laki dengan syal yang terlilit di leher itu segera berlalu meninggalkannya menuju kamar. Seolah tak mau mendengar alasan dari putri bungsunya itu.
“Iya, Pa,” jawab Aileen lirih hampir tak terdengar.
***
Sementara itu, di waktu yang sama tetapi di tempat yang berbeda, seorang pemuda sedang berbincang mesra bersama kedua orang tua dan adik perempuannya. Pemuda itu bercerita banyak tentang berbagai pengalaman selama empat tahun di tempat menuntut ilmunya, Universitas Al Azhar di Mesir.
Setelah empat tahun menuntut ilmu di universitas Islam tertua di dunia itu, Hasby pulang dengan membawa gelar lulusan terbaik.

Book Comment (27)

  • avatar
    Mawaddah

    thanks

    11/07

      0
  • avatar
    Nisrina Fatin Nabila

    Seorang gadis yang dipaksa menikah oleh orang tuanya yang mana gadis tersebut masih ingin melanjutkan kariernya.

    25/04

      0
  • avatar
    infinixErni

    alur cerita nya bagus bkin nambah semangat baca novel nya

    26/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters